Kamis, 30 Mei 2013

14 langkah membuat film sendiri…

Akhir-akhir ini, banyak yang memprotes para produsen sinetron Indonesia yang dianggap telah kehilangan daya kreatif sehingga akhirnya menyadur film yang diproduksi orang luar. Tapi, sebenarnya, bagaimana sih cara membuat film itu? Posting ini bukan sebuah pembelaan, dan bukan pula sebuah hujatan baru. Hanya ingin menunjukkan… Begini lho, caranya membuat film. Hitung-hitung, sebagai materi tambahan buat anak-anak saya di sekolah…
Pada dasarnya, membuat film itu dapat dibagi ke dalam 14 tahapan. Apa saja?

1. IDE
Idealnya, IDE ini harus unik dan original. Tapi, memutuskan untuk menyadur sebuah karya orang lain itu juga termasuk sebuah IDE lho… Untuk mencari IDE, banyak cara yang bisa dilakukan. Melakukan pengamatan terus-menerus, jalan-jalan ke tempat yang aneh dan belum pernah didatangi manusia, nangkring di pohon asem di pinggir jalan sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang, atau bahkan duduk santai di sebuah food court di suatu plaza atau mall. Melamun sendirian di dalam kamar juga bisa mendatangkan ide, kok…

2. Sasaran
Setelah mendapatkan IDE, tentukan sasaran dari film yang akan dibuat. Koleksi pribadi? Murid SMU? Komunitas S&M? Para Otaku? Para Blogger? Siapa yang akan menonton film itu nantinya? Itu juga harus ditentukan dengan jelas di awal. Jangan sampai terjadi, film tersebut ditujukan untuk anak SMU tapi karena tidak disosialisasikan dengan jelas, akhirnya dipenuhi adegan berantem penuh darah ala 300

3. Tujuan
IDE dan Sasaran sudah ditetapkan. Yang harus dipastikan selanjutnya adalah tujuan pembuatan film. Ingin menggugah nasionalisme seperti Naga Bonar? Ingin menyampaikan pesan terakhir sebelum nge-bom? Ingin mendapatkan kepuasan pribadi seperti pembuatan film Passion of the Christ? Apa?

4. Pokok Materi
Berikutnya adalah menyusun pokok materi. Apa sih pesan yang ingin disampaikan? Ungkapan cinta? Sekedar pesan mengingatkan bahaya merokok?

5. Sinopsis
Sinopsis adalah ringkasan yang menggambarkan cerita secara garis besar. Semacam ide awal gitu loh. Dari sinopsis ini, nantinya bisa dikembangkan menjadi cerita yang lebih detil.

6. Treatment
Tahapan ini adalah penggambaran adegan-adegan yang nantinya akan muncul dalam cerita. Tidak mendetil. Contoh treatment itu seperti ini…
Ada seorang perokok yang sedang merokok dengan santainya. Kemudian tiba-tiba dia batuk-batuk dengan hebat dan agak lama. Sebelum beranjak pergi, orang itu membuang rokoknya sembarangan. Tiba-tiba muncul api…
7. Naskah
Naskah adalah bentuk mendetil dari cerita. Dilengkapi dengan berbagai penjelasan yang mendukung cerita (seting environment, background music, ekspresi, semuanya…). Contoh naskah itu, seperti ini…
FS. Ali mengayuh becak. Ais duduk merenung, tidak mempedulikan Ali yang bolak-balik menatapnya.
Ali : Dak usah dipikir lah, Mbak…
Ais : (kaget) Heh? Apa, Bang?
8. Pengkajian
Pengkajian disini, adalah yang dilakukan oleh seorang ahli isi (content) atau ahli media. Yang dikaji, adalah apakah naskahnya sudah sesuai dengan tujuan semula? Dan hal-hal yang mirip seperti itu…

9. Produksi Prototipe
Proses ini dibagi jadi 3 sub-tahap, yaitu pra-produksi (penjabaran naskah, casting pemain, pengumpulan perlengkapan, penentuan dan pembuatan set, penentuan shot yang baik, pembuatan story board, pembuatan rancangan anggaran, serta penyusunan kerabat kerja), produksi (pengambilan gambar sesuai dengan naskah dan improvisasi sutradara), purna-produksi (intinya adalah editing).

10. Uji coba
Uji coba ini dilakukan dengan memutar prototipe di hadapan sekelompok kecil orang. Kalau produsen film besar, biasanya melakukan ini di hadapan para kritikus. Tujuannya adalah untuk mengetahui respon dari calon audiens.

11. Revisi
Setelah ada respon, maka dilakukan perubahan jika diperlukan. Karena itu lah, banyak film yang memiliki deleted scenes. Itu diakibatkan proses uji coba dan revisi ini.

12. Preview
Preview itu adalah pemutaran perdana, di hadapan para ahli isi, ahli media, sutradara, produser, penulis naskah, editor, dan semua kru yang terlibat dalam produksi. Tujuan dari preview ini adalah untuk memastikan apakah semuanya berjalan lancar sesuai rencana atau ada penyimpangan. Bisa dikatakan, bahwa preview ini adalah proses pemeriksaan terakhir sebelum sebuah film diluncurkan secara resmi.

13. Pembuatan Bahan Penyerta
Bahan Penyerta itu adalah poster iklan, trailer, teaser, buku manual (jika film yang dibuat adalah sebuah film tutorial), dan lain sebagainya yang mungkin dibutuhkan untuk mensukseskan film ini.

14. Penggandaan
Tahap terakhir adalah penggandaan untuk arsip dan untuk didistribusikan oleh para Joni (ini terjadi pada jaman dulu kala, waktu format film digital masih ada di angan-angan).
Nah, demikian lah proses produksi sebuah film. Dari awal sampai akhir, siap untuk didistribusikan. Jadi, apa lagi yang ditunggu? Mari kita produksi film-film berkualitas agar tidak dikatakan bahwa sineas Indonesia telah kehilangan kreatifitas dan tidak bisa memproduksi karya orisinil lagi. SEMANGAT!!!

sumber : http://suandana.wordpress.com/

Rabu, 29 Mei 2013

M Taufik Pradana, Sineas Muda Menebar Karya

Oleh Moyang Kasih Dewimerdeka

Sekelompok anak muda berpacu me­ngayuh sepeda. Hasta demi hasta jalanan Medan-Binjai dilahap dengan ringan hati. Keringat bercucuran, namun segera lalu disapu sepoi angin. Seorang di antaranya, dengan handycam di tangan, cermat mengabadikan tiap detiknya menjadi serangkai gambar bergerak.
Foto: Andika Bakti
Adegan demi adegan tersebut lalu diramu menjadi cerita. Global Never Warming judulnya. Kisah sederhana tentang kampanye pema­nasan global itu kemudian diikutkan pada Festival Film Anak 2008 lalu. Tak sia-sia. Perjuangan mereka menempuh puluhan kilometer di atas kereta angin itu diganjar penghargaan Sutradara Terbaik versi Film Dokumenter dalam Festival Film Anak 2008. 
 
Adalah M Taufik Pradana, sang sutradara di balik kisah itu. Opik, begitu ia disapa, hanyalah mahasiswa biasa yang mencoba menantang otak kanannya untuk menghasilkan karya luar biasa. Film adalah media yang dipilih sebagai penyalur ide briliannya. Di usia yang belum lagi menginjak kepala dua, Opik telah menelurkan puluhan judul film. Belasan di antaranya telah diikutkan dalam berbagai ajang festival film dan telah pula meraih deretan penghargaan.

Saat ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU, tempatnya menimba ilmu, lelaki gempal ini tak sungkan membagi cerita. Meski hari telah beranjak sore dan ia baru saja usai mengikuti perkuliahan, Opik tetap bertutur dengan raut wajah ceria. Di bawah pohon rindang FISIP, Opik mengenang kembali awal mula ia terjun dalam kancah perfilman.

Semua bermula saat ia duduk di bangku SD kelas lima. Opik kecil telah senang bermain-main de­ngan kamera analog milik orang tua­nya. Seiring waktu, Opik semakin mengembangkan minatnya tersebut. Saat kelas satu SMA, Opik membeli sebuah MP5 player bekas dengan kamera video berketajaman dua megapiksel. Berbekal peralatan seadanya ini, Opik mulai mengabadikan setiap momen yang dijumpainya.

