Rabu, 13 Januari 2016

Bioskop, Karakter Bangsa?

Salah satu pertanyaan terbesar era pemerintahan dewasa ini adalah bagaimana karakter bangsa yang menjadi jargon Joko Widodo mampu bertumbuh di tengah ciri terbesar peradaban pasar bebas dewasa ini, yakni kebebasan konsumen memilih produk. Bebas memilih buah impor atau lokal. Bebas menonton film di bioskop. Warga hanya jadi warga konsumen bukan warga negara?

Bagi saya, yang termulia dalam membaca peradaban dewasa ini, justru perlombaan bangsa-bangsa beradab untuk melahirkan strategi produktivitas lokal dalam penghormatan pasar bebas. Pada kerja ini, maka warga tidak lagi sekadar diperlakukan sebagai warga konsumen, namun warga negara. Pada kemuliaan kata warga negara, maka pemerintah hingga sektor swasta yang mengelola ruang tumbuh warga negara, senantiasa ikut bertanggung jawab atas kualitas tumbuhnya masyarakat sipil yang semakin kritis dan punya rasa krisis, yakni semakin produktif, berpengetahuan, berketerampilan, berselera, serta semakin beretika berbasis profesionalisme.

Dasar pemikiran ini menjadi penting, mengingat produktivitas suatu bangsa dalam berbagai aspek kehidupan menjadi muara terbesar mengelola seluruh unsur keutamaan karakter bangsa, yakni keunggulan kualitas hidup, cara kerja, hingga cara menanggapi dan bereaksi terhadap perubahan global.

Simak film Hollywood. Ia tidak sekadar film, namun sejarah, karakter bangsa Amerika dan diplomasi politik maupun perdagangan terbesar Amerika. Simak, sejarah tokoh antagonis film Amerika, senantiasa menjadi bagian bangunan politik luar negeri Amerika. Jangan heran, ketika awal Perang Dunia II, film Amerika antagonisnya pastilah orang Jerman sesuai situasi perang dunia saat itu, demikian juga ketika Perang Dingin pastilah antagonis film Amerika adalah Rusia. Bisa ditebak, kini musuh Amerika pastilah teroris maupun beragam antagonis yang tidak jelas asal-usulnya, seiring kebingungan Amerika menemukan musuh terbesarnya. Jangan heran pula, Amerika akan melakukan perlindungan distribusi filmnya dengan cara apa pun.

Catatan di atas menyimpulkan satu nilai keutamaan bahwa kebebasan demokrasi dalam jargon karakter bangsa memerlukan satu kata: keberpihakan pada daya hidup produktivitas lokal. Yang pada gilirannya menyangkut ketahanan pangan lokal, ketahanan politik, hingga sains dan budaya, seni, hingga hiburan.

Haruslah dicatat, syarat-syarat untuk masuk demokrasi dalam pasar bebas perlu waktu dan mahal, maka tanpa keberpihakan pemerintah maupun sektor swasta akan muncul ketimpangan dan berlanjut pada kemunduran produktivitas lokal. Pada gilirannya, pilihan pada impor terasa menjadi jalan penyelamatan, namun sesungguhnya jalan pintas dari kekalahan produktivitas sebuah bangsa.

Simak, kasus daging sapi, pastilah daging sapi Australia yang dibawa dengan kapal layaknya kapal pesiar akan lebih cepat dan terjamin dibanding sapi dari NTT yang diangkut kapal kayu. Atau simak, buah impor pastilah lebih murah, cepat, dan enak dibanding upaya memproduksi buah lokal dengan percepatan produksi, kenyamanan, dan keenakan dalam waktu pendek. Atau simak pertunjukan industri teater musikal, pastilah lebih cepat, bergengsi, dan terjamin ekonomi mengimpor pertunjukan dari Amerika yang sudah terbaca pasar dan standarnya.

Demikian juga dalam film, pastilah lebih mudah memperhitungkan keuntungan film-film populer Hollywood dibanding film Indonesia.

Catatan di atas juga menunjukkan bahwa persaingan pasar bebas tidak selalu dalam kesetaraan waktu serta ruang tubuh antara produksi lokal dan impor. Simaklah, kelengkapan berdirinya institusi demokrasi sebagai jaminan terjaganya ekonomi demokrasi. Pada kasus film, sesungguhnya industri film belum memenuhi syarat demokratis ekonomi. Sebutlah, tidak adanya institusi pengawas publik independen terhadap jumlah tiket hingga jumlah penonton serta sistem distribusi. Atau juga lembaga film (Badan Perfilman Indonesia) yang mempunyai dasar hukum serta dukungan administrasi pelaksana atau juga serikat kerja. Oleh karena itu, seluruh debat tentang data ketidakadilan distribusi menjadi tidak memiliki akuntabilitasnya karena bersumber dari bioskop itu sendiri. Dengan demikian, dunia film kehilangan dasar demokratisasi ekonominya.


Catatan di atas saya perlukan untuk memberi jawaban debat di harian ini antara pihak Bioskop 21 dan pelaku industri, kritikus dan pencipta film yang belum merasa terciptanya demokrasi distribusi film yang berpihak pada karakter bangsa, yakni produktivitas film lokal.

Saya pribadi harus memuji upaya pertumbuhan sistem Bioskop 21 yang awalnya monopoli dan kroni, kini berupaya bertumbuh dalam pasar demokratisasi. Demikian juga, kerja lewat dukungan aktif film indonesia dengan menyelenggarakan festival film pendek, dan lain-lain. Namun, selayaknya jalan menuju demokratisasi ekonomi tidak sebatas kampanye lewat festival, namun aktif secara konstruktif, bersama-sama memperlengkapi syarat-syarat institusi demokrasi. Untuk tidak lagi disebut monopoli maupun menganakemaskan Hollywood dan menganaktirikan film nasional. Sebutlah, Hollywood lebih mudah memesan tanggal tayang yang rekatif ekonomis.

Saya masih ingat, ketika saya menjadi juri di Busan International Film Festival kedua kalinya. Saya melihat demonstrasi pelaku film Korea menutup bioskop yang dianggap menjadikan Hollywood sebagai anak emas, bahkan kemudian para demonstran melempar ular ke dalam bioskop. Catatan ini menunjukkan bahwa wajah industri film Korea dewasa ini bertumbuh dari gesekan besar tentang demokratisasi dan karakter bangsa, yang kemudian berevolusi menjadi kerja konstruktif pemerintah, pelaku film dan swasta untuk membawa Korea dalam wajah industri film dewasa ini, lewat lebih dari 10 tahun.

Pada kenyataan ini, saatnya kerja konstruktif bersama dilakukan, namun juga orang film harus berani terus menuntut dan berkata ” tidak” pada diskriminasi produktivitas produk lokal. Jika ini tidak dilakukan sebagai suatu kewajaran, Nawacita Jokowi hanya jadi cita-cita yang tak bernyawa...

Pertama kali dimuat di Kompas, Minggu 30 Agustus 2015, hlm 12