Senin, 11 Juli 2011

Membangkit Batang Terendam


Juhendri Chaniago

Artikel ini, awalnya adalah refleksi penulis atau catatan kecil dari “Diskusi Hari Film Nasional” yang diadakan pada 2 April 2011 lalu. Diskusi yang digagas KSI Medan bekerjasama dengan Galeri Seni Payung Teduh serta didukung oleh Widy Production ini, tak lain merupakan ungkapan keprihatinan atas kevakuman dunia perfilman di Medan.

Meskipun begitu, semoga diskusi hari film ini, dapat menjadi penawar sedingin bagi insan perfilman kita. Terutama bagi insan perfilman di Medan. Soal bagaimana solusi atas vakumnya dunia perfilman itu tentu semua tergantung kepada insan filmnya.

Satu hal yang kerap jadi pertanyaan, benarkah dunia perfilman Medan mati suri? Dengan kata lain, bukan tanpa sebab kalau pertanyaan ini juga mewacana pada diskusi hari film. Karena toh di setiap kali peringatan hari film pun, wacana ini kerap terdengar sebagai keprihatinan seni dan budaya.

Padahal, walikota Medan konon pernah berjanji akan mendukung dunia perfilman di Medan. Tentu diharapkan dapat menjawab teka-teki mati surinya dunia perfilman kita. Janji tinggallah janji. Janji itu pun belum terealisasi. Terbukti dengan minimnya dukungan pemko terhadap perkembangan perfilman Medan saat ini. Tak heran kalau dalam diskusi, Ketua Forum Komunikasi Insan Film Sumut, H. Amsyal sampai mengatakan, “Film di Medan masih ada tanpa dukungan siapa-siapa”.

Berangkat dari kenyataan ini, H. Amsyal ingin mengajak seluruh insan film Medan bersatu-padu menggairahkan kembali dunia perfilman kota Medan. Hal senada juga pernah disampaikan budayawan Idris Pasaribu, yang dalam diskusi film kali ini bertindak selaku moderator.

Adapun diskusi dihadiri beberapa komunitas film indie di Medan, seperti: RuFi, Umatic, Opique Pictures, Harapan Film dan Krakatau Film. Selain H. Amsyal, empat orang senior perfilman pun lantas didaulat untuk menjadi narasumber. Mereka adalah Shaut Ls Hutabarat (scriptwriter), dr. Daniel Irawan (pengamat dan dokumentator film), Joey Bangun (sutradara dari Aron Art Production) dan Indra Taruna (PARSI).

Lantas, masih mati surikah film Medan? Kalau bicara skala nasional mungkin iya, tetapi secara kreativitas tentu tidak. Meskipun secara sinematografi film-film karya anak Medan masih banyak kekurangannya, seperti yang diungkapkan H. Amsyal yang sering menjadi juri dalam beberapa kali festival film anak.

Mungkin inilah yang membuat para peserta diskusi -terutama dari berbagai komunitas film indie Medan- yang pada hari itu merasa terpanggil dan tercerahkan. Dengan forum diskusi semacam ini setidaknya insan film Medan mempunyai wawasan dan paradigma baru dalam memperjuangkan perfilman Medan, khususnya Sumatera Utara. Pun termasuk dalam agenda untuk mempertahankan Studio Film Sunggal, yang kini statusnya lagi “menggantung”.

Sekadar nostalgia, sejak tahun 1950-an, Medan memang pernah punya kenangan manis dalam dunia perfilman. Beberapa judul film dari Medan bermunculan, memberikan elan bagi dunia perfilman Medan. Sebut saja film Butet (1974), Setulus Hatimu (1974), Buaya Deli (1978), Sorta (1982), Musang Berjanggut (1983), Batas Impian (1986) dan sebagainya.

Bahkan tokoh-tokoh film dari Medan mulai banyak yang diperhitungkan. Seperti Abrar Siregar, Omar Bach, Arizal, M. Yusuf Su'ef Lubis, Yoseano Waas, Barani Nasution, Ibrahim Sinik, Arif Husin “King” Siregar, Abdul Aziz Harahap, A. Rahim Qahar, Bachtiar Siagian, Buhran Piliang, Darwis Rifai Harahap dan tentu masih banyak lainnya.

Ambil contoh Bachtiar Siagian tadi, seorang sutradara film kelahiran Sumatera yang kawakan, telah memproduksi banyak film: Tjorak Dunia (1955), Kabut Desember (1955), Daerah Hilang (1956), Melati Sendja (1956), Turang (1957), Sekedjap Mata (1959), Piso Surit (1960), Notaris Sulami (1961), Badja Membara (1961), Violetta (1962), Kami Bangun Hari Esok (1963), Njanjian Di Lereng Dieng (1964). Bahkan hal yang menggembirakan adalah film Turang pernah memenangkan Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1960 dan Butet di FFI 1975.

Kecuali itu, kota Medan pun pernah menjadi tuan rumah Festival Film Indonesia, yakni semasa Gubsu Marah Halim Harahap (1975) dan Gubsu EWP Tambunan (1983). Semua itu kini hanya tinggal kenangan. Tak ada lagi pejabat daerah kita yang perduli dengan dunia perfilman Medan seperti halnya Marah Halim Harahap dan EWP Tambunan.

Apalagi wacana politik justru makin membuat dunia perfilman di Medan harus termarginalkan, bahkan dikorbankan. Agar bisa tetap eksis pada kreativitasnya, para sineas Medan pun, banyak yang hijrah ke perfilman Jakarta, sebagai ladang film yang menjanjikan. Karena di Medan sendiri, mengutip dr. Daniel, adalah jalan buntu bagi dunia perfilman.