Meski bisa merekam video, Opik masih terkendala dalam membuat film. “Waktu itu Opik belum bisa mengedit gambar,” kenangnya. Bak gayung bersambut, Opik dipertemukan dengan seorang kawan yang jago dalam mengedit video. Berkat kolaborasi apik ini, jalan untuk memproduksi film semakin terbentang lebar.
 
Bikin Film Itu Murah

Bila mendengar sebuah produksi film, tentu kita memba­yangkan modal besar yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan film bermutu.

Namun siapa nyana, hal ini justru dibantah tegas oleh Opik. “Bikin film itu mudah dan murah kok,” ujarnya. Opik telah membuktikannya sendiri. “Bahkan pakai kamera VGA juga bisa, tidak mesti yang canggih-canggih amat,” tegas Opik.

Melihat kondisi perfilman indie di Indonesia yang masih pasang surut, Opik berpandangan hal ini salah satunya dikarenakan anggap­an membuat film itu mahal. Padahal membuat film tidaklah serumit dan semahal itu.

Opik memberi contoh, bila i­ngin mengkonversi gambar dalam film menjadi kaset, cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 1.500. Menurut perhitungannya, dengan Rp 60.000 saja, sebuah film pendek berdurasi 15 hingga 20 menit sudah dapat dihasilkan.

Opik sendiri bukannya berasal dari keluarga kaya yang mampu membiayai hobinya. Keluarganya mengajarkan Opik untuk selalu hidup sederhana dan mandiri. Untuk alat, teknologi, dan segala pengeluaran dalam memproduksi film, Opik selalu meng­upayakan sendiri.  

Oleh Moyang Kasih Dewimerdeka* | @satudewimerdeka
Sekelompok anak muda berpacu me­ngayuh sepeda. Hasta demi hasta jalanan Medan-Binjai dilahap dengan ringan hati. Keringat bercucuran, namun segera lalu disapu sepoi angin. Seorang di antaranya, dengan handycam di tangan, cermat mengabadikan tiap detiknya menjadi serangkai gambar bergerak.
Foto: Andika Bakti
Adegan demi adegan tersebut lalu diramu menjadi cerita. Global Never Warming judulnya. Kisah sederhana tentang kampanye pema­nasan global itu kemudian diikutkan pada Festival Film Anak 2008 lalu. Tak sia-sia. Perjuangan mereka menempuh puluhan kilometer di atas kereta angin itu diganjar penghargaan Sutradara Terbaik versi Film Dokumenter dalam Festival Film Anak 2008.

Adalah M Taufik Pradana, sang sutradara di balik kisah itu. Opik, begitu ia disapa, hanyalah mahasiswa biasa yang mencoba menantang otak kanannya untuk menghasilkan karya luar biasa. Film adalah media yang dipilih sebagai penyalur ide briliannya. Di usia yang belum lagi menginjak kepala dua, Opik telah menelurkan puluhan judul film. Belasan di antaranya telah diikutkan dalam berbagai ajang festival film dan telah pula meraih deretan penghargaan.

Saat ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU, tempatnya menimba ilmu, lelaki gempal ini tak sungkan membagi cerita. Meski hari telah beranjak sore dan ia baru saja usai mengikuti perkuliahan, Opik tetap bertutur dengan raut wajah ceria. Di bawah pohon rindang FISIP, Opik mengenang kembali awal mula ia terjun dalam kancah perfilman.

Semua bermula saat ia duduk di bangku SD kelas lima. Opik kecil telah senang bermain-main de­ngan kamera analog milik orang tua­nya. Seiring waktu, Opik semakin mengembangkan minatnya tersebut. Saat kelas satu SMA, Opik membeli sebuah MP5 player bekas dengan kamera video berketajaman dua megapiksel. Berbekal peralatan seadanya ini, Opik mulai mengabadikan setiap momen yang dijumpainya.

Meski bisa merekam video, Opik masih terkendala dalam membuat film. “Waktu itu Opik belum bisa mengedit gambar,” kenangnya. Bak gayung bersambut, Opik dipertemukan dengan seorang kawan yang jago dalam mengedit video. Berkat kolaborasi apik ini, jalan untuk memproduksi film semakin terbentang lebar.

Bikin Film Itu Murah

Bila mendengar sebuah produksi film, tentu kita memba­yangkan modal besar yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan film bermutu.

Namun siapa nyana, hal ini justru dibantah tegas oleh Opik. “Bikin film itu mudah dan murah kok,” ujarnya. Opik telah membuktikannya sendiri. “Bahkan pakai kamera VGA juga bisa, tidak mesti yang canggih-canggih amat,” tegas Opik.

Melihat kondisi perfilman indie di Indonesia yang masih pasang surut, Opik berpandangan hal ini salah satunya dikarenakan anggap­an membuat film itu mahal. Padahal membuat film tidaklah serumit dan semahal itu.

Opik memberi contoh, bila i­ngin mengkonversi gambar dalam film menjadi kaset, cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 1.500. Menurut perhitungannya, dengan Rp 60.000 saja, sebuah film pendek berdurasi 15 hingga 20 menit sudah dapat dihasilkan.

Opik sendiri bukannya berasal dari keluarga kaya yang mampu membiayai hobinya. Keluarganya mengajarkan Opik untuk selalu hidup sederhana dan mandiri. Untuk alat, teknologi, dan segala pengeluaran dalam memproduksi film, Opik selalu meng­upayakan sendiri.

Bersuara dengan Film

Membuat film bagi Opik bukanlah sekadar hobi untuk bersenang-senang. Ada misi yang ingin disampaikannya lewat film. Kehidupan sosial lantas menjadi inspirasi utama Opik dalam merangkai ide cerita. 2008 lalu misalnya, Opik membuat film berjudul ‘Rumah Kita’ yang terilhami dari kehidupan anak-anak di panti asuhan. Tujuannya agar orang melihat bagaimana perjuangan anak-anak panti dalam meraih impian.

Lalu ada film yang disebut Opik sebagai film yang paling berkesan baginya. Film yang baru saja diproduksi ini mengambil setting di sebuah museum. Pilihan ini bukannya tanpa alasan. Opik memandang, saat ini museum mulai ditinggalkan masyarakat. Pemerintah memang telah berupaya membuat gerakan cinta museum, namun hanya sebatas mulut manis belaka.

“Pemerintah heboh bikin gerak­an cinta museum, tapi para pejabat itu sendiri jarang yang pernah ke museum,” kritik Opik. Maka, Opik dan kawan-kawan pun tergerak untuk membuat film ini agar kecintaan pada museum kembali tumbuh.

Lalu, adakah impian bocah kelahiran Kuala Simpang ini? “Ingin membuat tempat makan yang sekaligus jadi tempat pemutaran film biar makin banyak yang mau menonton film indie,” pungkasnya tak bermuluk-muluk.
Tempat / Tanggal Lahir:
Kuala Simpang, 13 Maret 1991

Pendidikan:
SDN 060841 Medan
SMPN 7 Medan
SMA Swasta YPI Amir Hamzah

Prestasi:
•  Sutradara Terbaik versi Film Dokumenter Festival Film Anak 2008
•  Editor Terbaik versi Film Fiksi Festival Film Anak  2009
•  Juara III Skrip Hari Anak Nasional  2009

sumber : http://www.sosokindonesia.com/

Sabtu, 25 Mei 2013

Empat Sutradara Medan Garap Film “Bohong”


Empat sutradara film pendek Medan berkolaborasi menggarap satu film kompilasi berjudul “Omnibus Bohong”. Film garapan Andi Hutagalung (Media Identitas), Muhammad Taufik Pradana (Opique Pictures), Hendry Norman (Mata Sapi Production), dan Immanuel Ginting (Manu Projectpro) itu diperkenalkan dalam konferensi pers yang digelar di Rimba Kopi, Jl. H.M Joni, Medan, Senin (20/5) kemarin. “Omnibus Bohong” merupakan satu kesatuan dari empat film pendek yang digarap dalam waktu yang berbeda. Andi Hutagalung mengetengahkan film pendek berjudul “Kongkalikong”,  Taufik untuk film “Ego”, Hendry lewat film “Segiempat”, dan Manu di film “Kontradiksi”. Total durasi film sekitar 1,5 jam dengan rata-rata durasi 15 menit per film.
Menurut mereka, ide Omnibus Bohong berawal dari keinginan untuk mengangkat film independen Medan yang selama ini sudah bergerak, namun dirasa masih membutuhkan motivasi semangat untuk berkarya. “Tidak ada niatan untuk mencari untung melalui film ini, tapi hanya ingin berbagi dan belajar,” ujar Andi Hutagalung kepada wartawan. “Dan, yang tidak kalah penting ialah, supaya masyarakat Medan tahu bahwa ada lho film buatan anak Medan yang selama ini mungkin belum semua orang tahu,” 
Disinggung mengenai biaya produksi film, keempat sutradara yang sebelumnya sudah menelurkan sejumlah film pendek dan dokumenter itu mengatakan, biaya produksi masing-masing film pendek terbilang relatif kecil bila dibandingkan dengan film layar lebar. “Sangat kecil, masih jutaan. Karena di film ini kita memang tidak merekrut aktor dan aktris dengan bayaran tertentu. Bahkan, melalui film kita ingin melahirkan aktor dan aktris baru dari Medan,” sambung Andi.

