Selasa, 22 November 2011

Jangan Takut Buat Film!// Catatan Kecil Onny Kresnawan Menyambut Bulan Film Nasional di FKIF Sumut

Jangan Takut Buat Film!
Sebuah Catatan Menyambut Hari Film Nasional 30 Maret 2010
OLEH: ONNY KRESNAWAN

Ketika Panitia Bulan Film Nasional Medan yang juga Ketua Forum Komunikasi Insan Film (FKIF) Sumut Haji Amsyal meminta salah satu produksi film saya untuk diputar menyambut Hari Film Nasional di Medan, jujur saya sontak tercengang dan menjawab diujung telpon
“Apakah ini tak berlebihan bang, soalnya masih banyak produksi sineas Medan yang berkualitas, kenapa harus punya saya” Tapi bang Haji cepat menyela jawab “Betul memang banyak tapi sulit mencari film yang sudah diapresiasi secara nasional seperti punya anda” Lantas saya masih ber-argumentasi menimpali “Sebenarnya cukup banyak produksi film teman-teman sineas di medan yang patut dibanggakan, hanya saja mungkin mereka enggan “uji karya” ke perbagai kompetisi film yang dilakukan ditingkatan nasional” Dan secepat kilat Bang Haji menyambar percakapan saya” Nah itu dia masalahnya! Dengan menghadirkan karya anda, kita berharap akan terjadi diskusi sekaligus memotivasi teman-teman untuk lebih bangkit dan berkarya ketingkat nasional bahkan internasional”

Memang, akhirnya tak sulit memenuhi permintaan Bang Haji Amsyal dan kawan-kawan jika argumentasinya untuk berdiskusi saling sulang dan menumbuhkan motivasi. Namun akan sulit bagi saya jika diajak berdiskusi dengan parameter sebuah karya yang harus di”belejetin” dari segi sinematografy-nya. Sebab, saya bukanlah seorang akademisi per-film-an yang nantinya bisa diajak mengurai kalimat secara teknis dan sistematis. Saya hanya mantan jurnalis televise yang mencoba “banting stir” menseriusi dan memproduksi film documentary secara otodidak. Belajar, berlatih dan bereksperimen dengan mencari pengalaman secara alamiah. Toh, makna penting yang saya tangkap dari niatan Bang Haji dan teman-teman lainnya -mendaulat produksi film saya tayang dan didiskusikan- adalah memberi ruang kepada filmmaker dan sineas muda di Medan untuk tampil sekaligus upaya memompa semangat agar terus terjadi regenerasi tak terputus.

Halnya dengan produksi film yang disuguhkan dalam menyambut bulan film nasional kali ini yakni “Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan” atau PNMJK, merupakan Film docudrama atau documenter drama yang dikerjakan dengan peralatan produksi serta pemeran serba minim, dan jauh dari sentuhan tangan-tangan professional sinematografy. Mengandalkan semangat dan satu camera 3 CCD tua, serta mendireck pemain local di Pulau Nias yang sama sekali tak mengenal dunia akcting , produksi dengan waktu 3 hari audisi dan 10 hari shooting di lapangan, tentu bukanlah kerja gampang untuk menghasilkan karya film yang maksimal. Namun agaknya itu pula yang menjadi kekuatan bagi film PNMJK- dari produksi serba minim namun mampu menghasilkan karya fenomenal. Dus, saat PNMJK mendapat pernghargaan tayang di Conference Sex Tourism (CST) Asia Tenggara di Bali 2009, seorang producer film asal Singapura Michael Chick sempat tercengang mendengar pengakuan bahwa film tersebut digarap hanya dengan satu camera dengan konsep shoot cut to cut. Tambahan lagi, para pemainnya hanya berasal dari sumber daya local yang bukan actor dan aktris. PNMJK juga sempat menjadi tontonan favorit di Parade Film Pendek Indonesia (PFPI) 2009 di Jawa Tengah Dan kemudian, di tahun 2010 ini PNMJK sempat menjadi nominator di Ganesha Festival Film Bandung. Dari kutipan news features radio DW Jerman, film PNMJK disebutkan bukan saja sekedar sebagai film indie yang apik ditonton tapi lebih dari itu berdayaguna sebagai medium kampanye hak anak dan gender.

Adalah Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA) sebuah lembaga yang concern terhadap anak, yang cukup berperan besar dalam mensupport produksi film PNMJK ini. Mereka sadar bahwa film sebagai media audio visual mempunyai kekuatan efektif untuk gerakan moral perubahan prilaku yang lebih baik. Dan dalam konteks ini, saya mau bilang bahwa ada banyak lembaga-lembaga atau perusahaan besar lain yang kini tengah melirik film sebagai medium kampanye tanpa meninggalkan makna film sebagai tontonan berbalut seni. Juga bagi perusahaan BUMN/swasta nasional yang memiliki dana CSR untuk difungsikan membuat film sebagai media penyadaran dan pendidikan. Lihat, dibalik sukses film Laskar Pelangi dan King ada perusahaan BUMN dan swasta yang memberi support dana CSR untuk produksinya. Artinya, peluang besar untuk memproduksi film semakin terbentang luas. Tinggal, bagaimana kita bersiasat creative sekaligus meningkatkan profesionalime agar klien merasa nyaman menggunakan jasa keahlian yang kita miliki.

