Sabtu, 11 Mei 2013

Dari Filmis sampai Layar Tancap

TINGGINYA produktivitas pekerja film di Medan menjadi sebuah indikasi yang menunjukkan industri yang berlatar belakang ide dan penciptaan ini akan menjadi segmen ekonomi kreatif yang menjanjikan. Tapi pekerja film masih diminta agar lebih kreatif dan mutakhir dalam teknis.
Pengamat film Medan, dr Daniel, mengemukakan, industri film Medan dalam lima tahun belakangan mengalami kebangkitan. Menurut pengamat film yang juga produser film itu, dari sisi kuantitas, pekerja film Medan terbilang kreatif. Setidaknya, rumah-rumah produksi terus aktif menggarap film; baik film pendek yang bukan untuk dikomersilkan maupun untuk mengejar pasar.

Satu rumah produksi film besutan anak muda Medan, misalnya Opique Picture yang didirikan Taufik Pasaribu dan kawan-kawan, memproduksi film pendek berjudul "Gak Belok Lagi". Ceritanya sederhana, yakni tentang pergaulan anak muda yang dikaitkan dengan orientasi seksual, pertobatan seorang perempuan penyuka sesama jenis.

Ketika film ini diputar dalam diskusi film yang diadakan Indonesia Kreatif di Ulos Cafe, Hotel Santika Dyandra, belum lama ini, muncul berbagai komentar dari penonton. Mereka merespon sisi cerita yang sederhana namun menarik untuk diangkat menjadi tontonan melalui media film.
Tak bisa dipungkiri masih ada kekurangan di sana-sini pada film ini a.l. mengenai kualitas gambar, teknis pengambilan angle hingga masih adanya efek bising (noise) pada audio. "Keterbatasan alat memang masih menjadi kendala kami," aku Taufik ketika itu.

 Kondisi ini diamati dr Daniel, dengan keterbatasan alat,  akhirnya banyak sineas Medan yang mentok di produksi film drama. Sayang, katanya, hanya sedikit pekerja film yang mau berbenah dan belajar lebih serius mendalami unsur teknis sinematografi. "Masih banyak film yang belum filmis. Artinya belum memenuhi kaidah produksi film yang standar, baik dari sisi pengambilan gambar hingga audio," katanya. Sepanjang tahun 2012, sedikitnya 20-an film diproduksi oleh rumah produksi anak Medan, namun bisa dihitung dengan jari berapa film yang memenuhi standar filmis.  

Satu kendala yang memungkinkan hal itu masih terjadi ialah minimnya mentor-mentor di bidang film. Kurangnya workshop seputar teknis akhirnya membuat para sineas bermain sendiri-sendiri seolah tanpa barometer. Alhasil, untuk kategori film fiksi, karya lokal belum mampu bersaing secara nasional.

 Ketiadaan ruang untuk para pekerja film pun dinilai menjadi kendala lain. "Dulu Medan masih punya Studio Film Sunggal, sekarang sudah tak ada lagi," katanya. Campur tangan pemerintah pun dinilai masih rendah. Industri film belum dilirik sebagai potensi kreatif lokal. Sehingga, bila pun kebangkitan film lokal mulai menunjukkan tanda-tanda, itu semata-mata dari keinginan kuat para pekerja film untuk berproduksi.

Misalnya, dalam waktu dekat ini, Daniel bekerjasama dengan sineas Shaut Hutabarat akan merilis film indie berjudul "The Deepest". Film ini diproduksi dalam skala komunitas dengan dana terbatas di bawah Rp 10 juta. Film ini diharapkan dapat membuktikan bahwa dengan dana minim pun bisa menghasilkan film berstandar filmis.

Menariknya, film ini tidak akan dijual dalam kepingan VCD/DVD, melainkan diputar keliling dari kampus ke kampus maupun di ruang-ruang publik. Cara ini juga dilakukan Opique Pictures dengan film "Gak Belok Lagi". "Konsepnya layar tancap," kata Daniel.

Menurut Daniel, konsep pemutaran film layar tancap juga menjadi media yang tepat untuk mengetahui sejauhmana apresiasi penonton terhadap film yang diputar. Ketika film itu berhasil menghibur maupun menggugah melalui cerita dan teknis, apresiasi akan datang bersamaan.

Satu poin penting yang perlu dicermati ialah, ketika penonton berkenan merogoh kantongnya untuk memberi kontribusi untuk film itu, maka saat itu pula efek layar tancap bekerja. Penilaian terhadap film menjadi lebih jujur. "Pada saat itulah kita tahu apakah film kita bagus atau tidak," kata Taufik. (bersambung) (tonggo simangunsong )

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/