Minggu, 24 Januari 2016

Sosialisasi Produksi Film Berjamaah

Sosialisasi Produksi Film Berjamaah.



Pada kesempatan kali ini. kami opique pictures, pejuang subuh medan, andalucia travindo, LPPA dan banyak lagi komunitas dakwah ingin bersinergi dalam dakwah kreatif dengan menggunakan media film.

kami juga membuka peluang kepada ikhwan dan akhwat untuk bersama menyumbangkan ide cerita film seperti apa yang akan di produksi.

inshaallah, film yang akan diproduksi berdurasi 10 - 15 menit yang akan di upload di jejaring sosial tiap sebulan sekali. tuk saudara kami yang ingin berkontribusi untuk agama Allah swt silahkan kirimkan ide dan masukan tuk produksi film di pejuangsbhmedan@hotmail.com

Rabu, 13 Januari 2016

Deddy Mizwar: Membuat Film Itu Ibadah


Pada Desember 2007, Mirwan Andan dari redaksi Katalog Film Indonesia menemui Deddy Mizwar untuk berbincang mengenai prinsip-prinsipnya dalam membuat film.

T: Apa pertimbangan paling penting dalam membuat film?
J: Pertimbangan saya yang paling penting dalam membuat film karena dia adalah ibadah. Manusia diciptakan untuk beribadah.  Jika seseorang diberi kemampuan atas sesuatu, maka sebaiknya ia melakukannya untuk ibadah. Nah, kemampuan yang saya punya adalah membuat film dan adalah ibadah buat saya jika membuat sebuah film. Nah, ibadah yang saya maksud adalah ibadah kepada sesama manusia dan juga kepada Tuhan.

Jika ada orang yang bersedekah dengan harta, maka saya bersedekah dengan ilmu. Karena semua yang kita lakukan haruslah dipertanggungjawabkan. Sama dengan apa yang kau tulis dari wawancara ini, harus kau pertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat.

Sikap ini saya ambil semenjak saya jadi produser di awal tahun 1990-an, seluruh film saya sejak itu, saya kerjakan karena pertimbangan ibadah. Selain pertimbangan ibadah, tidak ada lagi pertimbangan lain. Sebab soal untung rugi, itu bukan urusan bagi kita yang membuatnya. Siapa yang menentukan untung ruginya sesuatu? Apakah itu terjangkau oleh nalar kau? Sesuatu yang kau anggap untung secara material belum tentu untung secara non-material. Itu hanyalah upaya.

Jika membuat film dilandasi karena ibadah maka harus ada sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat dalam karya film tersebut. Dan bisnis pada dasarnya tidak ada ruginya. Kenapa kita harus mengambil resiko rugi dalam bisnis. Saya tidak mau beresiko rugi. Resiko saya adalah untung. Beribadahlah dalam bekerja, maka tidak ada resiko rugi di situ.

Genre yang paling Anda minati?
Semua genre. Tergantung dari cerita dan masalah yang ingin disampaikan. Genre itu hanya kemasan, sebuah metode dan gaya, tergantung apa yang ingin kita sampaikan. Jika sesuatu harus kita sampaikan dengan dramatis, maka genre drama yang kita pilih. Kalau sesuatu ingin kita sampaikan dengan lucu, maka komedi yang kita ambil. Jadi genre tidak menentukan apa yang kita buat. Tapi apa yang akan kita buat, itulah yang akan menentukan genre-nya. Genre mucul kemudian setelah gagasannya ada. Gagasan tentang apa yang ingin kita sampaikan kepada masyarakat.

Belakangan ini saya memilih komedi karena persoalan yang saya angkat sangatlah serius. Kenapa komedi? Agar masalah serius yang diangkat bisa mencair ketika sampai di masyarakat melalui komedi. Jika sesuatu yang serius itu disampaikan dengan dramatis, nanti masyarakat tidak bisa mencernanya. Jadi tetap menghibur tapi memiliki isi yang bermakna bagi masyarakat.

Coba tanya mereka yang menonton Ketika, Kiamat Sudah Dekat dan Naga Bonar Jadi 2, pasti mendapatkan sesuatu, makanya perlu kreativitas untuk menyampaikannya, meskipun melucu kemasannya.  Semuanya diawali dengan pertanyaan: apa yang ingin disampaikan?

