Senin, 18 November 2013

sejarah lahirnya komunitas film di Indonesia

Belakangan ini, pergerakan komunitas film yang telah menyusup hingga ke pelosok Indonesia makin terasa kuat dan tak terpatahkan. Apabila rajin mengamati berita lewat milis perfilman, beberapa bulan sekali kita akan menerima e-mail yang bertajuk ‘calling for submission’ karya-karya film Indonesia. Beberapa ajang mengkhususkan pemutaran mereka pada film-film pendek, beberapa pada karya dokumenter. Belum lagi ruang-ruang alternatif yang dengan sukarela (dan tak jarang heroik) menyediakan tempat mereka secara gratis bagi para filmmaker muda yang ingin memutar karya mereka dan membuka forum diskusi dengan para penonton secara langsung.
Festival film bergulir, ruang-ruang alternatif semakin gencar menjaring komunitas pembuat film (bahkan merekrut mereka dalam satu atap), dan para pembuat film yang kadang hanya bermodal kenekatan, video kamera, dan komputer sebagai alat editing pun semakin berani memproduksi film. Dalam penilaian sebuah karya, mutu film-film tersebut memang kadang tidak memenuhi standar kriteria sebuah film yang baik dan benar, namun bukankah segalanya bermula dari impian dan semangat untuk mewujudkannya?
Apa yang membuat semangat para pembuat film dan komunitas ini tiba-tiba berkobar kembali? Apabila kita runut dari perkembangannya sejak awal, komunitas film independen dapat dikatakan pertama kali muncul tidak lama setelah Indonesia memiliki institusi pendidikan filmnya yang pertama di tahun 1970. Ketika itu Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Lomba Film Mini yang diikuti secara antusias oleh seniman di luar film maupun para maha-siswa sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kini IKJ). Karya-karya yang masuk beragam, namun mayoritas bernuansa ‘amatiran’ (saat itu hampir semua karya meng-gunakan media film 8mm yang harganya terjangkau). Semangat lomba tersebut menular pada sebagian mahasiswa sinematografi LPKJ, yang kemudian melahirkan sebuah gerakan bernama “Sinema Delapan”, di mana semua film yang dihasilkan harus menggunakan media film 8mm. Semangat ini, terutama, lahir sebagai gerakan penentangan terhadap kemapanan industri film Indonesia yang ketika itu mengalami perkembangan luar biasa di mana 125 film dilahirkan dalam satu tahunnya. Namun karena kurangnya dukungan, Sinema Delapan hanya bisa bertahan satu tahun.
Setelah satu dekade vakum tanpa adanya pergerakan yang berarti, muncullah Forum Film Pendek (FFP) di tahun 1980an. Pendiri dan anggota yang berasal dari macam-macam latar belakang membuat gerakan ini lebih terasa signifikan. FFP menciptakan isu nasional dan memutar film hingga ke Medan, Lombok, Bali. FFP juga tercatat sebagai komunitas yang pertama kali memformulasikan film pendek sebagai film alternatif dan independen. Semenjak kelahiran FFP yang salah satu misinya adalah memperkenalkan film sebagai karya seni hingga ke luar negeri, film-film pendek Indonesia mulai dikirim untuk mengikuti ajang festival film mancanegara. Hal ini tentu saja memberi semangat lebih kepada para pembuat film muda untuk berkarya, walau kebanyakan dari mereka masih berlatar belakang pendidikan sinematografi. Salah satu prestasi awal yang dicapai film pendek Indonesia adalah ketika film pendek Gotot Prakosa diundang untuk diputar di Oberhausen Film Festival, Jerman, sebuah festival film pendek tertua dan paling bergengsi di dunia.
Walau komunitas film di dekade 80 dan awal 90-an tidak sebanyak sekarang, namun dengan keterbukaan peluang untuk berkarya, gerakan-gerakan yang sifatnya lebih individual dan tertutup mulai berkembang di Indonesia, terutama di Jakarta. Pembicaraan dan wacana film mulai beredar tidak hanya di kalangan akademisi dan penggiat film, tetapi juga praktisi seni visual dan penikmat budaya pop. Hal ini muncul sejalan dengan masuknya program MTV di layar kaca. Antusiasme para produser dan pemusik yang berlomba untuk mempopulerkan lagu-lagu mereka lewat video musik (di Indonesia lebih popular dengan sebutan video klip) membuat sebuah industri baru dalam dunia gambar bergerak Indonesia.
Walaupun hakikat video musik di Indonesia terkadang tidak lebih sebagai alat promosi dan seringkali dinilai dari segi estetisnya belaka, industri ini membuat anak-anak muda mulai terjun ke dunia tersebut, selain aktif di film iklan dan produksi acara TV. Semangat anak-anak muda ini adalah angin segar, terutama di kala perfilman Indonesia sedang berada dalam titik terendahnya di mana 95% film Indonesia yang diproduksi antara 1994-1998 adalah film khusus dewasa alias esek-esek.
Tahun 1997 menjadi tahun penting bagi perubahan film Indonesia yang mati suri (bukan mati produksi, tapi mati kualitas!). Di tahun ini Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan jargon tenarnya, yaitu Sinema Gerilya. Dalam tulisannya SGA mengatakan bahwa “jika ingin ada orang menonton film Indonesia, masyarakat penonton itu harus diciptakan dulu” dan “kebangkitan perfilman Indonesia akan sangat bergantung pada karya pribadi yang kuat.” Buah pikiran Seno Gumira ini lahir hampir bersamaan dengan produksi film panjang independen pertama Indonesia, Kuldesak, sebuah film gabungan dari empat cerita/film pendek yang dilahirkan oleh semangat muda-mudi penggiat film Indonesia atas nama gerakan Sinema Independen. Mereka adalah Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Achnas, Shanty Harmayn, Rizal Mantovani (keempat na-ma yang disebutkan di awal kini menggawangi produksi film berkualitas Indonesia). Film yang didanai sendiri oleh keempat sutradaranya ini menggunakan teknologi digital (video) dan mengusung cerita yang tidak biasa pada saat itu: potret kegelisahan anak muda melalui kacamata anak muda itu sendiri.