Hendry menambahkan, semangat pembuatan film ini memang berangkat dari indie. “Jadi sangat berbeda dengan produksi film layar lebar. Untuk aktor memang tidak ada bayaran, tapi dari film ini, anak Medan kita ajak untuk berkreasi. Setidaknya bisa jadi media untuk portfolio jika memang ingin serius di film,” jelasnya.
Menurut mereka, penggarapan film seperti Omnibus Bohong diharapkan akan mampu memotivasi sineas film di Medan untuk terus berkarya walaupun tidak selalu memikirkan sisi komersil dulu. Namun, lebih kepada kreativitas. Memang, saat ini industri film Medan sendiri mulai menunjukkan perkembangan, ditandai dengan munculnya sineas-sineas muda yang sudah berani menunjukkan karyanya ke publik. Meski demikian, harus diakui perkembangan itu masih terkendala infrastruktur, fasilitas, dan teknik sinematografi.
“Wajar kalau buat film bagus itu biayanya besar, karena fasilitasnya juga mahal. Tapi, kita punya semangat, dengan fasilitas kamera yang harganya tidak lebih dari Rp 30 juta, kita mencoba memberanikan diri untuk buat film, yang pasti masih banyak kekurangan di sana-sini terutama dalam hal teknis. Tapi, inilah kreativitas yang kita buat,” kata Ridho dari Mataniari Production, yang juga hadir sebagai juru bicara kelima sutradara.
Ketika disinggung apakah ada rencana kelima sineas untuk menggarap film yang lebih besar agar gaung perfilman lokal lebih terangkat, diakui mereka bahwa hal itu sudah terpikirkan.

“Sudah pernah hal itu kita diskusikan. Kami melihat kendalanya masih di persoalan biaya produksi,” kata Ridho. Andi menimpali, pernah juga berencana menggalang dana seperti yang dilakukan sineas Sammaria Simanjuntak dengan film “Demi Ucok” yang melakukan penggalangan dana sistem “Co-Pro”—semua orang dapat menjadi co-produser hanya dengan berpartisipasi dana mulai dari Rp 10.000.
Menurut Andi, cara penggalangan dana seperti itu, juga tidak terlepas dari nama besar Sammaria yang sudah tidak asing lagi di industri perfilman Indonesia. Apalagi dia bergerak dari Jakarta yang kemungkinannya lebih besar. Berbeda dengan Medan yang belum semuanya mampu mengapresiasi karya sineas lokal. Saat ini, kata Andi, ia bersama teman-teman sutradara ingin lebih mengaktifkan kreativitas sineas lokal, sehingga nantinya muncul film-film yang bisa mengangkat nama sineas Medan. Setelah itu tercapai, bukan tidak mungkin cara yang sudah pernah dilakukan Sammaria, akan mudah dilakukan. “Nama besar Sammaria, menurut saya, sangat berpengaruh dengan Co-Pro itu,” katanya.
Dijadwalkan film “Omnibus Bohong” mulai diputar perdana (premier), Selasa (21/5) di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Medan, mulai pukul 10.30 WIB. Penonton hanya membayar tiket Rp10.000 sebagai bentuk apresiasi. “Penjualan tiket yang terkumpul nanti akan digunakan untuk roadshow ke beberapa kota,” jelas Ridho. Roadshow juga akan dilakukan di kampus dan sekolah-sekolah.
Foto: Tonggo Simangunsong | Editor: Intan Larasati

sumber : http://indonesiakreatif.net/

Kamis, 23 Mei 2013

KoFI Sumut Putar Empat Film Bertema Bohong


Komunitas Film (KoFi) Sumut memutar perdana empat film dari empat sutradara berbeda yang tergabung di komunitas KoFi, Selasa-Rabu (21-22/5) di Lantai III Ruang Sidang FBS Universitas Negeri Medan.

Pemutaran empat film itu tetap dengan tema berkaitan. Dalam dunia perfilman, utamanya film pendek, penyatuan beberapa film dengan tema sama biasa disebut omnibus. Dan yang diputar di Unimed kemarin berjudul Kontradiksi, Ego, Kong X Kong, dan Segi Empat. Total durasi lima film tersebut mencapai satu jam lebih.

Adapun para sutradara yang terlibat dalam garapan film tersebut adalah Hendry Noorman dari Matasapi Films, Andi Hutagalung dari Media Identitas Film, Winda Mitari Utami dari Opique Pictures, dan Immanuel Gintings dari Manurojectpro.

“Sesuai temanya kebohongan, dari situ kita beranjak membuat film-film ini. Prosesnya sejak tahun lalu dan baru kelar bulan lalu. Sekarang baru dapat waktu yang pas untuk premier,” beber Immanuel Ginting, salah satu sutradara garapan tersebut.

“Se-simple apapun pemicu kebohongan, ternyata bisa mengakibatkan dampak berbeda. Hal itu yang kami coba pertontonkan lewat film ini,” lanjutnya.

Setelah diputar di Unimed, rencananya, film-film ini akan di-roadshow ke sejumlah kota di Sumut. “Sejauh ini kami lihat animo penonton cukup bagus. Terlebih kita premier bertepatan dengan acara Amelia de Amelia yang digelar FBS Unimed,” timpa Immanuel lagi.

Pada kesempatan tersebut, pihaknya KoFi Sumut juga memberi penghargaan kepada Ahmad Bengar Harahap selaku Kepala Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman Unimed. Bengar juga perwakilan Komunitas Lingkar Dokumenter Film (KLDF). Penghargaan diberikan sebab Bengar salah satu tokoh yang peduli dan mendukung penuh perfilman lokal di Sumut.

“Event seperti ini jelas sangat baik. Anak-anak muda, utamanya pelajar dan mahasiswa jadi punya hal positif dalam mengembangkan kreativitas,” kata Ahmad Bengar. (ful)

Sumber : http://www.hariansumutpos.com/

Premiere omnibus Bohong di Unimed

 photo by opique

MEDAN - Kreatifitas anak muda di Sumatera Utara khususnya di Medan patut diacungi jempol. Khususnya di bidang industri perfilman. Terbukti pada saat Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei kemarin, Komunitas Film Sumatera Utara (Kofi Sumut) memperkenalkan hasil karya dari beberapa sutradara Medan.

4 sutradara ini datang dari 4 komunitas film indie lokal Medan yang berbeda-beda berkumpul dan menciptakan satu karya yakni omnibus Bohong. Kelima sutradara ini adalah :

- Mid Films "Kong Kali Kong" Karya Andi Hutagalung
- Manuprojectpro "Kontradiksi" Karya Immanuel Prasetya Gintings
- Opique Pictures "Ego" Karya Winda Mitari Utami
- Matasapi Films "Segi Empat" Karya J Hendry Norman


Pemutaran perdana film mereka diadakan di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan selama 2 hari berturut-turut dari tanggal 21-22 Mei 2013. Antusias penonton pun sangat besar. Mereka terlihat memenuhi ruangan pemutaran film tersebut. Tak hanya itu, para penonton yang mayoritas adalah mahasiswa mengambil kesempatan untuk berdiskusi dengan Andi dan kawan-kawan.

