Minggu, 31 Juli 2011

pertemuan mengantarkan kepintu hikmah

rapat opique pictures kali ini diadakan di pengujung bulan juli dan menyambut kedatangan bulan suci ramadhan, bulan yang memberikan berkaha kepada seluruh umat di dunia ini. dan pertemuan kali ini berbeda dengan pertemuan lainnya karena biasanya diadakan tepat pada malam selasa pukul 20.00-22.00wib namun kali ini diadakan pada hari minggu tepat pukul 14.00-16.00wib dikarenakan pada malam selasa pastilah kita sibuk berlomba-lomba mengumpulkan amal ibadah, sebab tak ada yang menjamin akankah kita dipertemukan dengan ramadhan yang akan datang?

dan yang sangat luar biasanya lagi pertemuan kita kali ini dihadiri hampir semuanya dan kedatangan tamu jauh seperti :
- produser film "gigi dinda sakit ma" yaitu andre anda nasution dan sepupunya bernama yessy.
- gitaris close time story yaitu muhammad prasetio
- vocalis close time story yaitu abdul jadid
- pemeran mama rama dalam film "gak belok lagi" yaitu tami rukmana
- teman seperjuangan fadly dan herman dikampus yaitu eka

dan diramaikan segenap crew opique pictures, diantaranya :
- ridho pratama (ketua)
- m taufik pradana (sekertaris)
- tengku rizky (bendahara)
- fadly franata
- hary hidayat
- echo dery
- deva prayoga
- adjie
- sary
- dilla
- herman

hanya saja seorang yang memiliki jutaan kosa kata tidak hadir yaitu sofyan, tanpa ada konfirmasi pula tu lagi, tapi masih bisa dimaklumilah namanya juga masuk bulan puasa, mungkin beliau benah-benah mesjid.

banyak pembahasan yang dibedah tadi, seperti mesalah perizinan pemutaran film "gak belok lagi" yang akan diadakan insyaallah tempat rapat kami tadi di kede kopi kami, masalah proposal yang akan membantu dalam produksi film "marjinal", referensi tuk kedepannya apabila ada projectan pemnuatan videoclip lagi dan terakhir izin penggunaan nama "ghoqielt" tuk usaha salam bulan puasa ini.

tawa canda mengakhiri bulan juli dan menyambut bulan penuh berkah itu tampak dari raut wajah yang yang tersengat oleh teriknya mentari yang memayungi langkah kami dalam menghadiri rapat tadi.

tuk pertemuan selanjutnya sekertaris kita mempercayai echo dery tuk menjadi PJ sekertaris selama bulan puasa ini terkait opiq dan fadly tag dapat menghadiri rapat seperti biasanya.

mengudara di malam awal penuh berkah
1 agustus 2011 tepat pukul 12.04 wib
m taufik pradana

Close Time Story Cipta clip bareng Opique Pictures



dengan semangkin banyaknya band lahir di permukaan bumi ini, "close time story" lahir dengan wajah baru mengisi belantika musik indoneisia dengan nama sebeumnya " Close our Story " dan ditetapkan pula tanggal kelahirannya itu tepat pada 26 juni 2011. memang kelihatannya malih belia namun mereka telah memproduksi videoclip "teringat sejenak dirimu". mereka mempercayai opique pictures tuk membuatnya.

"close time story memiliki arti tutup waktu cerita. dikarenakan kami ingin menutup waktu-waktu, cerita-cerita di band kami dulu karena pada saat berada di band yang dahulu kami dianggap tidak berguna mungkin di sebabkan skil yang kurang mengimbangi yang lainnya, kita mau menutup cerita band yang dahulu dan kita bermain di CTS dengan kekompakan dan bukan dengan skil-skil yang handal itu". ungkap seorang bassis band ini yang akrap disapa dengan panggilan dimas.

