Selasa, 24 Mei 2011

kenapa?



biografi singkat :
seorang siswi kota medan yang sangat luar biasa, memiliki kekuatan dengan kata-kata.
dan dibawah ini adalah segelintir karyanya.

kenapa tuk mendapatkan 1 kebahagiaan harus ada pengorbanan?
kanapa tuk mendapatkan senyuman harus ada air mata?
kenapa tuk bersatu harus ada perpisahan?
kenapa tuk menyayangi harus ada kehilangan?
bila cinta harus berakhir dengan kepedihan,
jangan pernah menyesal dengan sebuah pertemuan.
karena orang yang mambuatmu sedih adalah orang yg tlah buatmu bahagia..

Istilah-istilah dalam Produksi Film dan Acara TV

Berikut ini adalah beberapa Glossary/Istilah yang umum dipakai di dunia Sinematografi & Produksi Teleisi.

Acting :
Sebuah proses pemahaman dan penciptaan tentang perilaku dan karakter pribadi dari seseorang yang diperankan

Addes Scenes :
Adegan yang ditambahkan kedalam konsep asli, biasanya diambil setelah film diselesaikan

Agent (Agent Model) :
Seseorang yang dipekerjakan oleh satu atau lebih talent agency atau serikat pekerja untuk mewakili keanggotaan mereka dalam berbegosiasi kontrak individual yang termasuk gaji, kondisi kerja, dan keuntungan khusus yangtidak termasuk dalam standard guilds atau kontrak serikat kerja. Orang ini diharapkan oleh para aktor/aktris untuk mencarikan mereka pekerjaan dan membangun karir mereka.

Anamorphic :
Lensa yang digunakan dalam fotografi untuk memperkecil gambar widescreen ke ukuran 35mm. Proses ini dibalik ketika memproyeksikan hasil akhir film, memunculkan gambar kembali ke ukuran normal pada layarlebar.

Answer Print :
Married Print pertama dari film yang dibuat oleh lab pemroses film, dan kemudian akan digunakan untuk menetapkan standar kualitas film yang akan diedarkan kepada publik.

Apple Box :
Digunakan untuk meninggikan seorang aktor/aktris serta suatu obyek sesuai dengan ketinggian yang tepat untuk pengambilan gambar.

Art Departement :
Bagian artistik. Bertanggung jawab terhadap perancang set film. Seringkali bertanggung jawab untuk keseluruhan desain priduksi. Tugasnya biasanya dilaksanakan dengan kerjasama yang erat dengan sutradara.

Ascpect Ratio :
Perbandingan antara lebar dan tinggi bingkai gambar (frame)
Rasio untuk tayangan televisi adalah 1,33:1 yang artinya lebar frame yang muncul di televisi adalah 1,33 kali dari tinggi.

Art Director :
Seorang asisten sutradara film yang memperhatikan administrasi, hal yang penting sehingga departemen produksi selalumengetahui perkembangan terbaru proses pengambilan film. Ia bertanggung jawab akan kehadiran aktor/aktris pada saat dan tempat yang tepat, dan juga untuk melaksanakan instruksi sutradara.

Available Lighting :
Pengambilan gambar tanpa tambahan cahaya buatan manusia

Audio Visual :
Sebutan untuk perangkat yang menggunakan unsur suara dan gambar

Art Director :
Pengarah artistik dari sebuah produksi

Asisten Produser :
Seorang yang membantu produser dalam menjalankan tugasnya

Audio Mixing :
Proses penyatuan dan penyelarasan suara dari berbagai macam jenis dan bentuk suara.

Angle :
Sudut pengambilan gambar

Animator :
Sebutan bagi seorang yang berprofesi sebagai pembuat animasi

Audio Effect :
Efek suara

Ambience :
Suara natural dari obyek gambar

Broadcaster :
Sebutan untuk seseorang yang bekerja dalam industri penyiaran

Background :
Latar belakang

Barn Doors :
Pintu berengsel yang dipasangkan di depan lampu studio yang dapat dibuka atau ditutup untuk memunculkan cahaya pada area tertentu di set.

Barney :
Bungkus kain pada pelindung yang dapat dipakaikan pada kamera film atau blimped kamera film, untuk mengurangi siara mekanisme. Ada juga heated barney yang digunakan dalam suhu dingin.

Best Boy :
Asisten Gaffer atau asisten Key Grip.

Blank :
Selongsong senapan atau pistol yang berisi peluru buatan untuk menggantikan peluru yang sesungguhnya. Blank dipergunakan dalam film untuk mencegah terjadinya kecelakaan, walaupun sesungguhnya peluru kosong itu sendiri masih berbahaya jika ditembakan dan mengenai orang dalam jarak dekat.

Blimp :
Ruangan kedap suara yang mengelilingi kamera film untuk mencekah ikutn terekamnya bunyi mekanisme kamera kedalam alat perekam suara.

Blow Up :
Perbesaran ukuran film dari 16mm ke 35mm yang dilakukan di laboratorium untuk diputar di bioskop. Istilah ini juga dipergunakan dalam fotografi untuk memperbesar foto guna keperluan display atau promosi.

Body Frame, Body Pod :
Digunakan untuk menunjang hand held camera di lapangan.

Boom Man :
Individu yang mengoperasikan mikrofon boom.

Booth Man :
Operator proyektor film. Orang yang bekerja dalam ruang proyeksi.

Breakaway :
Sebuah set atau hand property, misalnya botol atau kursi yang dirancang untuk rusak dengan cara-cara tertentu sesuai aba-aba.

Breakdown :
Biasanya merujuk pada jumlah spesifik rincian pengeluaran dalam sebuah produksi film. Dapat juga berarti pengaturan atau perencanaan berbagai adegan beserta urutan pengambilannya.

Budget :
Pengeluaran keseluruhan dari produksi film.

Blocking :
Penempatan obyek yang sesuai dengan kebutuhan gambar

Bridging Scene :
Adegan perantara di antara adegan-adegan lainnya

Back Light :
Penempatan lampu dasar dari sudut belakang obyek

Breakdown Shot :
Penentuan gambar yang sesuai dengan naskah atau urutan acara

Bumper In :
Penanda bahwa program acara tv dimulai kembali setelah iklan

Bumper Out :
Penanda bahwa program acara tv akan berhenti sejenak untuk iklan

Call :
Waktu yang diharapkan dari seorang individu anggota staf perusahaan, pemain, atau kru untuk berada di set. Jadwal biasanya didaftarkan pada call sheet yang menjadi tanggung jawab asisten sutradara dan manajer produksi.

Camera :
Sistem perangkat mekanik atau elektronik yang mengontrol pergerakan dari film yang belum diekspos di belakang lensa dan shutter dan yang menentukan gambar serta tingkatan cahaya yang masuk kedalam film. Mekanisme ini mungkin memiliki kontrol kecepatan.

Camera Boom :
Tempat kamera yang dapat berpindah, biasanya berukuran besar, tempat kamera dapat diproyeksikan keluar set dan atau dinaikan di atasnya.

Camera Departement :
Bertanggung jawab untuk memperoleh dan merawat semua peralatan kamera yang dibutuhkan untuk memfilmkan sebuah motion picture. Juga bertanggung jawab untuk penanganan film, pengisian film, dan berhubungan dengan laboratorium pemrosesan.

Cameraman :
- First Cameraman sering disebut sebagai Penata Fotografi (Director of Photography) atau kepala kameramen, bertanggung jawab terhadap pergerakan dan penempatan kamera dan juga pencahayaan dalam suatu adegan. Kecuali dalam unit produksi yang kecil, Penata Fotografi tidak melakukan pengoperasian kamera selama syuting yang sesungguhnya.
- Second Cameraman sering disebut sebagai asisten kameramen atau operator kamera, bertindak sesuai instruksi dari kameramen utama dan melakukan penyesuaian pada kamera atau mengoperasikan kamera selama syuting.
- First Assistant Cameramen sering disebut Kepala Asisten untuk pada operator kamera. Seringkali bertanggung jawab untuk mengatur fokus kamera (untuk kamera film)
- Second Assistant Cameraman, menjadi asisten operator kamera.

Camera Noise :
Bunyi Kamera. panggilan dari bagian tata suara (Sound Departement) di set untuk mereangkan bahwa ia menerima bunyi dari kamera sehingga harus digunakan kamera lain, melakukan perbaikan kamera atau diperlukan penghalusan tambahan terhadap kamera dengan menggunakan barney atau selimut.

Camera Report :
Salinan yang disimpan dalam tiap magazine film tempat asisten kameramen mencatat panjang pengambilan tiap adegan, nomer adegan, dan perintah untuk mencetak atau tidak. Laporan kamera diberikan ke laboratorium proses, bagian kamera, dan bagian produksi.

“Camera Right”, “Camera Left” :
Petunjuk bagi seorang aktor/aktris untuk berputar atau bergerak. Petunjuk ini berdasarkan sudut pandang sutradara atau kamera dan dibalik sesuai dengan keadaan aktor. Ketika menghadap lensa maka bagian kanan aktor adalah bagian kiri kamera dan juga sebaliknya.

Camera Tracks :
Lintasan Kamera yang terbuat dari metal atau lembaran kayu lapis ukuran 4 x 8 yang diletakkan dilantai untuk membawa dolly atau camera boom. Lintasan digunakan untuk menjamin kehalusan gerakan kamera.

Can :
Tempat/wadah untuk film.

Canned Music :
Musik yang belum ditulis untuk film tertentu namun telah direkam dan dikatalogkan menurut gayanya dalam perpustakaan sehingga dapat dibeli dan dipergunakan.

Casting Director :
Orang yang memimpin pemilihan dan pengontrakan aktor/aktris untuk memenuhi bagian yang dibutuhkan dalam sebuah naskah.

Century Stand :
Digunakan untuk menahan berbagai jenis bendera yang diperlukan untuk mengurangi intensitas cahaya atau untuk menghalangi sejumlah cahaya tertentu. Juga digunakan untuk menahan atau mendukung ranting daun atau efek lain yang berhubungan dengan pencahayaan.

Changing Bag :
Tas kedap cahaya dengan ritsleting ganda tempat magazines film dapat diletakkan untuk memindahkan film yang telah diekspose dan mengisi ulang magazine. Juga dibuat sehingga memungkinkan asisten kamera memasukkan tangan dan lengannya tanpa membiarkan film terkena cahaya. Biasanya digunakan jauh dari studio kaerna di studio, magazine diisi ulang diruang gelap di bagian kamera.

Character Man or Woman :
Pada saat-saat tertentu seorang aktor/aktris bermain karakter, biasanya istilah ini merujuk pada aktor/aktris yang paling sesuai secara fisik untuk peran-peran selain pemain utama romantis, peran remaja atau peran sederhana.

Cinema :
Merujuk pada Motion Picture. Berasal dari kata Yunani Kinema yang berarti gambar.