Omnibus Bohong merupakan kompilasi dari 4 film berbeda yang didasari satu tema yang sama yaitu 'Bohong'. Andi dan kawan-kawan merefleksikan bentuk kebohongan-kebohongan yang sering dilakukan orang-rang ke dalam bentuk film.

Film bergenre drama action ini menggambarkan kebohongan yang terjadi dalam urusan percintaan, keluarga, pertemanan, maupun kerja sama bisnis. Omnibus Bohong adalah kumpulan film pendek yang durasinya kurang lebih 75 menit.

Andi berharap dengan adanya pemutaran omnibus Bohong ini dapat menjadi trigger untuk membangkitkan industri perfilman di Medan yang sempat vakum beberapa waktu.

sumber :  http://www.waspada.co.id/

Pemutaran Film Omnibus “BOHONG”

PRESS RELEASE Komunitas Film Sumut (KoFi Sumut)
Gedung Sidang Lt. III, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan


photo by opique

Film Omnibus, atau yang juga dikenal sebagai Film Anthology adalah salah satu jenis film yang terdiri dari beberapa jenis film pendek yang berbeda, biasanya diikat bersama oleh sebuah tema, premis, atau adegan tertentu. Biasanya masing-masing film tersebut disutradarai oleh sutradara yang berbeda. Film Omnibus sendiri di Indonesia sudah merupakan hal yang tidak baru lagi, mengingat sudah banyaknya film Omnibus yang diproduksi seperti Rectoverso (2013) dan Belkibolang (2011).


Kali ini 4 komunitas film yang tergabung dalam Komunitas Film Sumatera Utara atau KoFi Sumut menggelar pemutaran film Omnibus Sumatera Utara bertajuk “BOHONG” yang juga disutradarai oleh 4 orang yang berbeda, diantaranya: Hendry Noorman (Matasapi Films),  Andi Hutagalung (Media Identitas Film), Winda Mitari Utami (Opique Pictures), dan Immanuel P. Gintings (Manurojectpro) yang diadakan di Gedung Sidang Lantai III Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan.

Dalam Omnibus BOHONG ini, terdapat 4 judul film yang menggambarkan makna kebohongan yang bervariasi, dan diinterpretasikan oleh kelima komunitas film Indie ini, yaitu: Kontradiksi, Ego, Kong X Kong, dan Segi Empa. Keseluruhan Film yang berdurasi total 1 jam lebih ini mencoba menggambarkan kebohongan yang dibungkus dengan genre fiksi drama-action. Se-simple apapun pemicu kebohongan, ternyata bisa juga mengakibatkan dampak yang berbeda. Hal inilah yang terlihat dalam film kali ini.


Pemutaran film ini merupakan Premiere dari rangkaian pemutaran film dan roadshow ke kota-kota di Sumatera Utara oleh KoFi Sumut. Antusiasme penonton terlihat dalam pemutaran film yang dilaksanakan selama dua hari ini di Unimed. Para penonton yang berasal dari beberapa kalangan ini, beramai-ramai menyaksikan pemutaran film Omnibus BOHONG ini yang dijadwalkan diputar dua kali sehari yaitu pukul 11:00 dan 13:30 WIB. Dan Pemutaran Film ini sendiri merupakan bagian dari acara Amelia de Amelia FBS Unimed.

Pada pemutaran film kali ini, KoFi Sumut juga berkesempatan memberikan penghargaan kepada Bapak Ahmad Bengar Harahap, S.Pd., M.Hum. selaku Kepala Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman dan Perwakilan dari KLDF (Komunitas Lingkar Dokumenter Film) Medan atas dukungan dan apresiasi mereka terhadap Perfilman Lokal Sumatera Utara. Penghargaan ini langsung disampaikan oleh KoFi Sumut disaksikan penonton yang baru saja menyaksikan Premiere BOHONG di hari terakhir pemutaran film ini.

Untuk rencana selanjutnya KoFi Sumut akan mengadakan Roadshow ke daerah Sumatera Utara dalam rangka diskusi dan pemutaran film BOHONG.
© Komunitas Film Sumatera Utara 2013

Premiere Omnibus Bohong Di Unimed

komunitas film medan
CAESSARIA INDRA DIPUTRI
WASPADA ONLINE

MEDAN - Kreatifitas anak muda di Sumatera Utara khususnya di Medan patut diacungi jempol. Khususnya di bidang industri perfilman. Terbukti pada saat Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei kemarin, Komunitas Film Sumatera Utara (Kofi Sumut) memperkenalkan hasil karya dari beberapa sutradara Medan.

4 sutradara ini datang dari 4 komunitas film indie lokal Medan yang berbeda-beda berkumpul dan menciptakan satu karya yakni omnibus Bohong. Keempat sutradara ini adalah :

- Mid Films "Kong Kali Kong" Karya Andi Hutagalung
- Manuprojectpro "Kontradiksi" Karya Immanuel Prasetya Gintings
- Opique Pictures "Ego" Karya Winda Mitari Utami
- Matasapi Films "Segi Empat" Karya J Hendry Norman

Pemutaran perdana film mereka diadakan di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan selama 2 hari berturut-turut dari tanggal 21-22 Mei 2013. Antusias penonton pun sangat besar. Mereka terlihat memenuhi ruangan pemutaran film tersebut. Tak hanya itu, para penonton yang mayoritas adalah mahasiswa mengambil kesempatan untuk berdiskusi dengan Andi dan kawan-kawan.

Omnibus Bohong merupakan kompilasi dari 4 film berbeda yang didasari satu tema yang sama yaitu 'Bohong'. Andi dan kawan-kawan merefleksikan bentuk kebohongan-kebohongan yang sering dilakukan orang-orang ke dalam bentuk film.

Film bergenre drama action ini menggambarkan kebohongan yang terjadi dalam urusan percintaan, keluarga, pertemanan, maupun kerja sama bisnis. Omnibus Bohong adalah kumpulan film pendek yang durasinya kurang lebih 75 menit.

Andi berharap dengan adanya pemutaran omnibus Bohong ini dapat menjadi trigger untuk membangkitkan industri perfilman di Medan yang sempat vakum beberapa waktu.
(dat06/wol)

sumber : http://www.iyaa.com/

Film Kompilasi Anak Medan Tayang Perdana

Medan | Sumut24



Omnibus berarti kompilasi atau kumpulan beberapa film yang digabung menjadi satu tematik yang sama. Komunitas Film Indie di Kota Medan yang terdiri dari Matasapi Film, Mid Film, Manuprojectpro Film, dan Opique Pictures akan menayangkan secara perdana film indie kompilasi yang bertajuk Omnibus Bohong.

Film yang bergenre drama aksi itu dijadwalkan akan digeber pada Selasa (21/5) hari dan Rabu (22/5) di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan (UNIMED) pukul 10.30 Wib dan 13.00 Wib.
Film tersebut akan dibuat dua sesi lantaran kapasitas ruangan yang terbatas. ?Rencana sudah dari 4 bulan yang lalu kami ingin membuat film ini," ujar Andy Hutagalung dari Komunitas Mid Film pada temu pers di Kopi Rimba, Jalan HM. Joni Komplek Puri Teladan Blok Catellia nomor 4, Senin (20/5).

Ditambahkan Galung, ini menjadi awal dari sebuah gerakan perfilm-an Indie di Kota Medan. Project pertama dari Komunitas Film Sumut. "Harapannya juga nanti kita bisa dikenal dulu oleh orang. Karena kebanyakan masyarakat belum mengetahui apa sebenarnya film indie itu," cetusnya.
Film ini bercerita dari segala aspek tentang kehidupan. Dimana ada persahabatan, kontradiksi, percintaan, perselingkuhan, sampai kepada persoalan proyek. Nah, kesemuanya itu mengkerucut menjadi satu ide yaitu tentang ?bohong?. Bohong tak terlepas dari sifat manusia. Tidak bisa dipungkiri dalam keseharian kalau kita pernah berkata bohong.

Simpel sih pesan yang ingin disampaikan dari Film ini," kata Hendri Norman dari Komunitas Matasapi Films.

sumber : http://www.sumut24.com/

Dengan adanya Premier ini, kita ingin mendapat apresiasi sehingga nantinya bisa untuk mengadakan Road Show ke beberapa daerah di Sumatera Utara," tambah Hendri yang berencana untuk membuat tematik omnibus tentang kepahlawanan.