seperti band-band pada umumnya. "ya aku berharap band ini bisa masuk n diterima di industri musik indonesia,dan semoga cepat dapet label, ya soalnyakan kita ngeband kalau bisa sekalian nyari uang masuk juga biar bisa bantu orang tuadan gak minta uang lagi". ungkap vokalis band ini yaitu Adid

inilah sebuah band yang terbentuk atas nama persahabatan dan dimulai dari projek balas dendam katanya, mereka mau nunjukin sama kawan yabg sudah remehkan kemampuan mereka dari band yang dahulu mereka gandungi.

yang sebenarnya mereka khawatirkan adalah takus band ini bubar di tengah jalan dikarena keegoisan, dan mereka sangat setuju dengan band yang cepat tenar karena melalui jalan pintas rasanya "enggak banget",soalnya mereka ingin di kenal orang dari bawah dulu. mereka beranggapan kalau langsung terkenal karena uang semua orang bisa untuk itu tapi kalau melui jerih payah dari bawah mungkin tidak semua orang mampu bertahan.

itulah yang dirasakan oleh para personil Close time story yang di gawangi oleh Adid pada vokal dan gitar, dimas pada bass, tio pada gitar, dede pada keyboad dan nando pada drum.

okeh, kayaknya sudah cukup kita mendengarkan pengerahan dari meraka, sekarang kita saksikan saja bagaimana serunya pelampilan close time story videoclip produksi opique pictures.

cakidot...!!

Selasa, 26 Juli 2011

Opique Picture's Punya Pemimpin

opique pictures berdiri hampir 4 tahun, beberapa hari yang lalu sempat bertukar pikiran beberapa anggota dan pada rapat kali ini dibahas dan langsung diadakannya pemilihan. keputusan akhir dinyatakan M Riedho Pratama menjadi ketua, M Taufik Pradana menjadi sekertaris dan Tengku Rizki menjadi bendahara pada periode 2011-2012.

ada pun keputusan dari seluruh peserta rapat diantaranya :
- perangkat ini dapat digantikan apabila ada keputusan anggota lebih dari 50%.
- tanpa ada batas putaran.
- laporan dan evaluasi per 3 bulab sekali.
- pemimpin buka pengendali kekuasaan melainkan penggerak semangat opique pictures.

sekali lagi selamat kami ucapkan semiga amanah dan harapan dapat berjalan sebagaimana yang telah kita impikan selama ini....

mengudara 26 juni 2011
M Taufik Pradana

Senin, 11 Juli 2011

Membangkit Batang Terendam


Juhendri Chaniago

Artikel ini, awalnya adalah refleksi penulis atau catatan kecil dari “Diskusi Hari Film Nasional” yang diadakan pada 2 April 2011 lalu. Diskusi yang digagas KSI Medan bekerjasama dengan Galeri Seni Payung Teduh serta didukung oleh Widy Production ini, tak lain merupakan ungkapan keprihatinan atas kevakuman dunia perfilman di Medan.

Meskipun begitu, semoga diskusi hari film ini, dapat menjadi penawar sedingin bagi insan perfilman kita. Terutama bagi insan perfilman di Medan. Soal bagaimana solusi atas vakumnya dunia perfilman itu tentu semua tergantung kepada insan filmnya.

Satu hal yang kerap jadi pertanyaan, benarkah dunia perfilman Medan mati suri? Dengan kata lain, bukan tanpa sebab kalau pertanyaan ini juga mewacana pada diskusi hari film. Karena toh di setiap kali peringatan hari film pun, wacana ini kerap terdengar sebagai keprihatinan seni dan budaya.

Padahal, walikota Medan konon pernah berjanji akan mendukung dunia perfilman di Medan. Tentu diharapkan dapat menjawab teka-teki mati surinya dunia perfilman kita. Janji tinggallah janji. Janji itu pun belum terealisasi. Terbukti dengan minimnya dukungan pemko terhadap perkembangan perfilman Medan saat ini. Tak heran kalau dalam diskusi, Ketua Forum Komunikasi Insan Film Sumut, H. Amsyal sampai mengatakan, “Film di Medan masih ada tanpa dukungan siapa-siapa”.

Berangkat dari kenyataan ini, H. Amsyal ingin mengajak seluruh insan film Medan bersatu-padu menggairahkan kembali dunia perfilman kota Medan. Hal senada juga pernah disampaikan budayawan Idris Pasaribu, yang dalam diskusi film kali ini bertindak selaku moderator.

