Minggu, 21 Agustus 2011

Persiapan Menjadi Sutradara

Sebagian dikutip dari buku jadul banget “The Film Director” karya Richard L.Bare

Tidak seperti sebagian artis, aktor, maupun penulis yang biasanya terlahir dengan bakatnya, seorang sutradara harus mempelajari seni dari pekerjaan yang digelutinya. Melalui apa? yakni melalui :

Observasi dan tentu saja praktek.
Sutradara juga bisa belajar dengan cara menonton film-film karya sutradara yang lain.
Calon sutradara juga bisa belajar dengan memperhatikan cara sutradara lain bekerja di lapangan
Pengetahuan penyutradaraan juga bisa diperoleh dari membaca buku-buku tentang film atau mengikuti pendidikkan sinematografi bisa berupa kursus atau pendidikan formal
Satu hal yang pasti, tempat berlatih yang baik bagi calon sutradara adalah industri film itu sendiri. Intinya, terjun langsung dalam dunia film adalah pelatihan terbaik.

Memang tidak begitu banyak institusi pendidikan yang memfokuskan pada sinematografi di Indonesia, beberpaa perguruan tinggi diantaranya ada IKJ (Institut Kesenian Jakarta), ISI (Institut Seni Indonesia) Jogyakarta, dan Next Academy. Lain halnya kalau broadcasting (penyiaran), puluhan perguruan tinggi sudah membuka jurusan ini. Universitas Indonesia, UNPAD Bandung, Univ Moestopo, Sahid, AKOM BSI, Univ Tarumanagara, dan terakhir Univ Pancasila memiliki jurusan Broadcasting. Nah kalau tempat kursus diantaranya, School for Brodcast Media, PPHUI (Usmar Ismail), Diklat TVRI, Broadcast Center UI, dan CMC.

Selain institusi tadi, sutradara Rudy Soejarwo pernah mengadakan pelatihan penyutradaraan, juga Pop Corner yg terdiri dari bberapa sineas muda, terakhir Hanung Bramatyo juga mengadakan semacam pelatihan untu calon asisten sutradara.

Mengikuti pendidikan formal atau kursus bukan jalan satu-satunya, seperti yang diuraikan di atas bahwa ada cara-cara lain. Menonton karya sutradara lain juga penting dan ini juga dilakukan di perguruan tinggi semisal yang dilakukan di University of Southern California dan Academy of Motion Picture Arts and Sciences bahkan di Institut Kesenian Jakarta juga, bahkan menonton menjadi kewajiban mahasiswa. Sutradara Riri Riza menyukai sesi menonton ini yg diwajibkan di mata kuliah Sejarah Film.