Untuk harga tiketnya hanya dikenakan biaya sebesar Rp10 ribu. (pran)

Empat Sutradara Medan Garap Film “Bohong”


Empat sutradara film Medan berkolaborasi menggarap satu film kompilasi berjudul Omnibus Bohong. Film garapan Andi Hutagalung (Media Identitas), Muhammad Taufik Pradana (Opique Pictures), Hendry Norman (Mata Sapi Production) dan Immanuel Ginting (Manu Projectpro) itu, mulai diputar perdana di Kampus Universitas Negeri Medan, Selasa (21/5) kemarin.
Omnibus Bohong merupakan satu kesatuan dari lima film pendek yang digarap dalam waktu yang berbeda. Tema utamanya ialah kebohongan dari berbagai sudut pandang.

Andi Hutagalung mengetengahkan film pendek berjudul “Kongkalikong”, Taufik film “Ego”, Hendry film “Segiempat” dan Manu “Kontradiksi”. Total durasi film sekitar 1,5 jam dengan rata-rata durasi 15 menit per film.

Menurut mereka, ide Omnibus Bohong berawal dari keinginan untuk mengangkat film independen Medan yang selama ini sudah bergerak, namun dirasa masih membutuhkan motivasi semangat untuk berkarya.

 “Tidak ada niatan untuk mencari untung melalui film ini, tapi hanya ingin berbagi dan belajar,” ujar Andi Hutagalung kepada wartawan di Rimba Kopi, Jl. H.M Joni, Medan, Senin (20/5).

“Dan, yang tidak kalah penting ialah, supaya masyarakat Medan tahu bahwa, ada lho film buatan anak Medan yang selama ini mungkin belum semua orang tahu,

Disinggung mengenai biaya produksi film, kelima sutradara yang sebelumnya sudah menelurkan sejumlah film pendek dan dokumenter itu mengatakan, biaya produksi masing-masing film pendek terbilang relatif kecil bila dibandingkan dengan film layar lebar. “Sangat kecil, masih jutaan.

Karena di film ini kita memang tidak merekrut aktor dan aktris dengan bayaran tertentu. Bahkan, melalui film kita ingin melahirkan aktor dan aktris baru dari Medan,” sambung Andi.

Hendry menambahkan, semangat pembuatan film ini memang berangkat dari indie. “Jadi sangat berbeda dengan produksi film layar lebar.

 Untuk aktor memang tidak ada bayaran, tapi dari film ini, anak Medan kita ajak untuk berkreasi. Setidaknya bisa jadi media untuk portfolio jika memang ingin serius di film,” jelasnya.

Menurut mereka, penggarapan film seperti Omnibus Bohong diharapkan akan mampu memotivasi sineas film di Medan untuk terus berkarya walaupun tidak selalu memikirkan sisi komersil dulu. Namun, lebih kepada kreatifitas.

Memang, saat ini industri film Medan semakin menunjukkan perkembangan ditandai dengan munculnya sineas-sineas muda yang sudah berani menunjukkan karyanya ke publik. Meski demikian, harus diakui perkembangan itu masih terkendala infrastruktur, fasilitas dan teknik sinematografi.

“Wajar kalau buat film bagus itu biayanya besar karena fasilitasnya juga mahal. Tapi, kita punya semangat, dengan fasilitas kamera yang harganya tidak lebih dari Rp30 juta, kita mencoba memberanikan diri untuk buat film, yang pasti masih banyak kekurangan di sana-sini terutama dalam hal teknis.

Tapi, inilah kreatifitas yang kita buat,” kata Ridho dari Mataniari Production, yang juga hadir sebagai jurubicara kelima sutradara.

Pemutaran film Omnibus Bohong masih berlangsung hari ini, Rabu (23/5) di Fakultas Bahasa dan Seni Unimed, pukul 10.30 WIB dan 14.30 WIB. Penonton hanya membayar tiket Rp10.000 sebagai bentuk apresiasi.

 “Penjualan tiket yang terkumpul nanti akan digunakan untuk roadshow ke beberapa kota,” jelas Ridho. Roadshow juga akan dilakukan di kampus dan sekolah-sekolah. (tonggo simangunsong)

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/

THE PREMIERE OMNIBUS BOHONG !!!!

Hamdallah!!!
Akhirnya setelah pemutaran trailer pada presconf dengan rekan-rekan media dua hari yang lalu, akhirnya hari ini pemutaran perdana film gue yang tergabung dalam omnibus Bohong.
Film kedua yang gue bintangi ini disutradarai Hendry Norman dengan judul Segiempat. Semoga nantinya gue bisa ngembangin bakat akting gue AMIIN!



sumber : http://gallery-caeszhaschmidt.blogspot.com/

Selasa, 21 Mei 2013

Film Indie vs Film Umum di Medan

Medan (suarakomunitas.net) Tak mesti berbiaya mahal, cukup sekitar Rp 1-2 jutaan saja, beberapa anak Medan ternyata masih punya kreatifitas dan keberanian membuat film, khususnya film indie. Selama ini memang ada anggapan kalau membuat film harus punya dana besar, biasanya sampai ratusan juta bahkan miliaran. Akan tetapi, kali ini anak Medan ingin membuktikan biaya yang minim tetap bisa menghasilkan karya film.  

Demikian terungkap dalam konferensi pers dan diskusi Premiere Film Omnibus “Bohong” yang diadakan di Rimba Kafe, Senin (20/5) di Medan.

Konferensi pers disampaikan 4 orang sutradara film (Andi, Imanuel, Opiq, dan Hendry) memaparkan bagaimana perilaku berbohong menjadi hal tematik dalam film omnibus tersebut. Mereka membicarakan seputar proses anak Medan berkarya dalam keterbatasan, misalnya soal dana atau fasilitas saat memproduksi film mereka. Apalagi tentang minat masyarakat terhadap film karya anak Medan dan minusnya sponsor.

Menurut Andi dari Media Identitas (MiD), diluncurkannya Film Omnibus “Bohong” yang terdiri atas 4 film ini merupakan proyek idealis 4 komunitas film indie di Medan, yaitu film Kong Kali Kong (Media Identitas), Kontradiksi (Manuproject), Segi Empat (Matasapi Film), dan Ego (Opique Pictures). “Niat awalnya ingin menjelaskan kepada publik bahwa gairah dan potensi anak Medan untuk memproduksi film masih cukup baik,” jelasnya.

Mengenai tema sentralnya, Hendry menambahkan, ke 4 film yang rata-rata berdurasi 15 menit ini bercerita tentang masifnya perilaku kebohongan, manipulasi, atau kisah selingkuh yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, film Omnibus Bohong ini merupakan refleksi para penggiat film indie di Medan terhadap realitas yang terjadi tersebut, yaitu menyangkut perilaku berbohong yang terlanjur dianggap biasa.

“Semoga film ini dapat memberi pencerahan kepada masyarakat bahwa bohong itu salah,” tutur Hendry.

Berangkat dari kenyataan inilah, Andi, Hendry, Imanuel, dan Opiq yang tergabung dalam Komunitas Film (KOFI) Sumut meluncurkan film Omnibus Bohong. Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, mereka pun berharap, peluncuran film Omnibus Bohong pada bulan Mei ini dapat menjadi motivasi bagi kebangkitan film Medan.

Tak cuma itu, Andi, Hendry, Opiq, dan Imanuel sangat optimis bahwa film anak Medan harus bangkit seiring dengan kekompakkan dan saling apresiasi antarinsan film di Medan.

“Bagaimanapun, kita butuh dukungan, baik dari para pembuat film maupun masyarakat pencinta film Medan. Sebab di omnibus ini paling tidak kami ingin mengangkat sosial budaya Medan dan Sumut melalui film. Meski dengan keterbatasan dana, tetapi kelahiran omnibus ini merupakan wujud kekompakkan insan muda film di Medan. Apalagi dengan keterbatasan dana tersebut, rasa solidaritas menjadi perekat bagi kemajuan dan kreatifitas film karya anak Medan di masa mendatang,” ujar Andi.