Cinema Scope :
Nama dagang untuk tujuan pemrosesan fotografi dan proyeksi yang mengikutsertakan kamera dengan lensa anamorfik atau proyektor dan ayar berlekuk ekstra panjang. Memungkinkan proyeksi dari gambar yang jauh lebih besar dari ukuran biasanya. Banyak film epic dibuat dalam Cinema Scope karena pengaruh dari ukuran terhadap penonton.

Cinematographer (Sinematografer) :
Penata Fotografi. Orang yang melaksanakan aspek teknis dari pencahayaan dan fotografi adegan. Sinematografer yang kreatif juga akan membantu sutradara dalam memilih sudut, penyusunan, dan rasa dari pencahayaan dan kamera.

Cinemobile :
Nama dagang untuk unit lokasi pembuatan film yang lengkap dan dapt berpindah-pindah, membawa peralatan dan petugasnya dan memiliki banyak ukuran mulai dari van peralatan kecil sampai dengan bus besar.

Clapper Boards :
Sepasang papan berengsel yang diketukkan saat syuting dialog ketika kamera gambar dan alat rekam suara berputar dalam kecepatan yang sinkron. frame pertama ketika papan bersentuhan kemudian disinkronkan dalam ruang pemotongan dengan bunyi “bang”, memantapkan sync antara alur suara dan alur gambar. Pada banyak tipe sistem penanda elektronik dipasangkan sisi kamera.

Commercial :
Iklan. Film pendek yang umumnya berdurasi 60, 30, atau 15 detik yang dibuat khusus untuk menjual suatu produk.

Composite Print :
Film yang telah diedit termasuk semua gambar, suara, dan musik yang telah dicetak ke dalam sebuah film.

Contact Glass :
Alat bantu penglihatan terbuat dari kaca berwarna gelap berbentuk seperti monacle yang dipakaikan ke salah satu mata Penata Fotografi selama pencahayaan set untuk memeriksa tingkatan kontras dari pencahayaan tersebut.

Cook, Cookie :
Dapat berupa kain dengan bingkai kawat atau lembaran kayu lapis atau plastik yang diberi pola daun ranting atau bunga untukmemunculkan bayangan pada permukaan datar. kadang buram atau tembus cahaya seperi sebuah scrim. berasal dari bahasa Yunani kukaloris yang berarti memecah cahaya.

Copter Mount :
Copter kamera untuk penggunaan dalam pengambilan gambar aerial helikopter yang berfungsi menjaga kamera dari vibrasi helikopter. Nama dagangnya adalah Tyler Mount.

Costume Designer :
Orang yang merancang dan memastikan produksi kostum secara sementara maupun permanen untuk sebuah film.

Coverage :
Keseluruhan koleksi hasil pengambilan gambar individual, sudut, dan set yang terdiri dari segala kebutuhan film untuk membuat sebuah cerita lengkap.

Cover Set :
Set yang digunakan untuk syuting bila adegan eksterior yang diusahakan ternyata terganggu oleh kondisi cuaca yang tidak mendukung.

Cover Shot :
Bagian dari pengambilan film untuk menyediakan materi transisi dari satu bagian adegan ke bagian adegan lain dalam sebuah adegan yang sama. Bisa juga digunakan sebagai gamabr tambahan atau cadangan kalau perekaman pertama tidak berhasil. Juga disebut sebagai “insurance”.

Cue :
Tanda bagi aktor/aktris dalam film untuk memunculkan bagiannya dalam dialog atau tindakan. Isyarat ini dapat berupa tindakan aktor/aktris lainnya, bagian akhir dari sebuah dialog, tanda dari sutradara atau isyarat cahaya.

Cue Light :
Bola lampu kecil yang dapat dinyalakan atau dimatikan oleh sutradara atau asisten sutradara dan diletakkan diluar jangkauan pandang kamera tetapi dalam jangkauan pandang aktor untuk memberi isyarat. Isyarat cahaya ini menghindari isyarat secara verbal yang dimunculkan oleh aktor.

Cut and Hold :
Perintah dari sutadara agar adegan diberhentikan namun aktor/aktris tetap berada dalam posisinya. Sutradara mungkin ingin memeriksa pencahayaan, posisi, atau mengatur adegan lain yang saling bersinggungan.

Cut Back :
Mengubah gambar dalam film secara cepat dari adegan saat ini ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya. Pemotongan ini Dilakukan tanpa ada transisi.

Cutting on The Action :
Menggunakan sebuah tindakan besar dari seorang aktor/aktris sebagai titik untuk masuk lebih dekat atau lebih jauh dari orang tersebut.

Cutting Room :
Tempat peralatan seorang editor film berada, misalnya moviola dan lain sebagainya dan tempat film akan digabungkan sesuai cerita yang berkesinambungan. Ruang ini biasanya ada dalam sebuah studio namun dapat saja berada pada lokasi tersendiri dan terpisah dari daerah studio.

Cut to :
Secara cepat mengubah gambar dalam film dari adegan masa kini ke adegan lainnya tanpa adanya transisi.

Credit Title :
Urutan nama-nama tim produksi dan pendukung acara

Chroma Key :
Sebuah metode elektronis yang melakukan penggabungan antara
gambar video yang satu dengan gambar video lainnya dimana dalam
prosesnya digunakan teknik Key Colour yang dapat diubah sesuai
kebutuhan foreground dan background

Cutting on Beat :
Teknik pemotongan gambar berdasarkan tempo

Clip Hanger :
Sebutan bagi adegan atau gambar yang akan mengundang rasa ingin
tahu penonton tentang kelanjutan acara, namun harus ditunda karena
ada jeda iklan komersial

Cut :
Pemotongan gambar

Cutting :
Proses pemotongan gambar

Camera Blocking :
Penempatan posisi kamera yang sesuai dengan kebutuhan gambar

Clear-Com :
Sebutan bagi penggunaan headset audio yang dihubungkan dengan
Master Control

Channel :
Saluran

Crazy Shot :
Gambar yang direkam melalui kamera yang tidak beraturan

Composition :
Komposisi

Continuity :
Kesinambungan

Cross Blocking :
Penempatan posisi obyek secara silang sesuai dengan kebutuhan

Crane :
Alat khusus/katrol untuk kamera dan penata kamera yang dapat
bergerak keatas dan kebawah

Clip On :
Mikrofon khusus yang dipasang pada obyek tanpa terlihat

Casting :
Proses pemilihan pemain sesuai dengan karakter dan peran yang
akan diberikan

Close Up :
Pengambilan gambar dari jarak dekat

Dailies :
Hasil cetakan positif, dikirimkan setiap hari dari laboratorium berasal dari negatif film yang dipergunakan di hari sebelumnya.

Depth of Focus :
Area tempat berbagai benda yang diletakkan dengan berbagai ukuran jarak di depan lensa akan tetap memperoleh fokus yang tajam.

Dialogue Coach or Dialogue Director :
Orang dalam set yang bertanggung jawab membantu para aktor/aktris dalam mempelajari kalimat mereka selama pembuatan film. Mungkin juga membantu pengaturan dialog saat pre-syuting.

Diffusers :
Potongan materi difusi diletakkan di depan lampu studio untuk memperhalus.

Director :
Orang yang mengontrol tindakan dan dialog di depan kamera dan bertanggung jawab untuk merealisasikan apa yang dimaksud oleh naskah dan produser.

Documentary :
Film yang menyajikan cerita nyata, dilakukan pada lokasi yang sesungguhnya. Juga sebuah gaya dalam memfilmkan dengan efek realitas yang diciptakan dengan cara penggunaan kamera, sound, dan lokasi.

Dolly :
Kendaraan/alat beroda untuk membawa kamera dan operator kamera selama pengambilan gambar. Dolly biasanya dapat didorong dan diarahkan oleh satu orang yang disebut Dolly Grip.

Dollying :
Pergerakan kamera selama pengambilan gambar dengan menggunakan kendaraan/alat beroda yang mengakomodasikan kamera dan operator kamera. Kadang disebut juga tracking atau trucking.

Double :
Bisa diartikan pemain tambahan yang menggantikan aktor/aktris selama pengaturan cahaya atau dapat berarti stunt yang menggantikan aktor/aktris dalam adegan berbahaya.

Dress The Set :
Perintah untuk menempatkan banyak benda (misal lampu, asbak, bunga, atau lukisan) di set untuk memunculkan realitas.

Drift :
Ketika seorang aktor/aktris hampir tidak disadari bergerak keluar dari posisinya. Dapat juga berupa petunjuk untuk menghilang dengan suatu cara tertentu, dengan arti melakukan perlahan dan bertahap.

Dual Role :
Pemutaran lebih dari satu bagian peran seorang aktor/aktris dalam sebuah film yang sama.

Dubbing :
Perekaman suara manusia secara sinkron dengan gambar film. Suaranya mungkin atau mungkin tidak berasal dari aktor/aktris yang sesungguhnya serta bisa juga bahasa yang digunakan ketika film tersebut dibuat.
Dubbing biasanya diselesaikan dengan menggunakan Film Loops – bagian pendek dari sebuah gambar beserta dialognya dalam bentuk married print. Aktor/aktris menggunakan gambar dan soundtrack playback sebagai panduan untuk mensinkronkan gerakan bibir dalam gambar dengan perekaman suara terbaru. Umumnya digunakan untuk memperbaiki perekaman asli yang buruk., performa artistik yang tidak dapat diterima atau kemungkinan kesalahan dalam dialognya. Juga digunakan untuk perekaman lagu dan versi bahasa lain setelah proses pemfilman.

Dulling Spray :
Sebuah penyemprot aerosol yang menyisakan lapisan yang tidak mengkilat pada permukaan apapun dan tidak mengakibatkan penyilauan pada lensa kamera.

Durasi :
Waktu yang diberikan atau dijalankan

Dimmer :
Digunakan untuk mengontrol naik turunnya intensitas cahaya

Dissolve :
Teknik penumpukan gambar pada editing maupun syuting multi kamera

Depth of Field :
Area dimana seluruh obyek yang duterima oleh lensa dan kamera
muncul dengan fokus yang tepat. Biasanya hal ini dipengaruhi oleh
jarak antara obyek dan kamera, focal length dari lensa dan f-stop

Dramatic Emotion :
Emosi gambar secara dramatis

Editing :
Proses pemotongan gambar

Editor :
Sebutan bagi seseorang yang berprofesi sebagai ahli pemotongan
gambar video dan audio.

Editorial Departement :
Divisi dimana semua potongan film yang telah dihasilkan digabungkan sehingga membentuk urutan yang koheren, kadang dengan bantuan asisten sutradara atau produser.

Electric Departement :
Bertanggung jawab terhadap penjagaan dan penyediaan segala alat elektrik. (misalnya: lampu, kabel, dan lain sebagainya) untuk kebutuhan film.

Electrician :
Orang yang bertanggung jawab terhadap penempatan dan penyesuaian cahaya serta menyediakan listrik sesuai kebutuhan tiap alat.

Exclusive Contract :
Kontrak yang menyatakan bahwa seseorang dapat bekerja hanya untuk orang atau perusahaan tertentu yang mengontraknya.