Film Medan Hidup Segan Mati Tak Mau

SERUPA dengan genre seni lainnya, dunia perfilman di Medan, terutama sejak dua puluh tahun terakhir, bisa dibilang hidup segan mati tak mau. Padahal di era tahun ‘70-an, Medan termasuk daerah yang diperhitungkan dalam industri perfilman. Kesan ini terungkap lewat “Diksusi Hari Film Indonesia” yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan, 2 April 2011 di Galeri Payung Teduh Medan.
Tampil sebagai pembicara dalam diskusi itu yakni, H. Amsyal, Saut Hutabarat dan Joey Bangun. Dari diskusi itu disimpulkan tentang kondisi perfilman Medan yang kian terpuruk. Di tahun 1970-an, film Medan sempat booming. Beberapa film yang dihasilkan oleh “Anak Medan” dan sempat tenar antara lain, “Sampuraga,” “Musang Berjanggut,” “Buaya Deli,” “Batas Impian,” “Butet,” “Setulus Hatimu,” dan sebagainya. Bahkan di dekade itu, Medan menjadi magnet bagi aktor/aktris film tanah air. Banyak bintang film dari luar Medan (Jakarta) justru terlibat dalam film-film yang digarap oleh orang Medan, misalnya, Camelia Malik WD. Mochtar, Tatik Tito (Batas Impian) Nurhafni, Rizaldi Siagian (Butet) Roy Marten, Sukarno M.Noor (Musang Berjanggut). Selain itu, Medan juga pernah menjadi tuan rumah Festival Film Indonesia, yakni pada 1975 dan 1983. Di masa-masa ini, tersebutlah beberapa nama insan film Medan yang sempat berjaya. Umumnya mereka juga merangkap sebagai jurnalis yang memokuskan diri pada dunia perfilman. Sebut saja, Abdul Aziz Harahap, Arif Husin “King” Siregar, Ibrahim Sinik, Ali Soekardi, Idris Pasaribu, Taguan Hardjo, Boy Hardjo, M. Suif Yusuf Lubis, Yoseano Waas, Zainuddin A, A.Rahim Qahhar, Naswan Effendi, Dahri Uhum Nasution, Darwis D Rivai Harahap.
Namun, sejak industri televisi mulai menjamur di tanah air, iklim perfilman turut mengalami pergeseran. Hal ini terjadi karena sentralisme Jakarta. Jakarta tumbuh menjadi kota massif yang menjadi pusat segala-galanya, termasuk film. Bioskop-bioskop juga turut membunuh dunia perfilman, karena tak memberi tempat untuk film-film lokal. Alhasil perfilman di sejumlah daerah pun kelimpungan tak tahu akan ditayangkan di mana. Meski begitu, dunia perfilman di Medan tak langsung padam. Para penggiat film di kota multikultur ini mengubah strategi. Salah satunya dengan memproduksi film-film indie maupun yang sifatnya dokumenter. Tentu saja pilihan ini berpengaruh terhadap pangsa pasar. Film-film ini tidak diputar bebas. Tujuan pembuatannya mengalami penyempitan. Umumnya film-film ini dibuat untuk kepentingan lomba dan festival. Selain itu lebih bersifat proyek tertentu. Meski begitu dari segi kuantitas dan kualitas tidak lebih buruk dari fase sebelumnya. Menurut makalah H. Amsyal, setidaknya ada 30 grup film yang ada di Medan. Beberapa film yang mereka produksi ada yang sudah mendapatkan penghargaan.

Menyebut beberapa judul seperti “Badai” (Juara III Festival Air Forkami Jakarta), “Pantang di Jaring Halus” (Nominator Festival Film Konfiden), “Pesan dari Balik Kerudung” (juara I Video Diary Yamaha). Ketiga film ini digarap oleh Onny Kresnawan, film maker yang memimpin Sineas Film Documentary. Juga ada Jufri Bulian Ababil yang telah meraih juara I pada Kepakan Kreatif RRI 2010, lewat filmnya berjudul “Cinta Sebatas Jemuran”, ada juga opique pictures dalam film "musemu,sejarah terlupakan" Insan film asal Medan lainnya, seperti Joey Bangun, yang sudah malang melintang di berbagai rumah produksi di Jakarta, juga terbilang potensial. Ia sukses memproduksi beberapa film seperti “Calon Bupati” (dalam format opera Karo). Ada juga film dokumenter berjudul “Menantang Rute Bahaya” yang dikerjakan mahasiswa/i USU beberapa tahun lalu. Film ini masuk nominasi Eagle Awards versi Metro TV. Contoh-contoh ini belum termasuk beberapa film lokal yang sudah ditayangkan di TVRI Medan, seperti “Anak Siampudan,” “Rokkap”

Pajak Terbesar
Menurut Praktisi Film Medan, H. Amsyal, mengutip Deddy Mizwar, Medan termasuk kota penghasil pajak tontonan terbesar kedua setelah Jakarta. Besar pajak tontonan yang diberlakukan di Medan mencapai 30 persen, padahal di daerah lain hanya 10 persen. Hal ini diakui Manager Bioskop 21 Group Sun Plaza, Nobon Iskandar, seperti yang tertuang dalam makalah H. Amsyal dalam diskusi itu. Pertanyaannya kemanakah pajak tontonan yang didapat dari film itu? Kondisi ini makin parah, jika melihat anggaran yang ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Medan hanya Rp 24 juta per tahun untuk film. “Bagaimana mungkin dengan angka segitu, film Medan akan berkembang lebih baik,” tutur Saut Hutabarat. Padahal dari pengalaman Saut Hutabarat, untuk memproduksi sebuah film pendek di Jakarta, rata-rata memerlukan uang sebesar Rp 50-70 juta. Untunglah sineas-sineas Medan punya cara meminimalisir biaya, yakni dengan merekrut teman-teman dalam pembuatan filmnya. Sehingga tidak harus membayar para kru. Cara ini terbukti efektif sehingga biaya pembuatan film pendek di Medan hanya membutuhkan biaya sebesar Rp 5-7 juta. “Semangat inilah yang tidak dimiliki sineas-sineas kota lain. Karena itu, aku yakin, sekalipun tanpa dukungan siapa-siapa, Medan tetap akan menghasilkan film dan selalu melahirkan para sineasnya,” tandas Saut. ( jones gultom)