Film Kuldesak, dengan gebrakan tema, budget produksi dan medium yang digunakannya, bersama dengan “Sinema Gerilya” SGA, tidak bisa dipungkiri memulai babak baru dalam sinema independen Indonesia. Bermula dari itu, perlahan-lahan tumbuh komunitas film di Indonesia, sebagian memfokuskan diri hanya pada apresiasi, sebagian lainnya langsung terjun ke dunia praktek dengan memproduksi film-film pendek, dokumenter, maupun feature film. Di tahun 2000 saja tercatat 6 film feature independen yang semuanya diproduksi dalam medium digital: Beth/Aria Kusumadewa, Bintang Jatuh/Rudi Soedjarwo, Jakarta Project/Indra Yudhistira, Pachinko & Everyone’s Happy/Harry Suharyadi, Tragedi/Rudi Soedjarwo, Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta/Enison Sinaro.
Runtuhnya orde baru yang mencapai puncaknya di tahun 1998 membawa kemerdekaan bagi banyak anak muda untuk lepas dari doktrin ’silence is golden’. Darah-darah muda (dengan gelora barunya) meneriakkan kata-kata ‘independen!’ pada saat yang bersamaan, hampir pada semua jenis bidang kreatifitas. Keadaan ekstatik yang awalnya bersifat individualistis ini perlahan memijakkan diri dengan membentuk institusi-institusi informal (atau komunitas) yang bermula di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta.
Berbagai elemen secara tidak langsung namun simultan mendukung perkembangan sinema independen Indonesia saat itu (dan terus berlangsung hingga kini):
1. Kemudahan dan semakin terjangkaunya pembuatan film dengan teknologi digital (kamera video digital dan non-linear editing di komputer).
2. Hadirnya Festival Film dan Video Independen Indonesia (kini menjadi Festival Film Pendek Indonesia, yang kemudian menginspirasi festival-festival film independen lokal lain-nya) dan Jakarta International Film Festival sebagai festival film internasional di tahun 1999, menghadirkan referensi dan semangat baru bagi para pembuat maupun penikmat film.
3. Meluasnya jaringan internet yang membuka cakrawala pendidikan non-formal secara general, khususnya perfilman.
4. VCD dan DVD bajakan (bagaimanapun tidak dapat dilegitimasikan), ‘membunuh’ tradisi menonton bioskop masyarakat Indonesia, namun juga membantu membuka wacana baru bagi para pembuat film muda dengan referensi-referensi film internasionalnya.
Faktor pendukung di atas melahirkan ruang-ruang alternatif yang tidak hanya dikelola di bawah naungan individu/organisasi non-formal, tetapi juga pusat-pusat kebudayaan, kampus-kampus. Lahirnya karya-karya film independen Indonesia dengan sendirinya memaksa ‘keran-keran’ kebudayaan ini untuk membuka diri dan mendukung perkembangan jaman, yaitu jaman para generasi X dan Y (yang terkenal dengan kecuekkan, kecerdikan, kemandirian, dan tentu-nya, kegilaan pada teknologi). Saat ini, tidak kurang dari 80 komunitas film di kota besar dan pelosok Indonesia menjalankan kegiatannya secara mandiri dengan mengadakan pemutaran film dan diskusi secara reguler, produksi film, bahkan beberapa mulai berani memposisikan institusi mereka sebagai distributor film. (Untuk lebih jelas, lihat daftar ‘Data Komunitas Film Indonesia’, di website http://www.datakomunitas.wordpress.com dan baru-baru ini berganti nama menjadi http://www.filmalternatif.org).
Hampir seluruh komunitas film di Indonesia tidak menggantungkan diri mereka pada dana dari funding, terlebih pemerintah. Rasa-rasanya agak sulit untuk mengharapkan dukungan dari pemerintah, mengingat film nasional (baca: film Indonesia arus utama) pun masih dilirik setengah mata oleh para petinggi tersebut. Namun hal ini justru mengakibatkan perasaan senasib sepenanggungan yang kuat di antara para penggiat komunitas film di Indonesia. Masing-masing sadar betul bahwa daya jangkau mereka akan semakin lebar dengan adanya sinergi yang matang satu sama lain. Seperti contoh, komunitas Minikino yang berbasis di Denpasar, mengadakan acara monthly screening mereka di lima tempat di bawah naungan komunitas-komunitas film lokal Bandung, Jakarta, dan Denpasar. Bahkan beberapa komunitas film (Kineruku/Bandung, Kinoki/Yogyakarta, Arisan Film Forum/Purwokerto) kini bergabung untuk menerbitkan jurnal kajian film empat bulanan yang akan didistribusikan di sebanyak mungkin titik di seluruh Indonesia. Keinginan ini tidak terlepas dari keinginan masing-masing komunitas untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman (teknis maupun apresiatif), serta menciptakan masyarakat penonton yang kritis dan apresiatif.
Perlahan, rupanya impian Seno Gumira Ajidarma atas terciptanya kembali ‘penonton film Indonesia’ mulai terwujud, dan gerakan-gerakan masif yang sifatnya apresiatif tersebut ironisnya justru bermekaran dari komunitas-komunitas film yang senantiasa bergerak di bawah radar.