Exhibitor :
- Orang atau perusahaan yang memiliki bioskop atau drive-in atau rantai lain yang memungkinkan ditontonnya sebuah film.
- Teater atau drive-in yang mempertunjukkan sebuah film.

Exposed :
Bahan baku film yang telah dipakai untuk merekam gambar. Kata “exposed” wajib dicantumkan pada setiap can film yang telah dipakai.

Ext. :
Eksterior. Bagian manapun dari film yang direkam di luar ruangan; jalanan kota, stadium, gurun, hutan, atau puncak gunung, beberapa lokasi dapat dibuat ulang di sounstage studio namun tetap dinamakan eksterior dalam naskah.

Extra :
Orang yang dipekerjakan sebagai pemain latar, misalnya sebagai salah satu orang dalam kerumunan dalam adegan di jalan.

Engineering :
Sebutan dalam pengerjaan dan pembagian kerja dalam masalah
teknis penyiaran

Establish Shot :
Gambar yang natural dan wajar

Extreme Close Up :
Pengambilan gambar dari jarak dekat

Fade Out, Fade In :
Efek berupa gamabr yang perlahan hilang dan menjadi gelap (fade out) atau gambar yang muncul dari kegelapan (fade in). Digunakan untuk menekankan berlalunya waktu atau akhir dari adegan atau cerita.

False Move :
Gerakan yang tidak terencana oleh aktor/aktris sebelum melakukan gerakan yang telah direncanakan. False Move yang dilakukan aktor dapat memunculkan masalah dengan mengatur Dolly Grip untuk bergerak bersama dolly dan kamera karena ia berpikir bahwa gerakan aktor adalah isyarat untuk menggerakan kamera.

Fast Motion :
Melakukan pemfilman dengan kecepatan dibawah standar kemudian memproyeksikan dengan kecepatan standar untuk membuat tindakan terlihat lebih cepat dari normal. Juga menciptakan efek masa lalu dan film bisu.

Feature Part :
Peran yang tidak terlalu penting untuk seorang bintang, tapi cukup besar untuk memunculkan perhatian khusus. Biasanya dilakukan oleh aktor/aktris yang telah dikenal baik oleh penonton. Saat ini lebih dikenal dengan Cameo.

Fifty-fifty :
Biasanya sudut kamera atau pengambilan gamabr ketika dua orang aktor/aktris saling berhadapan, berbagi lensa dengan adil. Juga disebut sebagai a two shot atau a two.

Fill Light :
Set pencahayaan umum yang digunakan untuk memperhalus kontras dari key lighting.

Film :
Media untuk merekam gambar yang menggunakan selluloid sebagai bahan dasarnya. Memiliki berbagai macam ukuran lebar pita seperti 16mm dan 35mm.

Film Clip :
Bagian pendek dari sebuah film.

Film Loader :
Pengisi Film. Anggota tim kamera kadang adalah asisten kameramen yang mengisi film yang belum diekspose ke dalam magazine dan mengeluarkan film yang telah diekspose ke dalam can.

First Run :
Pertama kali sebuah film dilepas ke bioskop untuk ditonton. Saat ini lebih dikenal dengan premiere.

Fishpole Boom :
Sebuah tiang ringan yang dapat digenggam dan dapat dipindahkan untuk digunakan meletakkan mikrofon di lokasi yang sulit selama pemfilman.

Flag :
Miniatur Gobo dari kayu lapis atau kain pada bingkai metal yang diletakkan pada century stand.

Flare :
Ketika suatu obyek atau cahaya dari set memantulkan cahaya yang tidak diinginkan scara langsung pada lensa.

Flashback :
Bagian dari cerita film yang mengisahkan waktu periode awal, tergantung dari cerita.

Flub :
Ketika aktor/aktris melakukan kesalahan dalam pengucapan dialog – flubbed his line

Fluid Head :
Landasan pada tripod kamera yang memberikan gerakan halus untuk kamera melalui penggunaan flywheel yang diletakkan dalam wadah berisi minyak dalam landasan itu sendiri.

Focus :
Penyelarasan gambar secara detail, tajam, dan jernih hingga mendekati
obyek aslinya

Fog Maker :
Menggunakan cairan khusus sehingga fog maker dapat memunculkan efek kabut, asap, efek kabur (blur), dan kelembaban. Dengan menggunakan cairan jenis lain maka dapat digunakan untuk menghilangkan kabur yang tidak diinginkan. Alat ini dapat berukuran kecil, mesin yang dapat digenggam atau mesin besar yang diletakkan di kereta.

Follow Focus :
Perubahan fokus kamera selama adegan untuk mempertahankan fokus pada aktor/aktris yang bergerak mendekati atau menjahui kamera. Biasanya menjadi tugas first assistant cameraman.

Follow Shots :
Pengambilan gambar dengan kamera bergerak memutar untuk mengikuti pergerakan pemeran dalam adegan.

Final Editing :
Proses pemotongan gambar secara menyeluruh

Floor Director :
Seseorang yang bertanggungjawab membantu mengkomunikasikan
keinginan sutradara dari master control ke studio produksi

Footage :
Gambar-gambar yang tersedia dan dapat digunakan

Footage Counter :
Alat penghitung yang berada pada kamera untuk tetap dapat mengikuti jumlah film yang telah diekspose.

Four Walled Set :
Sebuah set yang memiliki 4 dinding bukan 3 seperti biasanya. Keempat dinding menutup area aksi secara sempurna namun mungkin dapat dipindahkan untuk memungkinkan pergerakan cahaya dan kamera selama melakukan pengambilan gambar.

Frame :
- Suatu gambar dari banyak gambar pada gulungan film yang telah diekspose, ukuran frame bervariasi sesuai format yang akan diambil gambarnya.
- Menyesuaikan kamera dan lensa sehingga gambar yang akan diambil memiliki batasan yang diinginkan.

Frame per Second (fps) :
Sebuah film 35mm berputar dalam kamera dengan kecepatan normal menghasilkan 24 frame perdetiknya sehingga bila banyak frame yang diputar tiap detiknya aksi dari subyek akan diperlambat ketika diproyeksikan dalam kecepatan normal. Bila lebih sedikit dari 24 frame yang diputar maka aksi tampat dipercepat bila diproyeksikan dengan kecepatan normal.

Freelancer :
Orang yang tidak terikat kontrak dengan produser atau perusahaan manapun.

Freeze :
Perintah bagi aktor/aktris untuk menghentikan aksi namun mempertahankan posisinya. Dalam film yang aktor/aktris atau obyek lain muncul dengan tiba-tiba misalnya “pop in” pada layar maka aktor/aktris dalam adegan akan diminta untuk diam. Orang atau obyek kemudian ditempatkan di posisinya kemudian perintah untuk “action” diberikan dan adegan dilanjutkan. Dalam pemotongan film di bagian tengah dari masuknya aktor/aktris atau penempatan obyek akan dihilangkan.

Gaffer :
Pemimpin electrician yang bertanggung jawab di bawah Director of Photography mengenai pencahayaan set.

Geared Head :
Unit dimana kamera dipasangkan yang dapat dihubungkan pada dolly atau crane dan panned (gerakan secara horisontal) atau tilted (gerakan secara vertikal) memungkinkan kamera untuk mengikuti gerakan.

Gen :
Truk generator yang digunakan untuk menyediakan tenaga listrik ketika unit film berada di lokasi atau tambahan penyediaan tenaga di studio. Juga disebut sebagai genset.

Gobo :
Layar kayu yang dicat hitam. Digunakan untuk menghalangi cahaya dari sati atau lebih pencahayaan lampu studio, suatu set peralatan yang digunakan untuk mecegah jatuhnya cahaya yang tidak diinginkan ke lensa kamera atau area set. Biasanya diletakkan pada sanggahan yang dapat disesuaikan. Gobo tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran.

Green Departement :
Bertanggungjawab untuk menyediakan pepohonan, semak, bunga, rumput, dan benda-benda hidup lainnya baik yang asli maupun buatan.

Grip :
Orang yang berwenang memindahkan dan mengatur trek atau jalannya kamera – apapun yang membutuhkan cengkeraman yang kuat – di set.

Grip Chain :
Rantai ringan yang digunakan untuk berbagai keperluan yang dilakukan oleh bagian grip. pada set biasanya digunakan pada sekitar kaki kursi atau sofa yang ditempati pemain untuk mencegahnya bergerak.

Hairdresser :
Spesialis penata rambut untuk film. Seorang hairdresser mungkin bekerja dengan penata rambut laki-laki maupun perempuan.

Hairdresser Departement :
Bertanggungjawab atas kebutuhan rambut asli maupun wig untuk para aktor dan aktris.

Hand Cue :
biasanya diberikan oleh sutradara atau asistennya untuk menunjukan waktu masuk seorang aktor/aktris atau bagian khusus dari suatu adegan.

Hand Held :
Mengambil gambar dengan kamera ringan seperti handycam, jenis yang dapat ditahan oleh operator kamera dengan tangannya selagi mengambil gambar, berlawanan dengan meletakkannya pada gear head atau tripod. Memberikan fleksibilitas yang lebih. Teknik penggunaan kamera dengan tangan tanpa tripod

Headroom :
Ruangan bagian atas suatu obyek dalam gambar dengan bagian atas frame.

High Head :
Tripod logam kecil dengan ketinggian tertentu yang dapat dipasangkan ke lantai untuk mempertahankan posisinya. Digunakan untuk menahan kamera saat pengambilan gambar dengan sudut rendah.

Hot Set :
Suatu set yang telah diisi barang dan dekor untuk syuting. Penggambaran ini biasanya mengindikasikan bahwa set tersebut tidak boleh dimasuki atau digunakan.

Hot Spot :
Area dalam set yang memiliki pencahayaan yang sangat terang.

Hunting Location :
Proses pencarian dan penggunaan lokasi yang tepat dan terbaik
untuk syuting.

Idiot Cards :
Kartu besar tempat dialog dituliskan untuk aktor yang tidak dapat mengingat kalimatnya. Dapat juga berarti sebuah bagian mesin elektronik yang mahal disebut Tele-Prompter, dimana sebuah gulungan kertas ditempatkan di depan atau dekat dengan kamera dan dituliskan dialognya dengan huruf yang besar sehingga mudah untuk dibaca. Bisa juga disebut dengan Cue cards.

Independent :
Seseorang yang membuat film tanpa dipekerjakan oleh sebuah studio besar.

Insert Shot :
Suatu obyek biasanya yang dicetak seperti surat kabar atau sebuah jam, dan dimasukkan ke dalam rangkaian untuk menjelaskan tindakan.

Int. :
Interior. Bagian dari film yang diambil didalam ruangan. Interior dapat berupa set yang dibentuk di studio atau diluar studio. Lebih dikenal sekarang ini sebagai location interiors.

Intercut :
Mengubah urutan tindakan dari belakang ke depan dari sebuah adegan ke adegan lain, biasanya dilakukan dengan kecepatan cukup tinggi.

Iris :
bagian yang terbuka dari sebuah lensa atau bagian belakang yang mengatur masuknya cahaya kdalam film. ukuran Iris dapat dikontrol oleh operator kamera.