Adapun film-film yang berlatar belakang kota Medan dan wilayah Sumut ini diputar pada 21-22 Mei di Fakultas Bahasa dan Seni Unimed.

Rencananya, kata Andi, film-film ini juga akan di-roadshow-kan ke beberapa daerah di Sumut, seperti di Rantauprapat, Brastagi, Tebing, dan beberapa tempat lainnya.
“Tak tertutup kemungkinan juga akan diputar di luar Sumut,” jelasnya. (Juhendri)

sumber : http://suarakomunitas.net/

Senin, 20 Mei 2013

Bangkitnya perfilman indie Medan


MEDAN - Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada hari ini, Komunitas Film Sumatera Utara (Kofi Sumut) menggelar acara press conference di Rimba Kopi Komplek Puri Teladan, hari ini.

Acara press conference ini berlangsung dengan pemutaran trailer omnibus 'Bohong' yang merupakan kompilasi 4 film indie lokal Medan. Kompilasi ini dibuat oleh 4 sutradara dari 4 komunitas film indie Medan yang berbeda. Tema yang diangkat adalah kebohongan dengan genre drama action. Menurut Andi Hutagalung, sutradara Kong Kali Kong, bohong merupakan hal yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

"Selain kebohongan dalam hubungan percintaan, dalam film ini kita juga menggambarkan bentuk-bentuk kebohongan yang terjadi seperti dalam proyek, pertemanan, keluarga, atau negara," jelas sutradara Segiempat, Hendry Norman.

Omnibus Bohong juga menampilkan budaya Sumut dalam film masing-masing. Ada yang mengambil setting tempat di Berastagi, ada yang mengambil setting gambar kota tua Medan di Kesawan, dan ada juga yang mengambil dari sisi musik.

Makna kebangkitan nasional bagi para sutradara ini adalah kebangkitan industri perfilman Medan. Namun bagi Andi Hutagalung, Hendry Norman, Opique Picture's, dan Manu, industri film di Medan masih tersangkut kendala fasilitas. "Minimnya penyewaan peralatan membuat produksi film itu sedikit terhambat. Semoga nanti ada yang tergerak untuk membuat penyewaan peralatan untuk produksi film ini," harap Andi.

Rencananya, besok 21-22 Mei 2013 akan diadakan pemutaran perdana omnibus Bohong ini di Fakultas Bahasa dan Seni Gedung B Lantai 3 Ruang Sidang Unimed dengan harga tiket masuk Rp10.000. Tak hanya itu, Andi dan teman-teman akan menggelar roadshow ke kota-kota besar di Sumut untuk memperkenalkan hasil karya anak Medan ini.

sumber : http://www.waspada.co.id/

Premiere Omnibus BOHONG




 Premiere Omnibus BOHONG di buka 2 sesi setiap hari.
mulai tanggal 21 mei 2013 dan 22 mei 2013.
sesi pertama mulai dari 10.30 wib, sesi kedua 13.30wib.

omnibus ini merupakan omnibus pertama di sumatera utara yang di dukung oleh Kofi Sumut (Komunitas Film Sumatera Utara).

Produksi 4 komunitas film indie.
- Mid Films "Kong Kali Kong" Karya Andi Hutagalung
- Manuprojectpro "Kontradiksi" Karya Immanuel Prasetya Gintings
- Opique Pictures "Ego" Karya Winda Mitari Utami
- Matasapi Films "Segi Empat" Karya J Hendry Norman

HTM : 10k

CP/ticketing
Matheus : 083194702854
Yusuf : 087867680963


Tempat Terbatas !!

Omnibus merupakan sebuah film terdiri atas beberapa film. Dalam omnibus kali ini terdapat 4 film yang berbeda namun memiliki 1 benang merah yang sama. Bukan hanya 4 film yang berbeda, namun dalam film ini terdiri atas 4 sutradara dan 4 komunitas yang berbeda pula yang tergabung di dalamnya. Hal ini menunjukan perfilman di Sumatera Utara dapat bersatu tuk menjadikan Sumatera Utara menjadi barometer perfilman di Indonesia.

Omnibus ini adalah omnibus pertama di Sumatera Utara yang dikerjakan murni oleh putra-putri asli Sumatera Utara. Menjadi gebrakan baru bagi perfilman Sumatera Utara. Dalam omnibus ini memiliki 4 sub judul, yaitu : Segi Empat, Kontradiksi, Kong Kali Kong, dan Ego.

Dalam kegiatan ini diharapkan dapat menggairahkan semangat film di seluruh kalangan sineas-sineas Medan khususnya dan Sumatera Utara pada umumnya.

Dalam kesempatan ini, team dalam projectan ini dengan tema “Bohong”. Didalam film tersebut masing-masing komunitas memberikan gambaran dalam media film definisi kebohongan. Sebagaimana yang kita ketahui kebohongan itu merupakan sebuah pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan pendengar percaya. Namun dalam film ini memberikan pencerahan baru mengenai kebohongan.

Adapun tujuan dan tujuan dari kegiatan premiere ini adalah :
- Menjadi wadah Informasi untuk berkreasi terhadap kaum muda intelektual bergerak di dalam  industri kreatif khususnya pemuda-pemuda kota Medan.
- Meningkatkan citra diri kota Medan menjadi kota film di Indonesia ini, khususnya film indie non komersil.
- Membangkitkan semangat dan juga dorongan kepada komunitas lain tuk bersaing dan berkarya guna menggapai impian bersama dalam dunia perfilman.
- Menjalin silaturahmi dengan komunitas-komunitas film lainnya di Medan maupun di Indonesia ini dengan terselenggaranya pemutaran film.
- Menjadi salah satu media promosi produk atau jasa pemasaran prusahaan anda.


Sabtu, 11 Mei 2013

Saatnya Pemerintah Tak Ambil Diam

 Sebagai media visual, film memiliki esensi yang luas. Ia dapat menjadi industri yang hidup apabila para kreatornya mampu menjawab kebutuhan pasar penonton. Menghidupkan roda ekonomi melalui distribusi yang berantai, m ulai dari konsumsi penonton di bioskop, hingga pengecer VCD/DVD. Satu lagi, ia juga dapat menjadi medium untuk mengangkat industri pariwisata.
Untuk situasi perfilman lokal Medan, pencapaian seperti itu memang belum didapat mengingat masih ada beberapa hal harus disiapkan. Tak hanya kesiapan sumber daya manusia untuk mencipta film berkualitas dari sisi cerita dan teknis, masih minimnya investor yang melihat film sebagai peluang industri, minimnya ruang berdiskusi dan berkreasi. Bahkan, kendala ditemukan pada tahap rendahnya perhatian pemerintah.

 "Semangat untuk berkarya itu sangat tinggi, hanya saja belakangan ini pemerintah tidak pernah serius mendukung perfilman lokal," kata H Amsyal Tanjung. Pemerintah, kata penggiat film dari Widy Production itu, sudah tidak saatnya mengambil sikap diam karena sudah mencanangkan program ekonomi kreatif, terutama di sektor pariwisata-termasuk film. "Pernah kita minta dukungan, sayangnya, tak pernah direspon serius. Terakhir, tahun 2012, kita pernah dapat bantuan dari pemerintah kota Medan untuk membuat workshop dan pemberian award kepada pekarya-pekarya film yang sudah aktif selama ini berkontribusi terhadap perfilman lokal," terangnya.

Amsyal membuka catatan sejarah, pada tahun 1980-an, pemerintah daerah terbilang aktif mendukung pekerja film. Bahkan, ada beberapa film yang dibiayai pemerintah yang pemutarannya disiarkan melalui stasiun TVRI, seperti "Nujum Pak Belalang", "Sungai Ular" dan beberapa film yang berlatar budaya lokal. "Belakangan tak pernah lagi. Bahkan, Studio Film Sunggal yang dulu mati-matian kita perjuangkan, akhirnya sudah tidak ada lagi," ujarnya. 

Senada dengan H Amsyal, pengamat film dr Daniel Irawan mengatakan, Medan sudah jauh ketinggalan dengan beberapa daerah di Indonesia dalam hal perfilman. Ia membandingkan dengan pemerintah provinsi Sumatera Selatan yang mendukung pekerja-pekerja film a.l. pada film "Pengejar Angin" (2010) dan "Gending Sriwijaya" (2012). "Artinya, pemerintahnya sudah sadar fungsi film, misalnya untuk promosi potensi wisata daerah," kata Daniel.