Adapun diskusi dihadiri beberapa komunitas film indie di Medan, seperti: RuFi, Umatic, Opique Pictures, Harapan Film dan Krakatau Film. Selain H. Amsyal, empat orang senior perfilman pun lantas didaulat untuk menjadi narasumber. Mereka adalah Shaut Ls Hutabarat (scriptwriter), dr. Daniel Irawan (pengamat dan dokumentator film), Joey Bangun (sutradara dari Aron Art Production) dan Indra Taruna (PARSI).

Lantas, masih mati surikah film Medan? Kalau bicara skala nasional mungkin iya, tetapi secara kreativitas tentu tidak. Meskipun secara sinematografi film-film karya anak Medan masih banyak kekurangannya, seperti yang diungkapkan H. Amsyal yang sering menjadi juri dalam beberapa kali festival film anak.

Mungkin inilah yang membuat para peserta diskusi -terutama dari berbagai komunitas film indie Medan- yang pada hari itu merasa terpanggil dan tercerahkan. Dengan forum diskusi semacam ini setidaknya insan film Medan mempunyai wawasan dan paradigma baru dalam memperjuangkan perfilman Medan, khususnya Sumatera Utara. Pun termasuk dalam agenda untuk mempertahankan Studio Film Sunggal, yang kini statusnya lagi “menggantung”.

Sekadar nostalgia, sejak tahun 1950-an, Medan memang pernah punya kenangan manis dalam dunia perfilman. Beberapa judul film dari Medan bermunculan, memberikan elan bagi dunia perfilman Medan. Sebut saja film Butet (1974), Setulus Hatimu (1974), Buaya Deli (1978), Sorta (1982), Musang Berjanggut (1983), Batas Impian (1986) dan sebagainya.

Bahkan tokoh-tokoh film dari Medan mulai banyak yang diperhitungkan. Seperti Abrar Siregar, Omar Bach, Arizal, M. Yusuf Su'ef Lubis, Yoseano Waas, Barani Nasution, Ibrahim Sinik, Arif Husin “King” Siregar, Abdul Aziz Harahap, A. Rahim Qahar, Bachtiar Siagian, Buhran Piliang, Darwis Rifai Harahap dan tentu masih banyak lainnya.

Ambil contoh Bachtiar Siagian tadi, seorang sutradara film kelahiran Sumatera yang kawakan, telah memproduksi banyak film: Tjorak Dunia (1955), Kabut Desember (1955), Daerah Hilang (1956), Melati Sendja (1956), Turang (1957), Sekedjap Mata (1959), Piso Surit (1960), Notaris Sulami (1961), Badja Membara (1961), Violetta (1962), Kami Bangun Hari Esok (1963), Njanjian Di Lereng Dieng (1964). Bahkan hal yang menggembirakan adalah film Turang pernah memenangkan Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1960 dan Butet di FFI 1975.

Kecuali itu, kota Medan pun pernah menjadi tuan rumah Festival Film Indonesia, yakni semasa Gubsu Marah Halim Harahap (1975) dan Gubsu EWP Tambunan (1983). Semua itu kini hanya tinggal kenangan. Tak ada lagi pejabat daerah kita yang perduli dengan dunia perfilman Medan seperti halnya Marah Halim Harahap dan EWP Tambunan.

Apalagi wacana politik justru makin membuat dunia perfilman di Medan harus termarginalkan, bahkan dikorbankan. Agar bisa tetap eksis pada kreativitasnya, para sineas Medan pun, banyak yang hijrah ke perfilman Jakarta, sebagai ladang film yang menjanjikan. Karena di Medan sendiri, mengutip dr. Daniel, adalah jalan buntu bagi dunia perfilman.

Shaut Ls Hutabarat, yang pernah malang-melintang di dunia perfilman nasional, juga sempat menahan “geram” atas sikap dinas budpar yang menurutnya sama sekali tak memahami persoalan dunia perfilman, khususnya perfilman kota Medan. Dia pun merasa terpanggil demi mengajak insan film Medan untuk bangkit, meskipun tanpa dukungan “siapa-siapa”.