Jell :
Gelatin atau materi plastik berwarna yang digunakan di depan sebuah lampu untuk mengubah warna cahaya dari lampu tersebut. Bisa juga disebut dengan Gel.

Jumping Shot :
Proses pengambilan gambar secara tidak berurutan

Jimmy Jib :
Katrol kamera otomatis yang digerakan dengan remote

Key Grip :
Orang yang memimpin para pekerja grip.

Key Light :
Cahaya utama yang digunakan untuk menerangi subyek tertentu.

Lab :
Secara umum disebut sebagai suatu tempat untuk memproses exposed film pada tahap akhir.

Lens (Lensa) :
Konstruksi dari berbagai macam potongan kaca yang dipasang sesuai kebutuhan dan dimasukkan kedalam tube metal. Beberapa jenis lensa bersifat tetap dalam arti tidak dapat diubah-ubah panjangnya.

Light Meter :
Instrumen kecil dan dapat dipegang dengan tangan yang digunakan untuk mengukur intensitas cahaya.

Lining Up :
Membatasi adegan. Operator kamera atau sutradara mengatur penempatan kamera sehingga mencakup ruang pengelihatan yang diinginkan. Dapat juga berarti framing.

Limbo :
Melakukan pengambilan gambar pada area atau set yang tidak dapat dijelaskan sebagai suatu lokasi khusus. Dapat digunakan untuk adegan close-up, insert, dan lain sebagainya.

Lip-Sync :
Sesi perekaman saat seoarang aktor/aktris menyesuaikan suaranya dengan gerakan bibir dari gambar.

Location Departement :
Bertanggung jawab untuk mendapatkan lokasi khusus yang dibutuhkan untuk syuting film serta membuat penagturan agar seluruh kru dan peralatan dapat mencapai lokasi tersebut.

Long Focus Lens :
Istilah yang relatif digunakan untuk menggambarkan lensa yang lebih panjang dari ukuran fokus normal (telephoto) dan memberikan perbesaran image.

Looks :
Arah khusus yang diminta pada aktor/aktris untuk menagrahkan matanya dengan tujuan untuk menyesuaikan tindakan pada gambar sebelumnya. Bisa juga untuk mengindikasikan lokasi seseorang atau benda yang tidak ada dalam gambar, misalnya diluar kamera.

Long Shot :
Gambar direkam dari jarak jauh. Biasanya digunakan dengan cara
pengambilan gambar dari sudut panjang dan lebar.

Magazine :
Wadah film yang membentuk bagian dari suatu kamera atau proyektor. Magazine bersifat tahan cahaya serta tidak memungkinkan cahaya untuk masuk ke film yang belum atau sudah exposed didalam magazine.

Magnetic Recorder :
Alat perekam pita magnetik.

Make-Up Call :
Waktu untuk aktor/aktris berada pada bagian make-up atau ruang rias sebelum dimulainya syuting.

Make-Up Departement :
bagian yang bertanggung jawab terhadap penampilan aktor/aktris agar sesuai dengan kebutuhan skenario pada saat syuting.

Mark It :
Perintah terhadap asisten kamera untuk melepaskan clapper stick pada slate board untuk memberikan tanda suara pada adegan ketika kamera sedang berjalan pada kecepatan fotografi.

Marks :
Digunakan untuk memberikan referensi pada aktor/aktris atau dolly mengenai posisi tertentu dalam suatu adegan. Tanda ini dapat dibuat ditanah atau lantai dengan menggunakan kapur, kertas perekat, tees atau segitiga dari kayu serta metal.

Married Print :
Gabungan antara track gambar dan suara setelah film tersebut selesai diedit. Istilah ini tidak dikenal dalam produksi dengan menggunakan format video.

Match :
Menghasilkan ulang suatu tindakan yang dilakukan dalam adegan lain sehingga keduanya dapat dipotong sehingga menghasilkan posisi yg dapat disesuaikan.

Matching Directions :
Penyesuaian adegan dalam film seperi masuk dari kiri ke kanan sehingga orang atau alat transportasi dalam film tidak memiliki arah yang terbalik ketika pengambilan gambar lain dimasukkan.

Matte :
Sebuah cut-out atau penutup sebagian yang diletakkan didepan lensa untuk mencegah ekspose dari bagian film. Misalnya sepasang kembar identik sedang berbicara, padahal hanya satu aktor/aktris yang memerankan peran tersebut.

Matte Box :
Sebuah frame yang dipasang didepan lensa kamera dan didesain untuk menahan matte kamera yang digunakan pada suatu efek khusus. Matte Box biasanya dikombinasikan dengan sunshade.

Measuring Tape :
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur jarak dari lensa ke subyek dengan tujuan untuk menentukan fokus secara tepat.

Microphone Shadow :
Munculnya bayangan dari mikrofon pada bagian set yang masuk pada area pandang kamera. Bila muncul pada gambar maka it’s a no-no (gambar tidak terpakai)

Mock-Up :
Tiruan suatu benda yang dibuat seperti asli tapi hanya berupa bagian tertentu saja menurut kebutuhan.

Montage :
Urutan gambar yang mengalir, menyatu, atau kadang dipotong dari yang satu ke yang lainnya. Digunakan untuk memperlihatkan peningkatan atau pembalikan waktu terhadap perubahan lokasi.

M.O.S. :
Porsi gamabr dari sebuah adegan yang diambil tanpa merekam suaranya. Inisial ini awalnya muncul dari sutradara Eropa yang tidak dapat mengucapkan WS dan mengatakan Mit Out Sound.

Moving Shot :
Teknik pengambilan gambar dari obyek yang bergerak.

Music Departement :
Bertanggungjawab dalam pengaturan atau menyediakan musik yang akan digunakan dalam film.

Master Control :
Perangkat teknis utama penyiaran untuk mengontrol proses distribusi audio dan video dari berbagai input pada suatu produksi acara

Medium Close Up :
Pengambilan gambar dari jarak yang cukup dekat

Medium Shot :
Gambar diambil dari jarak dekat

Medium Long Shot :
Gambar diambil dari jarak yang panjang dan jauh

Middle Close Up :
Pengambilan gambar dari jarak sedang

Master Shot :
Gambar pilihan utama dari sebuah adegan yang kemudian dijadikan referensi atau rujukan pada saat melakukan proses editing.

N.G. :
No Good (tidak baik) Istilah ini dipakai sebagai komentar terhadap pengambilan gambar yang tidak baik pada laporan kamera dan suara, misalnya N.G. Sound, N.G. Action

NTSC (National Television Standards Committee)
Sistem warna televisi yang dipergunakan di negara Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, NTSC terdiri dari 525 garis pemindaian yang berada pada rate 30 frame perdetiknya.

Non-Exclusive Contract :
Kesepakatan dimana sesorang dijamin untuk ikut dalam sejumlah produksi namun diperbolehkan untuk bekerja pada produksi lainnya.

Non-Theatrical Film :
Film yang tidak dipertontonkan di bioskop melainkan untuk film pelatihan.

O.S. :
Off Screen (tidak tampak pada layar)

Outs, Out Takes :
Bagian gambar yang tidak masuk pada versi lengkap dari sebuah film.

Overlap :
Perintah untuk aktor/aktris agar memulai dialog tanpa harus menunggu pemeran lainnya menyelesaikan dialognya.

Opening Scene :
Adegan yang dirancang khusus untuk membuka acara atau cerita.
Biasanya adegan ini dikemas secara kreatif dan menarik untuk
mendapatkan perhatian dari penonton

PAL (Phase Alternation by Line) :
Sistem warna televisi yang pertama kali dibuat di Jerman, dan digunakan di Eropa dan beberapa negara lain termasuk Indonesia. PAL terdiri dari 625 garis pemindaian berada pada rate 25 frame perdetiknya.

Plot :
Alur cerita dari sebuah naskah.

P.O.V. :
Point of View (Sudut Pandang).

Practical :
Deskripsi dari sesuatu dalam sebuah set film seperti pada kehidupan nyata. Misalnya kompor gas, bak cuci, pintu terbuka, pencahayaan lampu.

Print :
Perintah ketika pengambilan gambar telah lengkap dan dikirim ke laboratorium untuk dikembangkan.

Producer :
Sebutan ini untuk orang yang memproduksi sebuah film tetapi bukan dalam arti membiayai atau menanamkan investasi dalam sebuah produksi. Tugas seorang produser adalah memimpin seluruh tim produksi agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama, baik dalam aspek kreatif maupun manajemen produksi dengan anggaran yang telah disetujui oleh executive producer.

Production Departement :
Bagian yang menentukan batasan biaya dan menangani persiapan dan pelaksanaan atas segala keperluan dalam sebuah produksi.

Production Assistant :
Bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dilapangan selama proses produksi.

Production Manager :
Orang yang bertanggung jawab atas detail produksi dari awal sampai produksi itu selesai.

Production Unit :
Terdiri dari sutradara, kru kamera, kru tata suara, bagian listrik dan semua orang yang diperlukan dalam suatu produksi.

Prop Box (Kotak Properti) :
Tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran serta memiliki roda yang gunanya sebagai tempat penyimpanan barang-barang kebutuhan suatu produksi.

Prop Man :
Bertugas untuk memastikan bahwa properti ada ditempat yang seharusnya pada saat dibutuhkan untuk suatu produksi.

Power Pack :
Tempat khusus untuk pembagian arus listrik

Panning :
Pergerakan horisontal kamera dari kiri kekanan maupun sebaliknya

Rain Cluster :
Sebuah perangkat sprinkler yang dapat digantung diatas kepala untuk memberikan simulasi efek dari hujan. Di sini sering memakai semburan dari mobil pemadam kebakaran.

Raw Stock :
Film yang belum diekspose.

Reaction Shot :
Pengambilan gambar yang dimasukkan dalam sebuah adegan untuk menunjukkan efek kalimat atau tindakan terhadap partisipan lain dalam adegan tersebut.

Reel of Film :
Jumlah film yang akan diproyeksikan dalam waktu 10 menit. 900 feet untuk ukuran 35mm atau 360 feet untuk ukuran 16mm. Gulungan standar dapat menampung film sepanjang 1000 feet untuk 35mm dan 400 feet untuk 16mm.

Reflector :
Pemantul yang permukaannya berlapis perak digunakan untuk memantulkan cahaya. Untuk pengambilan film eksterior reflektor sering digunakan untuk mengarahkan sinar matahari ke bagian dalam suatu adegan.

Release Print :
Married Print yang dibuat untuk didistribusikan ke bioskop setelah answer print (telah disetujui)

Re-Load :
Penanda dari departemen kamera atau tata suara ketika mereka telah kehabisan persediaan untuk merekam.

Remake :
Produksi suatu film yang sebelumnya telah diproduksi.

Re-Run :
Memutar ulang suatu film atau acara televisi.

Research Departement :
bagian riset yang terdiri dari orang-orang yang menilai otentisitas artikel, benda, kostum, dan peristiwa dalam sebuah film sebelum produksi film tersebut dijalankan.

