Rabu, 18 Januari 2012

Haruskah Restu Orang Tua diperlukan?

25 tahun yang lalu,
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.
Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya
kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali
hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami
selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan
istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku
masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau
hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat
abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana,
ingin hidup bahagia.
22 tahun yang lalu,
pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya
makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku
sudah punya momongan. Seorang putri, kunamai ia
Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan
sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia
tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena
ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk
kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa
terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania
tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak
untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya
yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.
19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang
berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja
ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak
“Horeee, Iya bisa terbang”. Begitulah dia memanggil
namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah
seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak
jarang berteriak, “Iya sayaaang,” jika sudah terdengar
suara “Prang”. Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas
bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin
rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat
tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya
terpental. Dan dia cuma bilang “Kenapa semua kaca di
rumah ini selalu pecah, Ma?”
18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih
awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu.
Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania
tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy
apalagi jadi pemain bola seperti yang sering
diucapkannya. “Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi
pemain bola!” tapi aku tidak suka dia menangis terus
minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling
tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan
seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan
waktu kutunjukkan bola itu. “Horee, Iya jadi pemain
bola.”
17 Tahun yang lalu
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di
jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut,
Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu
bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan
bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari
sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah.
Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang
jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah
jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku
mengalahkan kehati-hatianku dan “Iyaaaa”. Sebuah truk
pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya
berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua
kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini.
Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki,
bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar
barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat
Kania menangis sedih, bibir cuma berkata “Coba kalau
kamu tak belikan ia bola!”
15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang
pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan
menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh
dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa
membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit
kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa
dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa
waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin
penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan
Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetap
pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi
ke Malaysia.
13 tahun yang lalu,
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku
sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu
tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang
untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia
loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala
keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan
sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan
yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris,
menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh
remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi
keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi
aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila
hidup tegar.
10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.
Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu
sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan
hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.
“Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.” Mungkin itu
kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang
sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga.
“Sabar ya, Nak!” hiburku.
“Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!”
pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan
bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam
hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari
kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu
sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia
tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena
sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.
7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania,
istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah
bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin
bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan
rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut.
Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke
Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang
cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena
alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku
mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia
berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung
untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku
kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti
waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk
menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku
baik-baik saja.
4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir
tiga tahun dia di sana. Dia bekerja sebagai seorang
pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak
suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya
tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka
perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang
keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena
akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini
dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari
suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu
menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku
jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang
baik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu
memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan
Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat
hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih
pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.
3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian
pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan
dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh
suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku
menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut
tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus
membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia
untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun
aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga
tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa
memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia
memang bersalah.
2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti
bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantung
sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain
menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi
apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak
belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku
kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku.
Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke
Malaysia. Anakku ingin aku ada di sisinya disaat
terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya
sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa
daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan
pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku
erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
Bapak, Iya Takut!” aku memeluknya lebih erat lagi.
Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya.
“Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?”
“Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya
tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan
dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak
salah kan, Pak!” Aku perih mendengar itu. Aku iba
dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja.
Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu
menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki
itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk
memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia
tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam
bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.
2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu
akan hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika
dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak
ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari
hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak
anakku. Dan ‘blass” Kamilaku kini tergantung. Aku tak
bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah
anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kaki
menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya
dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan
dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat
garis wajah yang kukenal.
“Kania?”
“Mas Har, kau … !”
“Kau … kau bunuh anakmu sendiri, Kania!”
“Iya? Dia..dia . Iya?” serunya getir menunjuk jenazah
anakku.
“Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola
jika sudah besar.”
Tidak … tidaaak … ” Kania berlari ke arah jenazah anakku.
Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris.
Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan
secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia
diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya “Terima
kasih Mama.” Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila
sudah tahu wanita itu ibunya.
Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih
istriku. Yang aku tahu, aku belum pernah
menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati
bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan
anakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan
jenazahnya padaku, dia sering berteriak, “Iya
kali ini yang pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua
kita memang benar, tak seharusnya kita menikah. Agar
tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah
begitu Iya sayang?

sumber : http://blog.jagowisata.com/