Langkah serupa, katanya, juga dapat dilakukan pemerintah Sumatra Utara maupun Medan mengingat kota ini memiliki pekerja seni di bidang film yang sudah menunjukkan kualitasnya.
Misalnya, sineas muda Andi Hutagalung, yang sudah berhasil mengangkat nama Medan dalam ajang festival film tingkat nasional. Pencapaian prestasi bergengsinya dimulai ketika film dokumenternya berjudul "Go Green With Mangrove"berhasil menjadi Juara I di ajang Lomba Film Dokumenter, Souce of Indonesia (SoI), 2010.

 Disusul kemudian pada tahun 2011, film dokumenternya berjudul "Opera Batak" berhasil meraih Juara I Festival Film Medan, Disbudpar, Medan, 2012, Juara III Festival Film DOCDAYS, Fakultas Ekonomi UI, 2011 dan Juara II Festival Film Dokumenter Bali, 2011.

Tahun 2012, karya film dokumenternya berjudul "Permata di Atas Danau" juga berhasil meraih penghargaan Winner Best Documentary for OPEN Category The SBM dan Golden Lens Internasional Documentary Film Festival 2012. Film yang digarap Andi bersama tim kreatifnya bernama Media Identitas ini juga berhasil menyabet Film Terbaik Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2012.

Menurut Andi, kebanyakan pekerja film di Medan terbilang independen karena sangat minim dukungan pemerintah. Di tengah kendala tersebut, motivasi untuk berkarya tetap kuat. Sebab, jika tidak berkreasi, Medan akan ketinggalan jauh dari beberapa kota di mana industri filmnya sudah maju. Misalnya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, juga Lampung dan Sumatra Selatan yang mulai naik.

 Karena itu, menurut Andi, sudah tak saatnya lagi Medan ambil sikap diam melihat kondisi perfilman Medan yang mulai bangkit. Pegelaran festival film lokal dan dengan serinya menggelar workshop seputar pembuatan dan seluk beluk di industri ini, akan memberikan motivasi kepada pekerja film untuk lebih kreatif. (tonggo simangunsong )

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/

Merebut Pasar Penonton dengan Kearifan Lokal

DI TENGAH paradigma bahwa industri film lokal belum menjadi ladang investasi ekonomi kreatif, ternyata tidak serta merta menyurutkan sineas lokal untuk memproduksi film. Nyatanya, film-film baru terus bermunculan meski belum semua tersosialisasi dengan maksimal. Pekerja yang bergerak di industri ini pun kian bertambah. Ada yang sukses karena jeli mengangkat kearifan budaya lokal.
"Dari yang pernah kita data, sampai saat ini ada 60 rumah produksi di Medan. 12 di antaranya aktif membuat film, setidaknya film pendek, dokumenter maupun produksi pembuatan film profil yang sifatnya pesanan dari pihak tertentu," kata praktisi perfilman Medan, H Amsyal Tanjung.

Yang menarik ialah kini ada rumah produksi lokal yang telah melakukan upaya merambah pasar penonton lokal dengan memproduksi film fiksi berlatar belakang budaya. Ponty Gea misalnya. Dengan rumah produksinya Costellazione, selain telah merilis 11 film fiksi berbahasa Nias, selama dua tahun ini mencoba merambah pasar penonton etnis Batak Toba. Misalnya pada film "Anak Sasada" yang penjualan kepingan VCD-nya menembus angka lebih dari 50.000 keping-angka yang sudah melebihi standar untuk produksi film skala lokal.

Tak berhenti sampai di situ, pada akhir 2012, Ponty juga merilis film fiksi berjudul "Tano Parsirangan". Kedua film format VCD ini didistribusikan secara independen (indie) melalui pedagang eceran di berbagai daerah.

"Film 'Anak Sasada' itu lumayan penjualannya. Mungkin karena film berbahasa Batak termasuk jarang. Jadi begitu ada, langsung dicari," kata Silaban, pedagang CD/DVD eceran di pasar Dolok Danggul, Kabupaten Humbahas. "Sampai sekarang masih banyak yang mencari episode ke-3-nya. Soalnya, belum tahu bagaimana akhirnya nasib si Sabungan (pemeran utama) itu," ujar Silaban, yang menjual VCD film tersebut Rp 25.000 per keping.

Film "Anak Sasada" mengangkat kisah utama seorang anak semata wayang dari desa berlatar wilayah Danau Toba yang merantau ke Medan. Perjalanan hidupnya ironis karena bukan kesuksesan yang ia dapat di perantauan, melainkan ketidakjelasan nasib karena terpengaruh pergaulan anak-anak muda di perkotaan.

Pada produksi pertama, film ini dikemas dalam dua episode-2 VCD. "Rencananya memang film ini akan disambung ke episode ke-3," ujar Thompson Hutasoit, penulis naskah cerita. Hanya saja rencana itu belum terwujudkan karena Ponty melanjutkan produksi film-nya yang ketiga berjudul "Tano Parsirangan". "Saya sudah siapkan cerita untuk episode ke-3, namun belakangan terkendala karena sesuatu hal," ujar Thompson.

Terlepas dari itu, kehadiran kedua film Ponty itu mendapat apresiasi dari pengamat film dr Daniel. "Film-film fiksi yang mengangkat kearifan budaya lokal pastilah sangat menjual karena adanya unsur kedekatan emosi dengan penonton. Meski kadang kala masih kalah di kualitas sinematografi, namun Ponty bisa dikatakan sukses di situ," kata Ketua Dewan Juri Piala MAYA-sebuah ajang penghargaan untuk film-film indie terbaik Indonesia.

Satu lagi film terbaru karya anak Medan berlatar kearifan budaya lokal yaitu "Mutiara dari Toba". Film yang dirilis pada akhir Januari 2013 lalu itu memang sengaja menyasar target penonton lokal. Hampir sama dengan karya Ponty, film dikemas dalam kepingan DVD dan didistribusikan secara independen. "Sejak awal kita memang menyasar segmen penonton lokal, khususnya Sumatera Utara. Format DVD dipilih karena pasti jangkauannya bisa luas dibanding pemutaran di bioskop," jelas William Atapary, produser film "Mutiara dari Toba" yang diperkirakan menelan biaya Rp 250 juta dengan target penjualan DVD 50.000 keping.

"Sampai saat ini lumayanlah, sudah terjual 4.000 keping. Target yang kita harapkan minimal 10.000 keping," jelasnya. Harga DVD yang dibanderol melalui pengecer seharga Rp 25.000, katanya, masih dinilai terlalu mahal oleh pasar.

William mengaku pencapaian yang diperoleh saat ini belum memuaskan. Apalagi jangkauan distribusi belum tepat sasaran, selain harga DVD yang dinilai terlalu tinggi sehingga sulit mencapai modal produksi.

Begitupun William bersama timnya di rumah produksi Cinema Club Film tidak akan menyerah. Saat ini, tim kreatif yang semuanya putra Medan, berencana memproduksi film kedua dengan strategi yang lebih matang. "Produksi kedua nanti, diharapkan akan lebih baik, rencananya kita akan mula melibatkan pihak sponsor dengan sasaran penonton yang lebih tepat," jelasnya. (bersambung.).( tonggo simangunsong )

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/

Peluang Basah di Tengah Minim Investasi

 
MEWUJUDKAN lahirnya satu barometer industri perfilman seperti Hollywood yang mampu meraup miliaran dolar dalam setahun barangkali masih sebatas angan. Butuh waktu lama untuk memahami betapa seksinya industri ini apabila digarap maksimal. Terutama dari pemerintah dan stake holder; bahwa industri film-apalagi untuk skala lokal Medan-bukanlah peluang investasi bisnis yang basah.
Tapi, asal tahu saja, di tengah sulitnya mencari investasi di industri film skala lokal, kreativitas film lokal produksi anak Medan mulai merangkak bangkit. Puluhan film diproduksi dengan biaya seminim mungkin untuk keuntungan besar. Nyatanya, industri ini memang basah bila bijak melirik ceruk pasar penonton.