Resolution, Resolving Power :
Kemampuan lensa atau film untuk menangkap serta menunjukkan detail yang halus.

Re-Take :
Pengulangan sebuah adegan dalam syuting.

Reverse, Reverse Angle :
Lawan dari sudut kamera dari adegan yang baru saja diselsaikan untuk memperlihatkan sisi lain dari gambar.

Rigging :
Sebuah rangka pondasi untuk penyangga lampu penerangan pada suatu set. Sering disebut juga dengan Scaffolding.

Roll, Rool ‘em :
Perintah yang biasanya diberikan oleh asisten sutradara ketika sutradara merasa adegan telah siap untuk pengambilan gambar dengan memfungsikan kamera film dan peralatan rekam lainnya.

Rough Cut :
Penggabungan dari berbagai adegan film menurut suatu cerita yang komprehensip, biasanya sudah dengan dialog dan soundtrack.

Running Shot :
Menggerakkan kamera untuk menyesuaikan dengan aktor/aktris ketika mereka menyeberangi set atau lokasi.

Rushes :
Cetakan dari hasil pengambilan gambar hari itu yang diproses pada hari yang sama sehingga dapat dilihat pada besoknya.

Rundown :
Susunan isi dan alur cerita dari program acara yang dibatasi oleh
durasi, segmentasi, dan bahasa naskah

Run Through :
Latihan akhir bagi seluruh pendukung acara yang disesuaikan dengan
urutan acara dalam rundown

Retake :
Pengambilan ulang suatu gambar/adegan

Sandbag :
Tas/bungkusan berisi pasir untuk pemberat.

Scouting :
Mencari lokasi untuk produksi atau bisa juga mencari orang yang berbakat.

Screen Play :
Naskah lengkap yang menjadi bahan untuk melakukan produksi film.

Screen Test :
Sebuah adegan yang memberikan kesempatan bagi aktor/aktris untuk memperlihatkan kemampuannya. Adegan ini biasanya diambil dari film untuk mempertimbangkan seorang aktor/aktris diambil lengkap dengan menggunakan kostum, set, dan riasan.

Scrim :
Sebuah bendera yang dibuat dari materi tembus cahaya. Kegunaannya adalah sebagian untuk mengurangi dan mendifusikan sumber cahaya. Berada ditengah antara sebuah gobo dan sebuah diffuser.

Script Supervisor, Script Clerk :
Bertanggungjawab untuk mencatat seluruh adegan dan pengambilan gambar yang diproduksi. termasuk semua informasi yang diperlukan seperti durasi, arah gerakan, penagrahan mimik wajah, penempatan aktor/aktris dan properti, serta gerakan fisik yang harus disesuaikan aktor/aktris dalam semua cakupan yang berurutan untuk kemungkinan pengambilan gamabr ulang. Semua informasi ini dimasukkan dalam salinan naskah milik supervisi naskah dan digunakan oleh editor ketika tahap editing. Dalam salinan ini juga dimasukkan catatan dari sutradara untuk editor.

Sequence :
Sebuah rangkaian adegan.

Shutter :
Mekanisme kamera yang mencegah cahaya masuk ke film diantara pengukuran frame segingga serial foto yang terpisah memiliki jarak walaupun gulungan film tetap diputar dalam kamera.

Sneak, Sneak Preview :
Pemutaran film di bioskop tanpa pemberitahuan sehingga pembuat film dapat memperoleh tanggapan dari penonton sebelum didistribusikan secara umum. Seringkali tanggapan dari penonton untuk membuat perubahan dalam film yang menurut produser akan membuat film tersebut lebih berhasil dipasaran.

Soft Focus :
pengambilan gambar dengan lensa yang diatur sedikit out of focus sehingga subyek tampak agak buram. seringkali digunakan ketika memfoto seorang aktor.aktris yang mulai terlihat berkerut.

Soft Light :
Pencahayaan lampu yang memungkinkan tidak menghasilkan bayangan dan berpendar secara keseluruhan.

Sound Camera :
Kamera yang beroperasi dengan tenan selama perekaman gambar sehingga suara dapat direkam tanpa adanya bunyi dari kamera.

Splice, Splicing :
Penggabungan akhir dari 2 buah film sehingga terbentuk sebuah kesatuan yang berkesinambungan. Proses ini disebut splicing, hubungannya disebut splice.

Sprocket :
Roda dengan gerigi teratur yang mencengkeram bagian pinggir film untuk menggerakkannya didalam kamera.

Still man, Photographer :
Bertanggungjawab atas publiitas dan pembuatan foto set serta lokasi. Dapat juga digunakan pada kesempatan tertentu.

Stop Frame :
Pengulangan sebuah frame film untuk memberikan efek diam pada aksi. Juga disebut dengan freeze frame.

Story Board :
Sketsa yang menggambarkan adegan dalam film. Digunakan untuk mempemudah pengambilan gambar.

Sunshade (Lens Shade) :
Kotak persegi panjang untuk meningkatkan ukuran lensa keluar, dipasangkan pada kamera diabgian lensa depan untuk mencegah masuknya cahaya kedalam lensa.

Super, Superimposure :
Penempatan sebuah gambar diatas gambar lainnya, misalnya title atau subtitle terjemahan bahasa.

Swish Pan :
Gerakan panning ketika kamera digerakkan secara cepat dari sebuah sisi ke sisi lainnya, menyebabkan gambar menjadi kabur untuk memunculkan kesan gerakan mata secara cepat.

Simply Shot :
Gambar yang diambil dari sudut yang mudah

Script Format :
Format penulisan naskah acara

Script Marking :
Penandaan pada naskah untuk menjadi catatan bagi sutradara maupun
pendukung produksi lainnya

Stock Shot :
Berbagai bentuk gambar yang diciptakan untuk menjadi pilihan pada
saat gambar-gambar tersebut memasuki proses editing

Suspense :
Istilah yang digunakan untuk menunjukkan adegan yang menegangkan
dan mengundang rasa was-was bagi penonton

Steady Shot :
Gambar sempurna dan tidak terlalu banyak bergerak dan dapat dinikmati
dengan posisi diam

Slow Motion :
Pergerakan gambar yang diperlambat sesuai dengan kebutuhan cerita

Tag, Tag Line :
Kalimat atau tindakan dalam sebuah adegan terakhir dari sebuah film yang diharapkan dapat menjadi puncak dari apa yang telah disuguhkan sebelumnya.

Teaser :
Adegan pertama dari keseluruhan gambar dari cerita. Biasanya adegan yang menarik, digunakan di televisi.

Tele-Photo Lens :
Lensa dengan panjang fokus lebih besar dari normal yang digunakan untuk membuat obyek jauh menjadi dekat.

That’s a Hold :
Perintah dari sutradara pada script supervidor dan asisten kamera bahwa pengambilan gambar yang baru saja selesai tidak akan dikirim ke lab untuk dicetak tapi diberi label “hold” sampai pengambilan gambar lainnya telah selesai dan sutradara memutuskan gambar mana yang akan dicetak.

Tilt :
Menggerakan kamera secara vertikal (naik-turun)

Tone Track :
Soundtrack yang memunculkan bunyi latar yang diasosiasikan dengan lokasi interor atau eksterior. Suara ini biasanya tidak disadari namun memberikan sentuhan realitas yang dibutuhkan oleh sebuah film.

Top Lighting :
Cahaya dari sumber yang diletakkan diatas subyek sehingga turun menyinari.

Transportation Departement :
Bertanggungjawab terhadap semua kendaraan yang digunakan oleh kru dan pemain selama syuting berlangsung. Dalam hal ini termasuk antar dan jemput kru atau pemain.

Treatment :
Presentasi detail dari cerita sebuah film namun belum berbentuk naskah.

Triangle :
Alat yang digunakan untuk menahan kaki-kaki tripod agar tidak bergerak jika diletakkan di lantai yang licin.

Two/Three Shot :
Perintah yang seringkali digunakan oleh sutradara untuk mengarahkan kamera pada dua/tiga obyek yang dituju.

Unit Manager :
Bertanggungjawab atas kelancaran operasi perusahaan film di lokasi.

Variable Speed Motor :
Variasi kecepatan film di kamera untuk keperluan efek khusus.

Viewfinder :
Instrumen optik yang diletakkan samping kiri blimp yang memungkinkan operator kamera untuk mengikuti aksi sementara kamera sedang berputar.

Voice Cue :
Sinyal vokal dari sutradara atau aktor/aktris dalam adegan bahwa sudah waktunya aktor/aktris lain masuk.

VTR :
Video Tape Recording

Very Long Shot :
Gambar yang diambil dari jarak yang sangat jauh

Voice Over :
Suara dari announcer atau penyiar untuk mendukung isi cerita (narasi)

Wardrobe Box :
Kotak penyimpanan kostum.

Wardrobe Departement :
Bertanggungjawab atas pemilihan kostum yang akan dipergunakan untuk produksi.

Wild Line :
Kalimat yang biasanya direkam setelah pengambilan gambar atau diakhir syuting pada hari itu. Dipergunakan untuk mengulang kalimat dari suatu adegan yang telah diambil karena tidak jelas.

White Balance :
Prosedur untuk mengoreksi warna gambar dari kamera dengan
mengubah sensitivitas CCD ke dalam spektrum warna.
Umumnya prosedur ini menggunakan warna putih sebagai dasar

Wild Recording :
Perekaman yang tidak dilakukan selama proses fotografi. efek suara dan bunyi acak biasanya direkam dengan cara ini, kadang untuk narasi dan musik juga. Seringkali disebut Non-Sync.
Wind Machine :
Kipas angin besar yang ditutup dengan kawat pengaman. Digunakan untuk menciptakan efek angin.

Wipe :
Efek optik antara 2 gambar dimana gambar ke-2 mulai di bagian luar layar dan menghapus gambar pertama sampai dengan garis yang masih terlihat dan pada akhirnya menutupi gambar pertama.

Wrap :
Perintah yang digunakan untuk memberitahukan pada semua orang bahwa syuting pada hari itu sudah selesai.

Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa

Ketika Lumiere bersaudara membuat dunia ‘terkejut’ pada 28 Desember 1895, itulah pertama kali sejarah film digoreskan. Mereka melakukan pemutaran kali pertama di depan publik, di Cafe de Paris, Prancis.

Ada beberapa film buatan Lumiere yang diputar pada pertunjukan pertama itu. Ada film tentang para laki dan wanita pekerja di pabriknya, kedatangan kere,ta api di Stasiun La Ciotat, bayi yang sedang makan siang dan kapal-kapal yang meninggalkan pelabuhan.

Salah satu kejadian unik, yaitu saat dipertunjukkan lokomotif yang kelihatannya menuju ke arah penonton, banyak yang lari ke bawah bangku. Itulah awal sejarah ‘gambar idoep’, nama yang melekat sampai 1940-an untuk film.