Yang penting, insan film Medan harus tetap satu visi dan jangan pernah berhenti belajar. Bersaing secara sportif adalah perlu, tapi senantiasa mendukung karya anak Medan yang memang berkualitas. Sikap ini tentu harus ditumbuhkan supaya perfilman di Medan bisa maju. Soal pemerintah akan mendukung nantinya, tentu itu lebih baik lagi.

Seperti saran dr. Daniel, pengamat film Medan yang punya koleksi ribuan film itu, tidak usahlah dulu terlalu mengharapkan dukungan pemda. Marilah kita urai jalan buntu perfilman ini dengan semangat belajar. Untuk itu, dr. Daniel menganjurkan insan film Medan harus lebih rajin lagi menonton film. Terutama bagi komunitas film indie yang ada di Medan. Sebab selain sebagai apresiasi, hal ini juga buat mengasah kreativitas anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas film indie itu.

Memang, bagaimanapun tak bisa dipungkiri kalau dunia perfilman Medan seperti berada di bawah bayang-bayang Jakarta. Demikian Joey Bangun, seorang sutradara film yang kini melahirkan “Calon Bupati”, sebuah film yang bertemakan lokalitas Sumatera Utara.

Menurut Joey, insan film Medan harus punya strategi bagaimana “menggerakkan” produser-produser film lokal, sekaligus menghidupkan tivi-tivi lokal yang ada. Lantas membuat film-film dokumenter yang bermutu dan menarik sebagai langkah untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Meskipun alternatif ini masih bersifat spekulasi, tapi setidaknya dapat menjadi ajang kreativitas memecah kebuntuan.
Lain pula halnya kalau Indra Taruna dari PARSI Medan yang angkat bicara. Indra berpendapat persaingan film di Indonesia memang tak sehat. Salah satunya terjadi monopoli dalam industri film.

Baik layar lebar maupun televisi. Padahal dalam hal seni dan budaya, tidak boleh ada monopoli. Oleh sebab itu, Indra menawarkan, perlu ada draft perfilman daerah. Lantas buatlah gebrakan dengan mengajukan film-film karya anak Medan untuk diputarkan di stasiun-stasiun tivi nasional.

Mengutip data yang ada, Medan justru menyumbang pajak perfilman paling besar, sekitar 30 %. Kalau tidak, kata Indra dengan penuh semangat, kita boikot saja nonton tivi-tivi swasta! Intinya, apakah orang Medan hanya mau menjadi konsumen film semata?

Barangkali hal ini pulalah yang hendak “dikatakan” oleh beberapa peserta diskusi dari beberapa komunitas film indie. Tak beda jauh dari beberapa lontaran pertanyaan yang sempat ditanyakan Aden (RuFi), Galung (Umatic), Onet dan Butet kepada kelima narasumber tadi.

Sejatinya, perlu banyak pihak untuk memajukan perfilman kota Medan. Termasuk dukungan dari pers Medan dalam mengampanyekan film-film karya anak Medan. Yakni sebagai apresiasi atas kreativitas komunitas film anak Medan, yang menurut catatan H. Amsyal ada sekitar 30-an komunitas film indie di Medan. Kalkulasi ini boleh jadi lebih besar lagi. Seperti yang diungkapkan Galung, yang justru memprediksi komunitas film indie sekitar 60-an.

Pada akhirnya, diskusi ini seakan ingin menyimpulkan sebuah tekad, bahwa dunia perfilman Medan harus bangkit. Apalagi mengacu kepada UU No.33 tahun 2009 tentang Perfilman, sudah selayaknyalah kota Medan memiliki lembaga kursus perfilman, seperti di masa-masa yang lalu. Katakanlah semacam Institut Kesenian Jakarta atau Pusat Perfilman H. Usmar Ismail.