Kita bisa melihat Naga Bonar dan Naga Bonar Jadi 2, semuanya komedi meskipun temanya sangat serius. Naga Bonar pertama jika dibuat dengan genre drama, mungkin dia tidak lulus sensor di tengah kondisi militeristik yang sangat kuat di negeri ini. Bagaimana pencopet bisa jadi jenderal. Itulah kreativitas. Asrul Sani sangatlah kreatif, pintar, mengerti zamannya dan paham masyarakatnya, dia bisa membuat Naga Bonar pertama lolos dari sensor. Dia tahu, dengan cara apa menyampaikan sesuatu pada masyarakatnya dan juga cara apa yang harus diambil untuk menyampaikan sesuatu di tengah represifnya pemerintahan militer waktu itu.  Itulah orang cerdas. Sekarang banyak yang belum bikin apa-apa tapi Badan Sensor Film mau dibubarkan [tertawa].

Kalau ada film yang Anda impikan harus Anda buat, film apa itu?
Semuanya sebetulnya tergantung dengan masalah yang kita hadapi karena film tidak lepas dari masyarakat kita. Dari tahun ke tahun masalah kita selalu berubah. Jadi perlu diikuti perkembangan perubahannya baru berfikir tentang film apa yang ingin saya buat. Di film Ketika saya mengangkat masalah korupsi dan bagaimana hukum ditegakkan di negeri ini karena itu yang dibutuhkan saat ini. Tapi untuk menegakkan itu, perlu terjadi ketidaknyamanan karena akan ada perubahan secara total. Sanggupkah kita? Mari kita bercermin. Jangan-jangan orang ingin menegakkan hukum  kalau hukum itu untuk orang lain, buat diri kita sendiri, kita belum tentu mau [tertawa].

Jadi film yang saya paling impikan adalah sesuai dengan realita yang terjadi. Nah, masalah di sekeliling kita sangat banyak, tergantung dari sudut mananya yang mau diambil. Jangan hanya persoalan seks, sadisme dan hantu saja, tidak kreatif itu namanya. Film-film yang saya buat tidak berisikan seks dan sadisme tapi tetap laku ditonton orang, baik di TV maupun di bioskop, alhamdulillah. Dan yang penting tidak rugi, untung terus. Keuntungannya bukan hanya materiil, tapi menyampaikan sesuatu yang baik kepada masyarakat itu juga adalah keuntungan [tertawa].

Bioskop, Karakter Bangsa?

Salah satu pertanyaan terbesar era pemerintahan dewasa ini adalah bagaimana karakter bangsa yang menjadi jargon Joko Widodo mampu bertumbuh di tengah ciri terbesar peradaban pasar bebas dewasa ini, yakni kebebasan konsumen memilih produk. Bebas memilih buah impor atau lokal. Bebas menonton film di bioskop. Warga hanya jadi warga konsumen bukan warga negara?

Bagi saya, yang termulia dalam membaca peradaban dewasa ini, justru perlombaan bangsa-bangsa beradab untuk melahirkan strategi produktivitas lokal dalam penghormatan pasar bebas. Pada kerja ini, maka warga tidak lagi sekadar diperlakukan sebagai warga konsumen, namun warga negara. Pada kemuliaan kata warga negara, maka pemerintah hingga sektor swasta yang mengelola ruang tumbuh warga negara, senantiasa ikut bertanggung jawab atas kualitas tumbuhnya masyarakat sipil yang semakin kritis dan punya rasa krisis, yakni semakin produktif, berpengetahuan, berketerampilan, berselera, serta semakin beretika berbasis profesionalisme.

Dasar pemikiran ini menjadi penting, mengingat produktivitas suatu bangsa dalam berbagai aspek kehidupan menjadi muara terbesar mengelola seluruh unsur keutamaan karakter bangsa, yakni keunggulan kualitas hidup, cara kerja, hingga cara menanggapi dan bereaksi terhadap perubahan global.

Simak film Hollywood. Ia tidak sekadar film, namun sejarah, karakter bangsa Amerika dan diplomasi politik maupun perdagangan terbesar Amerika. Simak, sejarah tokoh antagonis film Amerika, senantiasa menjadi bagian bangunan politik luar negeri Amerika. Jangan heran, ketika awal Perang Dunia II, film Amerika antagonisnya pastilah orang Jerman sesuai situasi perang dunia saat itu, demikian juga ketika Perang Dingin pastilah antagonis film Amerika adalah Rusia. Bisa ditebak, kini musuh Amerika pastilah teroris maupun beragam antagonis yang tidak jelas asal-usulnya, seiring kebingungan Amerika menemukan musuh terbesarnya. Jangan heran pula, Amerika akan melakukan perlindungan distribusi filmnya dengan cara apa pun.