Di Indonesia, sejarah ‘gambar idoep’ muncul lima tahun berikutnya. Yaitu pada 1900, dilihat dari sejumlah iklan di surat kabar masa itu. De Nederlandshe Bioscope Maatschappij memasang iklan di surat kabar Bintang Betawi mengabarkan dalam beberapa hari lagi akan diadakan pertunjukan gambar idoep . Di surat kabar terbitan yang sama pada Selasa 4 Desember 1900 itu, ada iklan berbunyi ”… besok Rebo 5 Desember Pertunjukan Besar yang Pertama di dalam satu rumah di Tanah Abang Kebondjae moelain pukul 7 malam …”

Bioskop Kebonjahe yang kemudian diberi nama The Roijal Bioscope mulai dioperasikan dengan harga tiket dua gulden untuk kelas 1, satu gulden kelas 2, dan 50 sen kelas 3. Pada masa itu penonton pria dan wanita dipisah. Pertunjukan dengan pembagian kelas-kelas yang kini sudah dihilangkan bioskop kelompok 21, mengikuti pola pertunjukan Komedi Stamboel dan Opera Melayu.

Kelas termurah duduk di bangku papan yang berada di deret depan (stalles), tepat di belakang orkes. Penonton juga diberi libretto berisi ringkasan cerita film yang akan diputar.

Setelah pemutaran perdananya, Bioskop Kebonjahe segera menjadi terkenal. Namun demikian belum bisa mengalahkan popularitas pertunjukan lain yang sedang digemari masyarakat: Komedi Stamboel (sering disebut Bangsawan atau Opera Melayu). Keduanya adalah pertunjukan sandiwara keliling yang diselenggarakan dalam tenda kain besar. Penontonnya bukan hanya pribumi, tetapi dari semua golongan.

Bahkan film-film tempo doeloe itu, dalam pemilihan repertoire -nya juga banyak mengambil cerita dari panggung pertunjukan ini. Mulai dari hikayat-hikayat, seperti Djoela-Djoeli Bintang Tiga , sampai cerita-cerita realistis seperti Nyai Dasima.

Di atas hanyalah sepenggal cerita dunia film Indonesia pada tahun-tahun awal gambar idope di negeri ini. Misbah Yusa Biran, kelahiran Rangkasbitung, Banten, 11 September 1933, telah berkecimpung dalam dunia film sejak 1954. Pada 1967, ia terpilih sebagai sutradara terbaik untuk filmnya Di Balik Cahaya Gemerlapan. Sejak 1971, ia mulai merintis berdirinya lembaga arsip film, Sinematek Indonesia, dan mulai melakukan penelitian sejarah film Indonesia dan penulisan skenario.

Sinematek Indonesia berdiri 1975, sebagai arsip film pertama di Asia Timur. Kini, suami dari artis Hj Nani Wijaya ini sedang menyiapkan penulisan sejarah film 1950-1967, setelah meluncurkan Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa , 6 November 2009.

Film cerita pertama
Tahun 1926 merupakan tonggak bersejarah bagi perfilman Indonesia. Dengan dibuatnya film cerita pertama dongeng Sunda Loetoeng Kasaroeng. Pembuatan film ini mendapat dukungan dan bantuan besar dari Bupati Bandung, Wiranatakusumah V. Dorongan bupati ini bertolak dari hasratnya untuk mengembangkan kesenian Sunda.

Perhitungan dari segi ekonomis bersumber dari kenyataan bahwa 80 persen pemasukan bioskop berasal dari saku orang Cina dan pribumi. Para pemainnya terdiri dari sepupu dan kemenakan sang bupati. Setahun kemudian (1927) Java Film menggarap film kedua Eulis Atjih. Sebuah drama rumah tangga modern, bukan lagi cerita dongeng.

Tiga hari sebelum pertunjukan berakhir, Pewarta Soerabaya melaporkan di kota buaya ini film tersebut dibanjiri penonton. Dalam iklan disebutkan: “Liat bagimana bangsa Indonesia tjoekoep pinter maen di dalam film, tida koerang dari laen macem film dari Eropa atawa Amerika”. Yang menarik, saat awal produksi film pertama Indonesia, para calon pemain akan diuji untuk memperlihatkan ”rupa gusar, sayang, kagum, jemu, kasihan, masa bodoh dan kurang ajar”.

Pada 1938 film Terang Boelan tiba-tiba membuat ledakan. Rembulan film Hindia Belanda menampakkan sinar terangnya. Dunia film telah menemukan resep yang bisa digemari penonton, mengalahkan sandiwara panggung.

Film Batavia ini menyedot semua penonton ke bioskop. Lagu ‘Terang Boelan’ yang dinyanyikan oleh Roekiah, kemudian menjadi lagu kebangsaan Malaysia ‘Negaraku’. Meledaknya film ini membuat orang-orang panggung lari ke dunia film. Komponis terkenal Indonesia, Ismail Marzuki, turut memainkan musiknya untuk film ini. Pembuatan film pun mendadak ramai dilakukan dengan resep Terang Boelan .

Di Amerika, sejak 1926 sudah dimulai film bicara. Film Hollywood pertama yang percakapan pemainnya bersuara adalah The Jazz Singer. Penonton Indonesia baru bisa menyaksikan keajaiban itu akhir 1929-awal 1930. Mula-mula kota Surabaya dan Batavia baru menikmati film suara pertama tiga bulan kemudian. Pada masa awal film bersuara di Indonesia, perekaman dialog maupun musik pengiring dilakukan langsung pada saat pengambilan gambar, persis seperti jalur suara yang terdapat pada film sekarang. Indonesia baru bisa membuat film bicara pertama pada 1932. Kemudian disusul Indonesia Malaise keluaran studio Halimoen Film.

Begitu Jepang memegang kekuasaan di Indonesia (1942-1945), mereka menutup semua studio film, yang kesemuanya milik Cina, kecuali satu milik Belanda, Multi Film. Alasannya agar jangan digunakan untuk membuat film anti-Jepang. Kedua, Jepang pasti tidak percaya kepada para produser Cina peranakan, yang budayanya tidak membantu. Hampir semua film Jepang yang dipertontonkan di Jawa merupakan film propaganda anti-Sekutu. Penonton dihidangkan kemenangan Jepang dalam berbagai front.

Bukan hanya itu, semua bioskop diambil-alih Jepang. Distribusi film diatur langsung oleh pemerintah pendudukan Jepang, yakni Jawa Ehai yang didirikan April 1943. Pada saat itu gedung bioskop yang diambil-alih berjumlah 117 gedung. Sebanyak 95 persen milik orang Cina.

Dalam pengantarnya, penerbit Komunitas Bambu yang menerbitkan buku ini menulis: Buku ini menjadi istimewa bukan saja lantaran paling luas menguraikan sejarah film periode 1900-1950, tetapi juga ditulis oleh Misbach Yusa Biran yang sohor sebagai ‘ensiklopedi berjalan’ film Indonesia.

(Sumber: Oleh Alwi Shahab, Dikronik dari Harian Republika edisi 22 November 2009, dengan judul “Terang Bulan Film Indonesia”)

sejarah film di indonesia

Pertunjukan film di Indonesia sudah dikenal orang pada tahun 1990, sebab pada tahun itu iklan bioskop sudah termuat di koran-koran. Sedang pembuatan film, baru dikenal tahun 1910-an. Itu pun sebatas pada pembuatan film dokumenter, film berita atau film laporan. Pada tahun 1926, barulah dimulai pembuatan film cerita di Bandung.

Sepanjang perkembangannya, film Indonesia mengalami banyak periode.

Periode Coba-coba (1926-1937)
Pembuatan film cerita yang dimulai di Bandung ketika itu, mengalami kesulitan yang amat berat. Sebab, harus berhadapan dengan film-film import yang telah lebih dulu menguasai pasar. Belum lagi proses pembuatan film asing yang dilakukan secara besa-besaran.


Sementara film kita harus merayap-rayap menjamah bioskop pinggiran sambil mencari-cari apa yang sebenarnya diinginkan oleh publik ketika itu. Maka, dicobalah bermacam-macam bentuk dan cerita. Film Nasional mengalami masa kering yang panjang dan penuh pengorbanan.

Film Bisu (1926-1930)
Usaha pembuatan film cerita dimulai (meski masih secara bisu) oleh Kruger dengan judul “Loe-toeng Kasaroeng” (1926), kemudian disusul oleh Carli, keduanya adalah peranakan Belanda: tinggal dan membuka usaha di Bandung.

Tahun 1928 di tanah Periangan muncul pula Wong Brother’s asal Shanghai. Permunculan mereka rupanya menarik perhatian para pengusaha Cina lainnya untuk bergerak di bidang industri perfilman. Dan pada tahun 1929 berdirilah perusahaan film cerita di Jakarta bernama TAN’S FILM.

Film Bicara/Bersuara (1931)
Tahun 1929, film bicara pertama diputar; itupun film produk Amerika. Dua tahun kemudian, di Indonesia dicoba pembuatan film bersuara oleh para pembuat film di tanah air. Hebatnya, semua peralatan untuk pembuatan film bersuara dibikin sendiri di Bandung. Tentu saja kualitasnya belum terlalu bagus; namun, barangkali Indonesia lah yang pertama memulai membikin film bersuara di Asia.

Muncullah film “Nyai Dasima” (Jakarta 1931) film bersuara pertama. Disusul kemudian “Zuzter Theresia” (Bandung 1932).

Dengan masuknya suara ke dalam film memberi keuntungan tersendiri bagi penonton serta produser film. Hal itu disebabkan belum adanya penerjemah kata asing dalam film dengan bantuan teks, hingga film Indonesia lebih bisa diterima penonton kita. Penonton jadi lebih tertarik pada film buatan dalam negeri, meski suaranya sedikit berisik. Walau film produk dalam negeri banyak diminati penonton, akan tetapi belum memberi keuntungan yang memadai. Kalaupun ada untung, itupun pendapatannya baru sebatas untuk menutup biaya produksi.

(Mey.s. Dai berbagai sumber-Katalog FFI 1981)

20 Film Indonesia Paling Fenomenal Pada Tahun 1990-2010

APA saja 20 film nasional paling fenomenal menurut kami?

Aslinya, ini artikel saat ultah tabloid Bintang Indonesia ke-17. Agar lebih update dan tak sekadar mengulang, kami menambahi 3 film agar genap jadi 20.

Perjalanan panjang sejarah perfilman Indonesia, sempat mengalami masa-masa kelam di awal ’90-an. Yang mengejutkan, sepanjang periode 1995-1997 ada 88 film yang lolos dari Lembaga Sensor Film. Tahun 1998 dan 1999 hanya diproduksi 4 film. Mulai 2002, produksi film nasional meningkat. Setiap pekan, ada 2 film Indonesia didirilis.