Adanya kursus film ini tentu sangat berarti demi proses pembelajaran bagi insan perfilman di Medan. Untuk menjawab apa yang dikatakan sineas Shaut tadi, insan film Medan jangan pernah berhenti belajar. Agar kreativitas lebih mantap lagi. Artinya, selama ini bukan tidak ada film-film karya anak Medan. Bahkan ada yang memenangi festival film seperti “Badai” dan “Pantang Di Jaring Halus” karya Onny Krisnawan, atau “Cinta Sebatas Jemuran” karya Jufri Bulian Ababil.

Hanya saja, masih banyak film karya anak Medan lainnya yang justru mutunya tidak mengalami perkembangan, sehingga terkesan, sakin gampangnya membuat film -apalagi di era serba digital saat ini- soal kualitas pun jarang diperhatikan. Kalau boleh membahasakan apa yang pernah dikuatirkan Garin Nugroho (2001), demokratisasi teknologi agaknya telah melahirkan sikap menggampangkan dalam penciptaan, hingga melahirkan karya, tapi tanpa proses budaya.

Boleh jadi ini jugalah salah satu kelemahan dunia perfilman kita, khususnya di Medan. Kemauan insan film Medan untuk selalu berkreativitas juga patut disyukuri. Tinggal bagaimana mengasah kemampuan insan film. Kelak, di masa mendatang, dengan visi dan semangat dalam kebersamaan, tentulah kemajuan perfilman di Medan (Sumatera Utara) bukanlah hal yang mustahil.
Tahniah Film Indonesia, maju terus perfilman Medan! KSI Medan, 2011

Jumat, 01 Juli 2011

aku terjatuh ditengah rinai hujan

sering terbesit dihayalku pasti semua kendaraan dijalanan pasti terjadi musibah terutama bagi yang tidak mengindahkan keselamatan berkendara, ntah itu ditabrak atau menabrak.

ya kali ini aku pulalah yang mengalami hal itu tepat pada pukul 00.17 wib. aku yang bergegas kesebuah sekret dimana aku tergabung dalam sebuah organisasi orang muda yang akrab kami sebut KOMPAK guna untuk mengerjakan sebuah disain sederhana yaitu sertifikat yang akan dibagi kepada 19 orang peserta yang mengikuti pelatihan beberapa hari lalu. kala ini perjalanan aku ditemani oleh rinai-rinai hujan.

dipersimpangan jalan gatot subtoto-iskandarmuda terlihat trafickligh yang hanya memancarkan cahaya kuning menunjukan aku harus berhati-hati. aku kurangi laju tuk menghindari kendaraan didepan mata yang telah menyalakan lampu tangan tuk menyebrang, namun karena mobil itu juga menurunkan lajunya ya aku tarik tuas perhalan lalu dengan kecepatan yang luamayan mobil sedan berwarna hitam menyerempet. stang kiri keretaku menyentuh badan mobil itu dan aku terhempas dipertengahan jalan. aku terjatuh kesebelah kiri dan keretaku seakan menyorong dengan seluruh bobotnya itu kepala tertantam memeluk bumi, hanya kaki dan tangan sedikit luka, namun jalanan yang masih terselimuti hujan membasahi celanaku.

aku beranjak membangunkan kereta yang tak berdaya itu, terbesik sekejap dalam hati lari apa tidak karena mobil itu bertepi seakan menungguku, namun dengan pikiran yang jernih aku hampiri mobil yang terparkir rapi dipinggirjalan itu sembari aku berkata : "ada mobil didepan yang mintaa jalan duluan makanya aku pelan bang?", dengan santai abang itu menjawab " gimana abang gak papakan?", dengan kesah aku menjawab gak papanya bang cuma keseleo aja kok, mobil abang gimana?", lalu dia menjawab " gak papa kok mobil di asuransikan". dan kami saling berjabat menandakan tiada dusta diatara kami.

bagi yang belum pengalami hal ini dan jangan sampe mengalami hal ini alangkah lebih baiknya untuk berhati-hati dalam berkendara dan indahkanlah pula keselamatan berkendara.

mengudara dari sekret kompak medan
tepat pukul 02.52 wib tanggal 1 juni tepat hari jadi medan
M Taufik Pradana