sumber :http://asiaaudiovisualrb09oktyas.wordpress.com/sejarah-lahirnya-komunitas-film-di-indonesia/

sejarah fim pendek di Indonesia

I. Latar Belakang

Film pendek sebagai sebuah “gerakan” telah lama dimulai semenjak tahun 70an. Mahasiswa sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta? Jurusan sinematografi sendiri dibuka tahun 1971) yang kini dikenal sebagai IKJ (Institut Kesenian Jakarta) membuat apa yang mereka sebut sebagai Sinema 8, sebuah grup yang menggunakan kamera 8mm untuk membuat karya “film mini” tepat setelah Festival Film Mini tahun 1973 di Jakarta.

Sebagai sebuah gerakan “baru” yang me”nasional” pada saat itu, Sinema 8 hadir sebagai sebuah manifesto anak muda pada jamannya untuk bekarya secara bebas dan mandiri (dengan peralatan seadanya). Pada jaman itu, kamera 8mm adalah medium yang paling dekat dekat masyarakat (home use), tentu pada kelas masyarakat menengah keatas.

Wacana perlawanan terhadap kemapanan industri pun telah lahir bersamaan dengan lahirnya “gerakan baru” ini. Sesuatu hal yang sampai saat ini masih kita perdebatkan; apakah benar ada apa yang disebut sebagai “industri film” di Indonesia? Pada saat itu, semangat perlawanan yang diberikan oleh kelompok muda ini mengacu pada persoalan kuasa ruang karya (dan berkarya) yang juga tampaknya masih menjadi persoalan utama di Indonesia pada saat ini.