Cinta dalam Sepotong Roti (Sutr. Garin Nugroho, 1990)

Film-filmnya Garin Nugroho selalu berjudul puitis, termasuk film ini. Jauh berbeda dengan film-film lain yang tengah beredar saat itu. Cerita mengenai 3 sahabat, Mayang (Rizky Theo), Harris (Adjie Massaid), dan Topan (Tio Pakusadewo). Setelah besar Mayang dan Harris menikah, sementara Topan masih melajang dan jadi fotografer. Dalam perjalanan yang melibatkan mereka bertiga, tersingkap masalah yang selama ini terpendam di hati masing-masing. Harris yang punya trauma masa lalu. Sebagai istri, Mayang hampir tak bisa membantu, dan Topan yang ternyata memendam cinta pada Mayang sejak kecil. Judul-judul yang unik jadi ciri khas sosok Garin Nugroho. Film yang satu ini berhasil menancapkan kesan mendalam mengenai siapa Garin dan kiprahnya di perfilman nasional. Terbukti dengan Piala Citra untuk Film, Artistik, Editing, Musik, dan Fotografi Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 1991. Festival Film Asia Pasifik 1992 di Seoul menganugerahi Garin sebagai Sutradara Pendatang Baru. Selama belasan tahun kemudian, Garin membuktikan diri dengan membuat film-film berkelas festival (internasional), namun sulit laku di pasar negeri sendiri.

Lupa Aturan Main (Sutr. Tjut Djalil, 1990)

Menurut data Perfin, ini film terlaris di Jakarta tahun 1991 dengan jumlah penonton sebanyak 477.102 orang. Di awal ’90-an, Warkop DKI yang terdiri atas Indro, Kasino, dan Dono tak lepas dari predikat sebagai penyedot penonton. Film-film yang mereka bintangi selalu berjudul nyeleneh, cerita yang sederhana dengan bumbu gadis cantik nan seksi, tapi laris manis di pasaran.
Lupa Aturan Main berkisah tentang trio Warkop DKI yang berniat meringkus perampok bertopeng. Setelah menyiapkan diri, termasuk menantang perampok tadi lewat surat kabar, tapi mereka malah salah tangkap. Polisi yang mestinya, justru mereka ringkus. Sementara polisi berikutnya yang sebenarnya perampoknya malah dibiarkan. Si perampok menyuruh trio Warkop ini gantung diri. Harapan satu-satunya terletak pada Sridonna (Fortunella) yang kebetulan sedang menginap di rumah itu dan ditaksir perampoknya! Sederhana saja ‘kan ceritanya?

Ramadhan dan Ramona (Sutr. Chaerul Umam, 1992)

Inilah Film Terbaik di ajang FFI 1992. Piala Citra didapat untuk Sutradara, Skenario, Pemeran Utama Pria dan Pemeran Utama Wanita Terbaik. Dengan durasi 87 menit, cukup untuk menyampaikan sebuah pesan. Ramadhan dan Ramona hingga kini identik dengan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou. Di bawah arahan Chaerul Umam, Lydia memerankan Ramona, yang membenci sikap pria terhadap wanita dan mencoba menyelami hidup rakyat kecil. Sedangkan Ramadhan (Jamal Mirdad), anak bangsawan asal Malaysia yang ingin mencari pengalaman dengan bekerja sebagai karyawan biasa di Jakarta. Sejak berkenalan hingga saling tertarik, semuanya terjadi di Jakarta.
Dengan gaya bertutur yang ringan, skenario Putu Wijaya ini berhasil menggiring penonton menyukai 2 tokoh utamanya. Cerita cinta sepasang anak muda yang sama-sama menyembunyikan latar belakang mereka. Meski filmnya ringan, pembuat film menyelipkan pandangannya mengenai masalah-masalah sosial.

Kuldesak (Sutr. Mira Lesmana, Nan Achnas, Riri Riza, Rizal Mantovani, 1997)

Di tengah kelesuan, 4 sutradara muda menggebrak panggung film nasional. Mira Lesmana, Nan T. Achnas, Riri Riza, dan Rizal Mantovani, masing-masing mengemas empat cerita ini dalam satu film, Kuldesak. Meski saling tak terkait, benang merahnya tetap ada. Keempatnya melukiskan dunia remaja masa kini dari kacamata remaja itu sendiri. Dunia yang terkadang sulit dipahami generasi yang lebih tua. Masing-masing tokoh punya impian, keinginan, obsesi, dan masalah yang umumnya tak kesampaian.
Dalam buku Katalog Film Indonesia, tertulis, keunikan film produksi 1997 ini. Bentuk yang dekat dengan gaya video klip yang bertebaran di MTV menjadikan Kuldesak seperti lepas dari keterkaitannya dengan sejarah film Indonesia sebelumnya. Para pembuat filmnya merasa tak harus punya sikap dalam dunia yang penuh realita ini. Cukup menyajikannya saja. Persis seperti kalimat yang diucapkan Mira ketika itu, “Suka atau tidak, inilah karya kami.” Ia merasa perlu menekankan ini lantaran harapan orang terlalu tinggi, bahwa karya ini dianggap sebagai kebangkitan film nasional. Padahal mereka membuat Kuldesak sebagai tontonan alternatif.

Kuldesak mencerminkan karya yang belum pernah dilakukan sineas Indonesia sebelumnya. Keempat sutradara muda ini mengajak sejumlah seleb sebagai cameo (muncul sekejap, dalam tempo singkat). Dengan begitu, film ini lebih gampang dijual. Gaya ini kemudian lebih sering dipakai film-film yang lahir belakangan. Penokohan yang tidak lazim, pun terjadi di film ini. Rasanya baru kali ini kamera menyorot pasangan homoseksual, meski tidak digali secara mendalam, cukup sebatas permukaan saja.

Petualangan Sherina (Sutr. Riri Riza, 1999)

Ini proyek Mira Lesmana dan Riri Riza. Dengan biaya 2 miliar rupiah, film ini dipasarkan dengan serius. Mira, sang produser melakukan promosi serius. Lagu-lagunya dipasarkan tersendiri dan pemutarannya benar-benar dibuat tepat saat libur sekolah. Alhasil, film ini mampu mengundang 1,6 juta penonton ke bioskop. Jumlah yang sangat besar.

Ceritanya sih mengingatkan penonton pada Home Alone, saat anak kecil mempecundangi orang dewasa. Digarap Riri dengan lancar, film produksi 1999 ini dibumbui lagu-lagu yang didendangkan Sherina. Jika Petualangan Sherina bukanlah film bagus, tak mungkin bisa bertahan selama berminggu-minggu di bioskop.

Ada Apa dengan Cinta? (Sutr. Rudi Sudjarwo, 2001)

Ini salah satu film penting di negeri ini. Setelah sukses dengan Petualangan Sherina, Mira Lesmana menunjuk Rudi Soedjarwo untuk menggarap skenario Jujur Prananto lainnya, Ada Apa dengan Cinta? (AADC?). Film bertema remaja kala itu sudah hilang dari perfilman Indonesia. Setelah Gita Cinta dari SMA (1979), praktis tak ada lagi film remaja yang fenomenal. AADC? ditonton 2,7 juta orang di bioskop. Kalau generasi dulu mengenal Galih dan Ratna, kini, lebih mengenal sosok Cinta dan Rangga. Setelah AADC?, lahir film-film sejenis, bahkan sampai ke TV. Cerita Cinta (Dian Sastrowardoyo) dan Rangga (Nicholas Saputra) lebih kompleks ketimbang cinta biasa. Dipuntir dengan konflik persahabatan sampai soal kedalaman sastra. Berkat AADC? buku Aku kembali mengalami cetak ulang dan laris si kalangan remaja. Kehebatan bertutur Rudi diganjar dengan Piala Citra di FFI 2004. Dari film ini lahir generasi baru “bintang film” yang masih belia, Dian dan Nico.

Jelangkung (Sutr. Jose Purnomo, Rizal Mantovani, 2001)

Film ini jadi pelecut maraknya film horor. Setelah era esek-esek di awal ’90-an, film horor mendominasi era saat ini. Bisa dibilang, film horor nggak ada matinya. Jelangkung seakan membuka jalan bagi film-film berikutnya. Ketika hanya diputar di 2 bioskop saja, Jelangkung bertahan berminggu-minggu.

Bahkan penontonnya harus antre mendapatkan tiket. Di catatan Bintang, Jelangkung ditonton sebanyak 1,6 juta orang, padahal bujetnya cuma 400 juta rupiah. Film yang digarap 2 sutradara (Jose Poernomo, Rizal Mantovani) ini mirip The Blair Witch Project (TBWP, 1999). Dengan bujet mepet, bintangnya belum dikenal, dan tak ada ongkos promosi, nyatanya laris manis.

Arisan! (Sutr. Nia Dinata, 2003)

Ini gambaran kehidupan manusia Jakarta usia 30 tahunan. Sebagai istilah, arisan sudah banyak dipahami sebagai ajang kumpul-kumpul. Meski arisan berarti mengumpulkan uang, tapi sejatinya lebih bermakna pada kumpul-kumpul tadi. Saat di mana para pecinta arisan berbagi cerita, apa saja, termasuk masalah pribadi yang tak seharusnya diumbar. Arisan! seperti menelanjangi kehidupan di zamannya secara gamblang. Problematika hidup kaum borjuis di Jakarta menunjukkan beragam konflik, apakah itu perselingkuhan, dilema cinta sesama jenis, hingga begitu sulitnya mempertahankan nilai-nilai keluarga. Tapi semua dipadu dalam nuansa komedi yang tak menggurui.
Itulah hebatnya Nia Dinata. Setelah Ca Bau Kan yang kuat di artistik, ia menghadirkan Arisan! yang kental dengan realita sekelumit gaya hidup kaum metropolitan sekaligus mengajak penonton untuk tidak lagi menyangkal kenyataan. Itulah kehidupan kota besar yang penuh dengan kemunafikan. Sulit mencari kejujuran di tengah gaya hidup yang serba instan dan ingin selalu kelihatan hebat ini. Pantas jika Arisan! membawa pulang Citra di FFI 2004 bukan hanya untuk Film, tapi juga Editing, Pemeran Pembantu Pria (Surya Saputra) dan Wanita (Rachel Maryam), juga Pemeran Utama Pria (Tora Sudiro) yang memerankan gay.

Eiffel I’m in Love (Sutr. Nasri Cheppy, 2003)

Rasanya sulit menembus rekor Eiffel I’m in Love sebagai film yang ditonton 3 juta penonton. Sebenarnya, tema percintaan di kalangan remaja bukan sesuatu yang baru. Terlebih setelah era AADC? Namun Eiffel berhasil menyedot minat remaja, bahkan melampaui yang dicapai AADC? Salah satu faktor penentu yang tak boleh diabaikan barangkali sosok Rachmania Arunita. Si penulis novel sekaligus yang mewujudkannya ke dalam skenario film yang aslinya berdurasi 195 menit! Film yang sangat panjang untuk sebuah film. Tak heran jika kemudian filmnya dipenggal agar memenuhi kuota sebanyak beberapa kali penayangan dalam sehari di bioskop. Baru setelah ketahuan laris manis, versi panjangnya dipasarkan juga setahun kemudian.
Mengadaptasi novel ke dalam skenario bukanlah hal gampang. Rachmania Arunita dianggap berhasil lantaran memahami jiwa Eiffel dan tak mungkin mengabaikannya. Rachmania lebih mudah menyelami apa yang menjadi daya tarik anak-anak seusianya sehingga film produksi 2003 ini lebih “membumi” di kalangan remaja. Bahkan sutradara Nasry Cheppy tak punya kesulitan mengangkat cerita cinta remaja ini. Seperti halnya AADC? dengan Dian dan Nico, Arisan! dengan Tora Sudiro, maka Eiffel sekaligus melahirkan pasangan baru Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Keduanya tampil bersama lagi dalam Apa Artinya Cinta.