Pendopo USU Dipenuhi Berbagai Komunitas Medan

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Sore ini menjadi pemandangan langka, tak kala sekumpulan komunitas yang berada di Medan berkumpul di Pendopo Universitas Sumatera Utara (USU)pada event Berbuka Puasa Seru Bareng (Berburu ) Pocari Sweat, Sabtu (20/8).

Mulai dari Mieko Art School, Medan Punya Fixi, Medan Blues Society, Rufi Community, opique pictures, dan Kutukupret, berkumpul bersama di acara yang berakhir pukul 20.00 WIB. Tidak hanya sekedar berkumpul, komunitas-komunitas tadi juga membuka stand yang masing-masing melakukan sosialisasinya terhadap ratusan pengunjung yang hadir di pelataran parkir Pendopo USU.

Sementara di atas panggung, pihak panitia sejak siang hari sudah menyediakan hiburan berupa kompetisi band SMP dan SMU sederajad yang akan memperebutkan hadiah jutaan rupiah.

Seperti penuturan panitia acara Rahma Bahri dari MG Creativi, yang mengaku acara hari itu sengaja mereka konsep menjadi community gathering sekaligus sosialisasi bagi pengunjung. Sebagai bentuk edukasinya, pengunjung sengaja dimanja dengan banyaknya komunitas yang hadir untuk saling berbagi pengetahuan.

"Untuk tidak membosankan pengunjung, pada malam nanti sekitar pukul 19.00 WIB kita sengaja tampilkan special performance dari Ras Muhammad, seorang artis regge ambassador," ujarnya.

Rahma juga menjelaskan, ditengah-tengah keramaian acara bagi pecinta fotografi juga bisa ikut Fun Photo Commpetition, di mana pihaknya sebagai panitia akan mencari dua pemenang terbaik, serta menggelar kompetisi komik bagi pengunjung dengan tema sesuai acara.

"Semua komunitas yang hadir hari ini seluruhnya free. Pihak sponsor juga telah menyediakan stand untuk seluruh komunitas yang ikut, untuk melakukan sarana publikasi kepada masyarakat. Mangkanya yang tidak ikut kegiatan ini rugi," ujarnya.

Dari pantauan Tribun di lokasi acara, sekitar pukul 17.00 WIB, panitia juga menggelar konvoi keliling yang dilakukan oleh komunitas fixi Medan, yang menyusuri kawasan Padang Bulan dan Dr Mansyur Medan. "Kita usahakan mulai acara digelar tidak ada yang kosong dan tetap ada kegiatan, tetapi memang momennya malam nanti tak kala Ras Muhammad perfomence," ujarnya.

Sore itu, disela-sela keramaian acara dan riuhnya band-band anak muda yang membawakan lagu-lagu terpopuler dari band tanah air dan ciptaan mereka sendiri, beberapa diantaranya ada yang tampil beda. Tak kala dua sekolah menampilkan musik ala padang pasir yang bertema ramadan. Kontan saja penampilan mereka yang memakai sorban dan membawa rebana, disambut applaus dari pengunjung.

Sementara itu, Head Area Promotion Sumatera I Pocari Sweat Azmi Abdi, menjelaskan Medan boleh berbangga. Pasalnya dari sembilan kota yang mereka laksanakan kegiatan serupa, hanya kota Medan yang bertemakan Community Gathering, di mana dalam satu lokasi mereka mengumpulkan banyak komunitas.

"Kita ingin melakukan gebrakan di Medan. Kalau selama ini Medan jika menggelar community gathering hanya diikuti satu dua komunitas, kali ini kita kumpulkan banyak langsung. Medan juga menjadi istimewa tak kala dari sembilan kota pelaksanaannya yaitu Medan, Pelembang, Banjarmasin, Semarang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Palangkaraya, Jokjakarta, dan Makkasar, hjanya Medan yang digelar communty gethering," ujarnya. (Irf/tribun-medan.com)

Dukungan OASE untuk film ‘Indie’

DEDI RIONO
WASPADA ONLINE

FILM indie, kebanyakan orang menganggap merupakan film yang nggak bermutu. Memang sih, kadang kualitas gambarnya tidak begitu sempurna dan masih banyak kekurangan. Tapi itu bukan alasan untuk menganggap film indie nggak bermutu.