Keresahan para pelakunya atas komersialisasi karya film dan film sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salahsatu isu utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film pendek sendiri telah dikenal sebagian masyarakat Indonesia jauh sebelumnya melalui film-film “Gelora Pembangunan” pada era pemerintahan Sukarno. Film-film tersebut diputarkan di kampung-kampung atau bioskop sebelum film utama diputar. Pun ini berlanjut pada era pemerintahan Suharto yang memiliki program pemutaran film melalui Departemen Penerangan dengan misi memutarkan film-film (yang kebanyakan film pendek) propaganda pemerintah dengan ideologi pembangunannya.

Pada masa-masa inilah lahir dengan subur karya-karya film eksperimental. Nama-nama seperti Gotot Prakorasa, Henri Darmawan, Hadi Purnomo, muncul sebagai penggerak dikalangannya. Juga keterlibatan seniman seperti Sardono W. Kusumo dari seni tari menambah khasanah film eksperimental pada saat itu dengan kolaborasi personalnya menggunakan medium 8mm. Sebelumnya nama D.A. Peransi juga telah dikenal lebih dulu sebagai seseorang yang aktif mengenalkan pendekatan baru dalam pembuatan film dokumenter di Indonesia.

Pada tahun 1982 muncullah Forum Film Pendek yang digagas setelah kepulangan delegasi Indonesia, Gotot Prakorsa, dari festival di Oberhausen. Forum ini mencoba untuk meneruskan gagasan Sinema 8 sebagai sebuah gerakan film di Indonesia. Pada tahun itu tercatat bahwa teknologi video mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Pada tahun 1985 melalui acara Pekan Sinema Alternatif yang diselenggarakan di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki 12-16 November 1985, disebutkan sebagai salahsatu program acara adalah Pameran Sinema Elektronik. Pameran sinema elektronik adalah sebuah respon atas fenomena baru teknologi video yang masuk ke Indonesia.

Video adalah fenomena baru saat itu. Namun seperti halnya 8mm, penggunaan medium video masih pada seputar kalangan masyarakat menengah keatas. Perguliran wacana video art sebagai sesuatu yang baru di Indonesia mendapatkan respon yang baik namun masih pada sebatas sebuah respon atas teknologi yang sophisticated. Dalam program pameran sinema elektronik pada pekan sinema alternatif tersebut diputarkan beberapa karya video art dari Jerman dan Amerika Serikat.
Pada acara tersebut juga diselenggarakan acara diskusi mengenai sinema alternatif, dimana kisaran pedebatan yang dipersoalkan adalah mengenai definisi dari alternatif itu sendiri mengacu pada konteks jaman itu, hegemoni pembuat film senior yang telah lebih dulu berada di industri film(?) Indonesia.

Cakupan wilayah wacana ini berputar pada kota-kota besar di Indonesia tetap dengan sentrum di Jakarta. IKJ bisa dibilang sebagai penggerak utama dari perjalanan wacana ini. Masyarakat Indonesia sedikit-banyak telah akrab dengan medium seluloid (8, 16, dan 32 mm) dan video (analog), namun penggunaannya sebagai media seni berputar pada kelas eksklusif; menengah atas.

INSERT
Sampai dengan tahun 1988, saluran TV Indonesia hanya berisikan 1 channel yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI), merupakan saluran TV pemerintah yang hampir kesemuanya berisikan berita atau program propaganda pemerintah yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Pada tahun 1989, untuk pertamakalinya saluran TV swasta dibuka untuk publik, yaitu Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Sejak saat itu muncul staisun-stasiun TV lainnya, hingga saat ini berjumlah 9 buah saluran TV swasta dengan skala pancar nasional serta beberapa stasiun TV lokal.
Program-program tayangan televisi swasta membawa banyak perubahan pada kultur visual masyarakat Indonesia. Program Sinema Elektronik (Sinetron), merupakan program unggulan dari semua stasiun TV swasta yang ada. Sinetron ada drama televisi yang banyak diadaptasi dari drama televisi Amerika Latin dan India, dengan gaya penceritaan yang verbal dan stereotip cerita mengenai si kaya dengan si miskin – si jahat dengan si baik.