Seorang kawan saya, Sakti Parantean, Producer dari Fictionary Films Jakarta , punya gagasan sekaligus pernyataan bagus, "ayo ciptakan pasar sendiri yang mandiri, mari bikin film!". Ini adalah sebuah pernyataan tegas untuk tak terjebak pada idiom kosong- seperti selama ini, masih banyak teman-teman filmmaker yang kerap berkeluh kesah enggan memproduksi film karena tak memiliki dana produksi. Ironis, hanya duduk manis berharap ada aliran dana APBD atau biasa tembakkannya adalah Dinas Pariwisata.

DULU, Orde Baru refresif memasung kreativitas anak muda. Bikin film adalah perkerjaan mustahil. Disamping peralatan yang serba mahal Negara menerapkan pelbagai syarat untuk memproduksi film. Mulai dari ijin Departemen Penerangan, actor maupun aktris film harus jadi anggota FARFI, crew film harus jadi anggota Karyawan Film dan Televisi (KTF), pembuat film harus ikut Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), sutradara film harus empat kali pernah menjadi asisten sutradara dan lain sebagainya tetekbengek jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk sebuah produksi film. Naibnya lagi, bikin film saat itu harus terlebihdahulu dapat ijin dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Memang, tak jamannya lagi di era reformasi kini takut bikin film, apalagi menabur khawatir seputar akan ditayangkan dimana dan siapa yang akan menontonya. Toh, Pemerintah dengan konsep Undang-Undang Penyiaran mulai bergerak membuka ruang bagi kita untuk berekspresi. Untuk itu, mari terus kita dukung dan kawal Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar terus berupaya memberdayakan konten local terhadap televise swasta nasional berjaringan dan televise local yang makin menjamur bermunculan. Artinya, kita akan semakin banyak memiliki ruang berekspresi dan berkarya untuk mengisi program acara di stasiun televise dan tak melulu terus berharap mengincar bioskop 21 sebagai penampungnya.

Memang, SUMBER daya manusia akan jadi bahasan penting dalam mendedah gerakan film di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan ini.
Perkembangan film di Medan belakangan memang pesat. Cepat tapi pincang.
Bagaimana tidak, problem sinema ialah dalam sejarah yang
begitu singkat harus mengajar banyak orang dalam euforia yang begitu
tinggi. Satu sisi harus berkarya, sisi lain harus harus mencari uang sekaligus ruangnya.
Salah satu yang bisa meningkatkan sumber daya manusia dibidang film
apalagi kalau bukan sekolah film. Sayangnya, Medan nyaris tak pernah ada sekolah khusus PerFilman, mungkin hanya Kengsington Institut ini (tempat diadakanya acara Hari Film Nasional) satu-satunya, itupun mungkin masih belum diberdayakan secara maksimal. Padahal, menjamurnya komunitas film di Medan ini cukup signifikan- ditambah berbagai ivent festival film yang diselenggarakan- terakhir yang cukup besar bahkan berskala nasional adalah Festival Film Anak (FFA) 2009. Dari keluaran FFA yang diprakarsai oleh PKPA dengan SFD dan di dukung komunitas film di Sumatera Utara ini menunjukkan betapa sineas muda di Medan sangat mendambakan kesinambungan pendidikan dan pelatihan atau workshop film. Bahkan actor senior Didi Petet yang sempat menjadi Ketua Dewan Juri FFA sempat menitip pesan agar berbagai pihak terus bertanggung jawab untuk keberlangsungan bakat luar biasa yang dimiliki anak-anak di medan tersebut.

Gerakan insan film di Medan memang masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi. Diantaranya persoalan transfer informasi dan pengetahuan film dengan lebih merata ke seluruh lapisan insan film-nya sendiri. Membangun jaringan komunikasi yang lebih kokoh sekaligus berfungsi menyiapkan medium distribusi karya yang luas.

Memecah kebekuan, kesenjangan informasi dan akses antara generasi tua dan
muda juga antara sineas dan pemerintahan. Eksplorasi tiada henti untuk mewujudkan perfilman di Sumatera Utara jadi lebih baik, sebagaimana yang tengah digagas oleh teman-teman FKIF di peringatan bulan film nasional ini. Semoga, FKIF Sumut terus mendapat dukungan dari segenap lapisan dan semoga di momentum Hari Film Nasional ini semangat sineas film di Medan bangkit kembali dan lebih semangat berkarya!!! Terimakasih.

Penulis Adalah Direktur Sineas Film Documentary (SFD) Medan
Dan Producer/Director Film Documentary “Pantang di Jaring Halus” dan “BADAI” (Berharap Air di Atas Air) yang telah mendapat apresiasi award nasional.
Email. onnykres@yahoo.com