Virgin, Ketika Keperawanan Dipertanyakan (Sutr. Hanny R. Saputra, 2004)

Film nasional yang blak-blakan mengungkap soal yang dianggap tabu. Isinya memotret kehidupan remaja kota yang kebablasan dalam pergaulan. Byan (Laudya Cynthia Bella), Ketie (Argie), dan Stella (Ardina Rasti) menjadi sahabat dengan kesamaan latar belakang dari keluarga berantakan. Keseharian mereka diwarnai senang-senang ke diskotik dan mendapat uang dari om-om, bahkan jika perlu dengan menjual keperawanan. Hanya Byan yang berusaha tetap mempertahankan keperawanan sambil mengharap sosok Marix (Mike Muliardo) yang artis.
Selama 2004, dari 31 film yang diproduksi termasuk Gie, Virgin menembus angka 1,4 juta penonton. Film yang digarap Hanny R. Saputra ini meraih Piala Antemas, piala buat film unggulan FFI yang paling banyak ditonton. Dari film ini, lahir Laudya Cynthia Bella yang kini makin laris di jagat hiburan tanah air.

Gie (Sutr. Riri Riza, 2005)

Diangkat dari kehidupan Soe Hok Gie (Jonathan Mulia, Nicholas Saputra), aktivis mahasiswa 60-an. Pandangan dan kisah hidupnya tertuang dalam buku Catatan Seorang Demonstran yang lantas menjadi sumber Riri Riza, sutradara sekaligus penulis skenarionya dalam melakukan penelitian mendalam. Jarang sekali film Indonesia yang mau mengangkat film bertema ini. Nico yang tampan tak mirip dengan Gie, tapi bisa berakting dan lalu meraih Citra di FFI 2005.
Keistimewaan Gie terletak pada ceritanya yang bermakna lebih dalam dari sekadar biografi biasa. Hal-hal lain yang terungkap dalam perjuangan Gie menjadi sisi menarik. Bagaimana seseorang yang ikut berjuang menumbangkan rezim korup malah menemukan rezim korup baru. Bahkan teman-temannya yang sesama aktivis, pun ikutan korup. Idealisme Gie membuatnya terasing dan kesepian. Teman-temannya meninggalkannya, juga wanita yang dicintainya, juga menolak dirinya.

Denias, Senandung di Atas Awan (Sutr. John De Rantau, 2006)

Di antara padatnya film nasional berbau cinta dan horor, kehadiran Denias, Senandung di Atas Awan menjadi penyejuk. Ceritanya mengenai keinginan dan tekad seorang anak yang ingin bersekolah. Denias (Albert Fakdawer) rela melakukan apa saja demi mengenyam pendidikan, sesuai petuah sang ibu yang selalu terngiang. Indonesia beruntung masih punya sineas yang punya idealisme mengangkat tema berbeda.
Cerita yang konon diangkat dari kisah nyata ini tentu bisa menginspirasi banyak orang. Rekaman indah pemandangan asli Papua, mudah-mudahan tidak membuat penonton melupakan pesan film ini. Kalau Denias saja mau belajar di sekolah yang letaknya sangat jauh, mestinya anak-anak lain lebih bersemangat lagi sekolah. Trenyuh jika melihat ada yang bolos sekolah.

Heart (Sutr. Hanny R. Saputra, 2006)

Film produksi 2006 ini ingin mengharu-biru penonton dengan mengingatkan, betapa dalamnya makna cinta yang terpendam. Gambar-gambar indah Heart sesuai tema cerita. Kostum juga dibuat khusus yang mengingatkan penonton pada komik serial cantik dari Jepang, seperti Candy Candy. Musik yang digarap Anto Hoed dan istrinya, Melly juga sangat mendukung. Meski ada kekurangan di sana-sini, penontonnya mencapai 1,3 juta orang? Ini bukti, film cinta yang menyasar segmen pasar yang tepat, remaja.

Berbagi Suami (sutr. Nia Dinata, 2006)

Poligami, jadi salah satu topik berani yang diangkat Nia Dinata ke dalam sebuah film. Keberanian Nia didorong riset yang lama dan kejelian memilih komedi satir untuk cerita ini. Hasilnya? Penonton puas dengan cerita dan skenario yang bagus serta suguhan akting para pemainnya. Kematangan Nia sebagai sutradara makin berkembang ke arah yang lebih baik dari film-film sebelumnya. Ketika Berbagi Suami diputar, topik yang sensitif ini memang tengah hangat berkembang di masyarakat. Maklum, era reformasi tampaknya justru makin menyingkap apa yang sebenarnya terjadi dan selama ini ditutupi.

Cinta & Rock n Roll (Sutr. Upi Avianto, 2007)

Film ini karya kedua yang digarap Upi setelah 30 Hari Mencari Cinta. Kalau film pertamanya membahas soal wanita yang mencari cinta, lewat Realita, Cinta & Rock n Roll, Upi menyoroti konflik yang terjadi dalam diri Nugi (Herjunot Ali). Soal hubungannya dengan sosok ayah, juga persahabatannya dengan Ipang (Vino G. Bastian).
Bahasa-bahasa keseharian yang keluar dari film Upi menjadi salah satu ciri khasnya yang justru tidak membuat jarak dengan penonton. Realita, Cinta & Rock n Roll membahas masalah mengenai rumitnya hubungan anak dengan ayahnya yang harus ia panggil mama. Untung Nugi remaja yang tangguh. Kendati awalnya kaget, tapi ia punya mental baja. Kalau saja konflik ini lebih diperdalam, hasilnya akan jauh lebih bagus.

Nagabonar Jadi 2 (Sutr. Deddy Mizwar, 2007)

Karakter Naga Bonar sepertinya tak gampang lenyap. Deddy Mizwar membuat sekuelnya setelah 20 tahun berlalu. Konflik yang muncul antar generasi disampaikan lewat cara yang kocak dan tak membosankan. Mengapa film ini penting? Sekuel tak harus dibikin dalam waktu yang berdekatan. Entah strategi apa yang ada di kepala Deddy Mizwar, yang jelas keputusannya membuat Nagabonar Jadi 2 sangat tepat. Selain menjadi Film Terbaik, ia sendiri membawa pulang Citra di FFI tahun lalu. Sudah begitu, Nagabonar Jadi 2 menyedot penonton lebih dari 1 juta penonton. Jika digarap dengan baik, bukan tidak mungkin hasilnya akan memuaskan. Keberanian Deddy mengusung tema nasionalisme di tengah-tengah kehidupan yang melulu bicara konsumerisme, tidak membuat gamang. Adegan Naga Bonar mendaki patung Jenderal Sudirman memang agak berlebihan. Tapi pendekatan Naga Bonar terhadap anak tukang bajaj (Lukman Sardi yang juga memboyong Citra) boleh jadi terasa sangat nyata. Bak sang kakek yang senang mendongeng, Naga Bonar tak keberatan membeberkan pengalamannya.

Ayat-ayat Cinta (Sutr. Hanung Bramantyo, 2008)

Film paling baru ini bisa jadi bahan pembicaraan hingga tahun-tahun mendatang. Hingga tulisan ini diturunkan, penontonnya sudah mencapai 300 ribuan. Keistimewaan Ayat-ayat Cinta terletak pada gambaran kehidupan Islami di tengah masyarakat yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Setelah era kebangkitan film nasional, tak banyak yang berani mengambil tema ini. Deddy Mizwar sudah mengawalinya dengan Kiamat Sudah Dekat yang sayangnya tak mendapat respons yang bagus. Pendekatan lain dilakukan pembuat Ayat-ayat Cinta yang dengan berani mengadaptasi novel laris. Apa pun hasilnya, sumbangan pembuat film Ayat-ayat Cinta layak menjadi catatan. Di negeri yang 90 persennya beragama Islam jelas menjadi beban. Salah-salah nanti bisa didemo, atau malah ditarik dari peredaran. Mungkin itu sebabnya jadwal edar film ini sempat seret.

Laskar Pelangi (Sutr. Riri Riza, 2008)

Laskar Pelangi tidak sekadar film paling sukses sepanjang masa dengan 5 juta penonton. Riri Riza tak bersetia dengan novel asli karya Andrea Hirata. Riri membuat film yang intinya seperti ini: di sebuah desa di Belitong yang dirasuki kemiskinan hingga ke akarnya, berdirilah sebuah SD reyot dengan 2 pengajar yang berdedikasi (Pak Harfan dan Bu Muslimah). Murid-murid SD reyot itu menikmati hari-hari bersekolah mereka di tengah keterbatasan yang ada. Dari SD reyot itu malah muncul mutiara-mutiara yang berhasil membangkitkan kebanggaan kaum miskin. Tentu dengan mengalahkan sekolah PN Timah, perlambang kaum kaya. Baik dalam bidang kesenian (Mahar berhasil mengalahkan tim marching band SD PN Timah dengan tarian suku Afrika-nya) maupun ilmu pengetahuan (Lintang tampil memukau saat cerdas cermat). Pertarungan kelas tampil memukau sekaligus mengundang simpati.

Garuda di Dadaku (Sutr. Ifa Ifansyah, 2009)

Saat ada ribuan anak yang hobi main bola merengek minta diajak ke bioskop nonton film ini adalah bukti film ini tak hanya berhasil memberi kisah yang enak ditonton, tapi juga kisah inspiratif yang dekat buat mereka. Sejak serial Kapten Tsubasa tayang dulu, inilah tontonan yang berhasil memikat anak-anak penggila bola untuk punya cita-cita suci: main bola dengan logo garuda tersemat di dada. Debut sutradara Ifa Isfansyah ini memberi suguhan tontonan keluarga yang berhasil: mempunyai pesan moral, sekaligus tontonan yang asyik bagi anak-anak dan dewasa.

Sang Pencerah (Sutr. Hanung Bramantyo, 2010)

Sang Pencerah adalah film biopic (kisah hidup tokoh nyata) sekaligus film religi. Lewat film ini, Hanung membawa film religi ke penceritaan bukan soal tokohnya ingin naik kelas sosial atau sekadar pelik-melik mencari jodoh secara islami. Kali ini, yang dilakukan tokohnya mengajarkan pembaruan pada umat. Kita kemudian tahu, Komite Seleksi FFI 2010 memilih tak meloloskan film ini ikut kompetisi karena alasan-alasan teknis (data sejarah kurang akurat dll). Namun, langkah ini malah mengundang kontroversi karena film bagus tak usah tunduk pada cacat teknis tak esensial. Segala protes dan kontroversi yang dipicu film ini tak lolos FFI semakin menguatkan signifikansi Sang Pencerah, tidak hanya di tengah pecinta film Indonesia, namun juga di tengah ummat.