Shaut Ls Hutabarat, yang pernah malang-melintang di dunia perfilman nasional, juga sempat menahan “geram” atas sikap dinas budpar yang menurutnya sama sekali tak memahami persoalan dunia perfilman, khususnya perfilman kota Medan. Dia pun merasa terpanggil demi mengajak insan film Medan untuk bangkit, meskipun tanpa dukungan “siapa-siapa”.

Yang penting, insan film Medan harus tetap satu visi dan jangan pernah berhenti belajar. Bersaing secara sportif adalah perlu, tapi senantiasa mendukung karya anak Medan yang memang berkualitas. Sikap ini tentu harus ditumbuhkan supaya perfilman di Medan bisa maju. Soal pemerintah akan mendukung nantinya, tentu itu lebih baik lagi.

Seperti saran dr. Daniel, pengamat film Medan yang punya koleksi ribuan film itu, tidak usahlah dulu terlalu mengharapkan dukungan pemda. Marilah kita urai jalan buntu perfilman ini dengan semangat belajar. Untuk itu, dr. Daniel menganjurkan insan film Medan harus lebih rajin lagi menonton film. Terutama bagi komunitas film indie yang ada di Medan. Sebab selain sebagai apresiasi, hal ini juga buat mengasah kreativitas anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas film indie itu.

Memang, bagaimanapun tak bisa dipungkiri kalau dunia perfilman Medan seperti berada di bawah bayang-bayang Jakarta. Demikian Joey Bangun, seorang sutradara film yang kini melahirkan “Calon Bupati”, sebuah film yang bertemakan lokalitas Sumatera Utara.

Menurut Joey, insan film Medan harus punya strategi bagaimana “menggerakkan” produser-produser film lokal, sekaligus menghidupkan tivi-tivi lokal yang ada. Lantas membuat film-film dokumenter yang bermutu dan menarik sebagai langkah untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Meskipun alternatif ini masih bersifat spekulasi, tapi setidaknya dapat menjadi ajang kreativitas memecah kebuntuan.
Lain pula halnya kalau Indra Taruna dari PARSI Medan yang angkat bicara. Indra berpendapat persaingan film di Indonesia memang tak sehat. Salah satunya terjadi monopoli dalam industri film.

Baik layar lebar maupun televisi. Padahal dalam hal seni dan budaya, tidak boleh ada monopoli. Oleh sebab itu, Indra menawarkan, perlu ada draft perfilman daerah. Lantas buatlah gebrakan dengan mengajukan film-film karya anak Medan untuk diputarkan di stasiun-stasiun tivi nasional.

Mengutip data yang ada, Medan justru menyumbang pajak perfilman paling besar, sekitar 30 %. Kalau tidak, kata Indra dengan penuh semangat, kita boikot saja nonton tivi-tivi swasta! Intinya, apakah orang Medan hanya mau menjadi konsumen film semata?

Barangkali hal ini pulalah yang hendak “dikatakan” oleh beberapa peserta diskusi dari beberapa komunitas film indie. Tak beda jauh dari beberapa lontaran pertanyaan yang sempat ditanyakan Aden (RuFi), Galung (Umatic), Onet dan Butet kepada kelima narasumber tadi.

Sejatinya, perlu banyak pihak untuk memajukan perfilman kota Medan. Termasuk dukungan dari pers Medan dalam mengampanyekan film-film karya anak Medan. Yakni sebagai apresiasi atas kreativitas komunitas film anak Medan, yang menurut catatan H. Amsyal ada sekitar 30-an komunitas film indie di Medan. Kalkulasi ini boleh jadi lebih besar lagi. Seperti yang diungkapkan Galung, yang justru memprediksi komunitas film indie sekitar 60-an.

Pada akhirnya, diskusi ini seakan ingin menyimpulkan sebuah tekad, bahwa dunia perfilman Medan harus bangkit. Apalagi mengacu kepada UU No.33 tahun 2009 tentang Perfilman, sudah selayaknyalah kota Medan memiliki lembaga kursus perfilman, seperti di masa-masa yang lalu. Katakanlah semacam Institut Kesenian Jakarta atau Pusat Perfilman H. Usmar Ismail.

Adanya kursus film ini tentu sangat berarti demi proses pembelajaran bagi insan perfilman di Medan. Untuk menjawab apa yang dikatakan sineas Shaut tadi, insan film Medan jangan pernah berhenti belajar. Agar kreativitas lebih mantap lagi. Artinya, selama ini bukan tidak ada film-film karya anak Medan. Bahkan ada yang memenangi festival film seperti “Badai” dan “Pantang Di Jaring Halus” karya Onny Krisnawan, atau “Cinta Sebatas Jemuran” karya Jufri Bulian Ababil.

Hanya saja, masih banyak film karya anak Medan lainnya yang justru mutunya tidak mengalami perkembangan, sehingga terkesan, sakin gampangnya membuat film -apalagi di era serba digital saat ini- soal kualitas pun jarang diperhatikan. Kalau boleh membahasakan apa yang pernah dikuatirkan Garin Nugroho (2001), demokratisasi teknologi agaknya telah melahirkan sikap menggampangkan dalam penciptaan, hingga melahirkan karya, tapi tanpa proses budaya.

Boleh jadi ini jugalah salah satu kelemahan dunia perfilman kita, khususnya di Medan. Kemauan insan film Medan untuk selalu berkreativitas juga patut disyukuri. Tinggal bagaimana mengasah kemampuan insan film. Kelak, di masa mendatang, dengan visi dan semangat dalam kebersamaan, tentulah kemajuan perfilman di Medan (Sumatera Utara) bukanlah hal yang mustahil.
Tahniah Film Indonesia, maju terus perfilman Medan! KSI Medan, 2011