Sebut saja satu di antaranya sutradara Rius Suhendra dengan karya filmnya berjudul Golden Egg. Film berbahasa Hokkien yang dirilis tahun 2011 ini berhasil merambah pasar penonton kalangan etnis Tionghoa, tidak hanya di Medan tapi hingga Singapura, Malaysia dan Hongkong.

Dalam diskusi film yang diselenggarakan Indonesia Kreatif di Ulos Cafe, Santika Hotel Medan, Januari lalu, Rius berbagi pengalaman "bermain" di industri ini. Kesulitan utama para sineas lokal sejauh ini memang masih didominasi pembiyaan produksi. Tapi, Rius punya cara sendiri untuk mengatasinya. Dia mencari sponsor dengan memberikan fleksibilitas pada skenario. "Film ini bahkan sempat memakan waktu proses editing untuk menyesuaikan permintaan sponsor," katanya.

Golden Egg tidak hanya berhasil menuai untung dari penjualan kepingan cakram padat berupa VCD/DVD, tapi juga mendapat keuntungan di luar ekspektasi dari pihak sponsor. Rius mengaku dengan penjualan DVD sebanyak 200.000 keping, film itu berhasil meraup keuntungan cukup fantastis: Rp 400 juta.

Lain lagi cerita Ponty Gea, produser sekaligus sutradara film yang jeli melihat pasar penonton melalui pendekatan kearifan budaya lokal. Setidaknya, sudah 11 film lokal berbahasa Nias dengan teks terjemahan ke bahasa Indonesia. Salah satu film yang paling laris ialah Ono Sitefuyu (Anak Sesat).

Film yang mulai dirilis tahun 2010 ini berhasil mencatatkan penjualan kepingan VCD sebanyak 220.000 kopi dengan harga VCD per keping Rp 15.000. "Banyak cerita menarik berlatar budaya lokal Sumatra Utara yang menjual untuk diangkat ke film. Itu pula yang memotivasi saya serius memproduksi film bertema lokal," ujar Ponty suatu kali dalam sebuah diskusi film di Taman Budaya Sumatra Utara, Medan.

Produser film, H Amsyal Tanjung, menilai, strategi yang dilakukan Ponty dan Rius termasuk bijak dalam hal mencapai target film secara komersil. "Kalau dari awal tujuan buat filmnya mau cari untung, langkah yang mereka lakukan itu sangat tepat. Saya pun salut karena mereka telah berhasil memenuhi permintaan pasar penonton lokal," kata pendiri Windy Production yang sejak tahun 1976 sudah aktif di seni peran dan film.

Namun, menurut Amsyal, harus tetap diakui bahwa film lokal Medan saat ini "belum ada apa-apanya" bila dibandingkan era 1960-an hingga 1980-an. Artinya, pencapaian yang dilakukan sineas-sineas lokal Medan saat ini belum mampu mengungguli para pendahulunya.

"Mungkin orang sudah lupa bahwa ada film karya anak Medan pernah dianggap sebagai barometer film Indonesia," katanya. Ia mengenang, Medan pernah begitu disegani karena kian produktif melahirkan film-film berkualitas yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air, antara lain Piso Surit (1960), Butet (1974), Buaya Deli (1978) dan Musang Berjanggut (1983)-film yang diangkat dari cerita komik karya komikus Medan, Taguan Hardjo.

Hal itu juga dibenarkan oleh pengamat film Medan, dr Daniel Irawan. "Bahkan, sineas Medan pernah cukup diperhitungkan di industri film Indonesia," katanya. Pengakuan itu dibuktikan dengan film "Turang", karya sutradara Bachtiar Siagian, yang diproduksi tahun 1957 dan mendapat penghargaan film, sutradara, pemeran pembantu, dan tata artistik terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960.(bersambung).(tonggo simangunsong)

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/

Dari Filmis sampai Layar Tancap

TINGGINYA produktivitas pekerja film di Medan menjadi sebuah indikasi yang menunjukkan industri yang berlatar belakang ide dan penciptaan ini akan menjadi segmen ekonomi kreatif yang menjanjikan. Tapi pekerja film masih diminta agar lebih kreatif dan mutakhir dalam teknis.
Pengamat film Medan, dr Daniel, mengemukakan, industri film Medan dalam lima tahun belakangan mengalami kebangkitan. Menurut pengamat film yang juga produser film itu, dari sisi kuantitas, pekerja film Medan terbilang kreatif. Setidaknya, rumah-rumah produksi terus aktif menggarap film; baik film pendek yang bukan untuk dikomersilkan maupun untuk mengejar pasar.

Satu rumah produksi film besutan anak muda Medan, misalnya Opique Picture yang didirikan Taufik Pasaribu dan kawan-kawan, memproduksi film pendek berjudul "Gak Belok Lagi". Ceritanya sederhana, yakni tentang pergaulan anak muda yang dikaitkan dengan orientasi seksual, pertobatan seorang perempuan penyuka sesama jenis.

Ketika film ini diputar dalam diskusi film yang diadakan Indonesia Kreatif di Ulos Cafe, Hotel Santika Dyandra, belum lama ini, muncul berbagai komentar dari penonton. Mereka merespon sisi cerita yang sederhana namun menarik untuk diangkat menjadi tontonan melalui media film.
Tak bisa dipungkiri masih ada kekurangan di sana-sini pada film ini a.l. mengenai kualitas gambar, teknis pengambilan angle hingga masih adanya efek bising (noise) pada audio. "Keterbatasan alat memang masih menjadi kendala kami," aku Taufik ketika itu.

 Kondisi ini diamati dr Daniel, dengan keterbatasan alat,  akhirnya banyak sineas Medan yang mentok di produksi film drama. Sayang, katanya, hanya sedikit pekerja film yang mau berbenah dan belajar lebih serius mendalami unsur teknis sinematografi. "Masih banyak film yang belum filmis. Artinya belum memenuhi kaidah produksi film yang standar, baik dari sisi pengambilan gambar hingga audio," katanya. Sepanjang tahun 2012, sedikitnya 20-an film diproduksi oleh rumah produksi anak Medan, namun bisa dihitung dengan jari berapa film yang memenuhi standar filmis.  

Satu kendala yang memungkinkan hal itu masih terjadi ialah minimnya mentor-mentor di bidang film. Kurangnya workshop seputar teknis akhirnya membuat para sineas bermain sendiri-sendiri seolah tanpa barometer. Alhasil, untuk kategori film fiksi, karya lokal belum mampu bersaing secara nasional.

 Ketiadaan ruang untuk para pekerja film pun dinilai menjadi kendala lain. "Dulu Medan masih punya Studio Film Sunggal, sekarang sudah tak ada lagi," katanya. Campur tangan pemerintah pun dinilai masih rendah. Industri film belum dilirik sebagai potensi kreatif lokal. Sehingga, bila pun kebangkitan film lokal mulai menunjukkan tanda-tanda, itu semata-mata dari keinginan kuat para pekerja film untuk berproduksi.

Misalnya, dalam waktu dekat ini, Daniel bekerjasama dengan sineas Shaut Hutabarat akan merilis film indie berjudul "The Deepest". Film ini diproduksi dalam skala komunitas dengan dana terbatas di bawah Rp 10 juta. Film ini diharapkan dapat membuktikan bahwa dengan dana minim pun bisa menghasilkan film berstandar filmis.

Menariknya, film ini tidak akan dijual dalam kepingan VCD/DVD, melainkan diputar keliling dari kampus ke kampus maupun di ruang-ruang publik. Cara ini juga dilakukan Opique Pictures dengan film "Gak Belok Lagi". "Konsepnya layar tancap," kata Daniel.

Menurut Daniel, konsep pemutaran film layar tancap juga menjadi media yang tepat untuk mengetahui sejauhmana apresiasi penonton terhadap film yang diputar. Ketika film itu berhasil menghibur maupun menggugah melalui cerita dan teknis, apresiasi akan datang bersamaan.

Satu poin penting yang perlu dicermati ialah, ketika penonton berkenan merogoh kantongnya untuk memberi kontribusi untuk film itu, maka saat itu pula efek layar tancap bekerja. Penilaian terhadap film menjadi lebih jujur. "Pada saat itulah kita tahu apakah film kita bagus atau tidak," kata Taufik. (bersambung) (tonggo simangunsong )

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/