Catatan di atas menyimpulkan satu nilai keutamaan bahwa kebebasan demokrasi dalam jargon karakter bangsa memerlukan satu kata: keberpihakan pada daya hidup produktivitas lokal. Yang pada gilirannya menyangkut ketahanan pangan lokal, ketahanan politik, hingga sains dan budaya, seni, hingga hiburan.

Haruslah dicatat, syarat-syarat untuk masuk demokrasi dalam pasar bebas perlu waktu dan mahal, maka tanpa keberpihakan pemerintah maupun sektor swasta akan muncul ketimpangan dan berlanjut pada kemunduran produktivitas lokal. Pada gilirannya, pilihan pada impor terasa menjadi jalan penyelamatan, namun sesungguhnya jalan pintas dari kekalahan produktivitas sebuah bangsa.

Simak, kasus daging sapi, pastilah daging sapi Australia yang dibawa dengan kapal layaknya kapal pesiar akan lebih cepat dan terjamin dibanding sapi dari NTT yang diangkut kapal kayu. Atau simak, buah impor pastilah lebih murah, cepat, dan enak dibanding upaya memproduksi buah lokal dengan percepatan produksi, kenyamanan, dan keenakan dalam waktu pendek. Atau simak pertunjukan industri teater musikal, pastilah lebih cepat, bergengsi, dan terjamin ekonomi mengimpor pertunjukan dari Amerika yang sudah terbaca pasar dan standarnya.

Demikian juga dalam film, pastilah lebih mudah memperhitungkan keuntungan film-film populer Hollywood dibanding film Indonesia.

Catatan di atas juga menunjukkan bahwa persaingan pasar bebas tidak selalu dalam kesetaraan waktu serta ruang tubuh antara produksi lokal dan impor. Simaklah, kelengkapan berdirinya institusi demokrasi sebagai jaminan terjaganya ekonomi demokrasi. Pada kasus film, sesungguhnya industri film belum memenuhi syarat demokratis ekonomi. Sebutlah, tidak adanya institusi pengawas publik independen terhadap jumlah tiket hingga jumlah penonton serta sistem distribusi. Atau juga lembaga film (Badan Perfilman Indonesia) yang mempunyai dasar hukum serta dukungan administrasi pelaksana atau juga serikat kerja. Oleh karena itu, seluruh debat tentang data ketidakadilan distribusi menjadi tidak memiliki akuntabilitasnya karena bersumber dari bioskop itu sendiri. Dengan demikian, dunia film kehilangan dasar demokratisasi ekonominya.


Catatan di atas saya perlukan untuk memberi jawaban debat di harian ini antara pihak Bioskop 21 dan pelaku industri, kritikus dan pencipta film yang belum merasa terciptanya demokrasi distribusi film yang berpihak pada karakter bangsa, yakni produktivitas film lokal.

Saya pribadi harus memuji upaya pertumbuhan sistem Bioskop 21 yang awalnya monopoli dan kroni, kini berupaya bertumbuh dalam pasar demokratisasi. Demikian juga, kerja lewat dukungan aktif film indonesia dengan menyelenggarakan festival film pendek, dan lain-lain. Namun, selayaknya jalan menuju demokratisasi ekonomi tidak sebatas kampanye lewat festival, namun aktif secara konstruktif, bersama-sama memperlengkapi syarat-syarat institusi demokrasi. Untuk tidak lagi disebut monopoli maupun menganakemaskan Hollywood dan menganaktirikan film nasional. Sebutlah, Hollywood lebih mudah memesan tanggal tayang yang rekatif ekonomis.

Saya masih ingat, ketika saya menjadi juri di Busan International Film Festival kedua kalinya. Saya melihat demonstrasi pelaku film Korea menutup bioskop yang dianggap menjadikan Hollywood sebagai anak emas, bahkan kemudian para demonstran melempar ular ke dalam bioskop. Catatan ini menunjukkan bahwa wajah industri film Korea dewasa ini bertumbuh dari gesekan besar tentang demokratisasi dan karakter bangsa, yang kemudian berevolusi menjadi kerja konstruktif pemerintah, pelaku film dan swasta untuk membawa Korea dalam wajah industri film dewasa ini, lewat lebih dari 10 tahun.

Pada kenyataan ini, saatnya kerja konstruktif bersama dilakukan, namun juga orang film harus berani terus menuntut dan berkata ” tidak” pada diskriminasi produktivitas produk lokal. Jika ini tidak dilakukan sebagai suatu kewajaran, Nawacita Jokowi hanya jadi cita-cita yang tak bernyawa...

Pertama kali dimuat di Kompas, Minggu 30 Agustus 2015, hlm 12