Sebagai sebuah karya independen, film indie dalam proses pembuatannya membutuhkan suatu perjuangan berat, guna menghasilkan sebuah karya yang murni idealis, tanpa disisipi pesan komersil.

Para pembuat film (sineas) indie dari berbagai kota di tanah air telah banyak menunjukkan aktivitas berkaryanya. Tak ada keharusan bagi para sineas itu untuk terlebih dahulu mendalami teknik-teknik sinematografi.

Sesuai semangat independen, tak perlu ada ketergantungan pada teori-teori pembuatan film yang telah mapan. Melihat kilas balik pergerakan film pendek atau film independen dapat dimulai dari awalnya, yakni tahun 70-an, ketika berdirinya Dewan Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM) dan pendidikan film pertama di Indonesia.

Dari aktivitas lomba dan gencarnya DKJ-TIM mengadakan pekan film pendek dan alternatif, memunculkan gerakan pertama oleh anak-anak muda yang menamakan diri “Sinema Delapan’. Sayangnya, gerakan ini tidak dapat bertahan lama.

Namun, di tengah keterbatasan produksi sebuah film indie, sering kali muncul keraguan para sineas film indie mau dikemanakan karya mereka? Apakah mereka harus berpuas diri kerja kreatif mereka hanya akan memenuhi rak di kamar kontrakan?

Screening atau pemutaran film baik mandiri atau melalui media yang sudah ada mungkin langkah awal yang dapat dilakukan. Banyak komunitas film yang mencoba membuat mediasi melalui jalur ini. Hal ini seperti yang dilakukan komunitas OASE yang terdiri dari mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan” (STIK-P) Medan. Mereka berupaya eksis sebagai media screening bagi film-film indie anak negeri.
Tepatnya pada Sabtu lalu, komunitas OASE kembali memutar film indie untuk ketiga kalinya dengan mengundang komunitas lain untuk mengkritisi melalui diskusi seputar tema atas ide kreatif film yang telah diputar.

Tak hanya Medan, beberapa film yang diputar juga berasa dari sineas asal Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sedikitnya lima karya film diputar oleh OASE. Tiga film produksi sineas Medan serta dua lagi berasal dari Surabaya.

Dari Medan yaitu, Kos4n SajaH, Ilham-Golap serta Opique Picture. Masing-masing berjudul “Petaka 30 Detik”, “BLT” dan “Dari Hati”. Untuk produksi sineas Surabaya: Self Produce serta Kopi Production dengan masing-masing berjudul “The Otherside” dan “Siapa Suruh Jadi Wartawan ”

Pemutaran film indie tersebut ternyata mendapat antusiasme tinggi dari berbagai komunitas film di Medan, mahasiswa, pelajar dan masyarakat sekitar lingkungan kampus Oranye STIK-P.

“Kegiatan ini adalah bentuk dukungan kita terhadap karya-karya film indie di tanah air. Terima kasih kepada Ketua STIK-P Hj Ida Tumengkol BComm MHum dan Puket III Austin Antariksa SSos yang telah mendukung kami. Mari kita dukung terus eksistensi film indie sebagai cikal bakal film Indonesia yang lebih bermutu,” ujar Ketua Panpel, Maslim Piliang.

kami remaja mesjid Al-Ghoqielt



tak semua orang memiliki kesempatan yang sama, apa lagi kesempatan yang sesuai dengan apa yang diharapkan. yah kali ini ghoqielt community dapat kesempatan tuk mengisi acara di radio suara medan (14/8) dikarenakan masih dalam suasana ramadhan sehingga ghoqielt community menjelma menjadi remaja mesjid, rencana kemarin mambawa nama remaja mesjid Al-ghoqielt hanya saja karena mesjidnya belum berdiri sehingga kami membawa nama mesjid syuhada, mesjid dimana teman kita riedho ghoqielt bergabung remaja mesjid didalamnya.

dalam program acara itu kami mengisinya dengan pembacaan ayat suci Al-qur'an yang dibawakan oleh teman kami adjie ghoqielt, disambung selanjutnya pop song kami bawakan lagu ungu dengan juduk syurgamu yang diiringai gitar oleh teman kita yoga ghoqielt lalu diisi dengan puisi yang dibacakan oleh ary ghoqielt. tuk kesempatan terakhir teman kita ridho ghoqielt mambawakan ceramah terkait fadillah-fadillah buan suci ramadhan.

ntahlah, kami juga bingung sebenarnya kami ini hebat aatau apa ya, kok hampir semua kegiatan kami bisa melakukannya dan bisa merubah karakter kami? mungkin juga disebabkan kami berdiri dari perbedaan yang begitu kompleks.

seusai mengisi acara tersebut, pihak radio pun memberikan bukaan kepada kami, dengan suasana yang begitu puas mendengar adzan magrib dan dengan tanpa segan kami lalap bukaan puasa yang telah disediakan.





inilah yang dapat kami berikan sebagai tanda terimakasih kami tuk radio suara medan fm, karena telah menduniakan kami.

m taufik pradana
mengudara dari sebuah toko dibulan penuh berkah
16.03 wib tepat tanggal 21 agustus 2011

BERBURU (berbuka bareng seru pocari sweat).




beri uplaus buat para perwakilan komunitas di gathering film di pendopo usu kemarin (20/8). kalaborasi antara opique pictures, rufi commuity dan new magacine menunjukan buah karya kreatif sebagai komunitas film perwakilan kota medan mengisi stand di acara BERBURU (berbuka bareng seru pocari sweat).

selain pemutaran film buah karya dari 3 komunitas tersebut, juga diramaikan oleh film-film dari komunitas lain, diantanya adalah : kofamzah pictures, komfaz production, u-matic studio, me&art, avindi, dan banyak lagi lainnya.

dari komunitas opique pictures 5 orang pilihan menjadi panitia dalam kegiatan tersebut terdiri dari echo dery, hary hidayat, ardy, adit dan di kordinir oleh teman kita bernama sofyan effendy. dala kegiatan seperti ini sering terjadi kesimpang siuran informasi bahkan sesekali kelihatan kecemburuan sosial didalamnya namun apabila kordinasi itu baik maka akan berjalan lancar.

malam sebelum acara digelar padahal rapat kordinasi telah dibentuk agar semua berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, hanya saja ntah apayang menghambat itu semua sehingga jam ngumpul dilokasi acara yang dijanjikan jam 10 pagi eh kok malah molor begitu jauh. untung saja semua itu dapat berjalan dengan kematangan karena telah banyak pengalaman dari lapangan sebelum-sebelumnya. dan ini semua karena sebahagian anggota tidak menggunakan metode menunggu melainkan mengerjakan apa yang dapat dikerjakan. luar biasa memang tuk sebahagian orang yang hadir tepat waktu.



saat matahari enggan menunjukan jati dirinya, para komunitas yang dipercaya seakan saling menjauhkan diri, bukan saling teduh dibawah tenda sederhana itu, apa karena terlalu senpit atau karena terlalu panas ruangan itu. entah lah apa penyebabnya. namun salah seorang anggota komunitas film bermata sipi berkata penuh heran "kenapa kita duduknya saling berjauhan ya? kayak bergep-gep gitu?" dengan penuh herannya dirinya melontarkan kata-kata.



apabila dari awal kita telah saling bahu membahu dan saling kordinasi sesuai dengan apa yang kita bahas dimalam sebelumnya maka yang terjadi dilapangan akan menunjukan hasil yang lebih dari apa yang kita harapkan bersama. jika kita kaji lebih dalam mamang sangat kontras perbedaan dari 3 komunitas tersebut, apakan itu yang membuat kita semua seakan tidak nyaman. acara begitu sederhana saja kita tidak merapatkan bahu bersama gimana kalau kita gelar acara yang wah nantinya?

apa yang kita dapat kemarin merupakan langkah dan pengalaman kita tuk semangkin matang lagi kedepannya, terpublishnya tulisan ini bukan untuk saling menjatuhkan apalagi menjelekkan komunitas kita. melainkan bahan renungan kita agar lebih baik lagi tuk kedepannya.

M Taufik pradana
Mengudara dari sebuah toko
tepat pukul 15.26 wib tanggal 21 agustus 2011