Pada pemerintahan Suharto, kekuatan ekonomi serta politik dipusatkan di Jakarta (hingga saat ini). Distribusi informasi serta teknologi (serta komponen lainnya) tidak hadir secara merata di Indonesia. Bioskop boleh dibilang hanya dihadiri oleh kalangan masyarakat yang mampu. Pun wacana film pendek, sinema alternatif, atau video art kemudian hanya berputar pada lingkaran kecil dan terbatas. Dia tidak pernah benar-benar meng-Indonesia. Film secara keseluruhan atau film eksperimental dan video art secara spesifik direspon dan digagas oleh kalangan terbatas ini. Nama Krisna Murti sebagai salahsatu pionir video art di Indonesia yang sampai saat ini masih aktif berkarya dengan video adalah satu peninggalan dari sejarah tersebut.

Pemerintahan yang militeristik dan sentralistik ini secara langsung berakibat pada pola pendidikan satu arah. Semua dalam kendali pemerintah yang salahsatunya dilakukan oleh Departemen Penerangan mengontrol arus informasi yang terjadi dimasyarakat. Pada saat yang bersamaan, bentuk kolonialisasi baru terjadi diseluruh dunia. Indonesia sebagai apa yang kita sebut sebagai “dunia ketiga”, mengalami krisis identitas baru. Sebagai Negara yang memiliki potensi menjadi blok komunis (terutama setelah krisis politik 1965), pemerintahan Suharto mendapat dukungan penuh dari USA. Salahsatu bentuk program yang diaplikasikan ke masyarakat adalah program brainwashed melalui pemutaran film dari desa ke desa. Film-film yang diputar adalah film-film dengan tema pembangunan. Penggambaran epos kepahlawanan tokoh pembangunan (ekonomi), masuk ke desa, mengajarkan masyarakat lokal (dan tertinggal), modernisasi, dan doktrinasi pemahaman mengenai “barat” sebagai kawan yang baik. film pembangunan, adalah sebutan bagi jenis film tersebut.

Pada tahun 1995, krisis politik dan ekonomi mulai terlihat gejalanya di Indonesia dan memuncak pada tahun 1997 ketika krisis ekonomi terjadi hampir diseluruh asia tenggara. Krisis ekonomi yang kemudian berlanjut pada krisis politik ini menyebabkan sebuah jurang sejarah. Represi yang dilakukan oleh pemerintahan Suharto membawa dampak yang dahsyat pada perubahan struktur sosial di masyarakat Indonesia. Pada saat yang bersamaan, gerakan politik kaum muda mulai meletup diberbagai daerah di Indonesia. Wilayah seni secara keseluruhan terfokus pada persoalan krisis politik dan ekonomi yang terjadi.

Pada rentang tahun 1995-97, represi yang dilakukan pemerintahan Suharto terjadi diberbagai lini masyarakat Indonesia, tidak terkecuali seni. Pembredelan media massa yang dianggap melawan pemerintah, kelompok masyarakat yang dianggap radikal, ataupun kesenian yang dianggap subversif. Tekanan ini menyebabkan sebuah keterputusan sejarah, membuat generasi baru yang disebut sebagai generasi yang hilang (dari sejarah). Tahun 1998, Suharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden R.I. atas tekanan kelompok mahasiswa dan elit politik yang melakukan manuver melawan rezim Suharto. Era yang kita kenal sebagai era reformasi Indonesia.

Hal ini memunculkan euforia kebebasan berekspresi masyarakat, media-media yang tadinya dibungkam karena dianggap subversif kembali dilahirkan dan bentuk-bentuk kesenian yang tadinya dilarang, kini mulai ditampilkan kembali. Dan disaat bersamaan, diseluruh dunia mengalami sebuah euforia baru; revolusi teknologi informasi dan digital.

Indonesia mulai mengenal internet dalam skala yang kecil pada awal tahun 1990 dan terus berkembang secara signifikan penggunaannya. Revolusi komunikasi ini membawa satu perubahan besar dimasyarakat. Informasi-informasi yang tadinya tersembunyi, kini muncul kepermukaan dan relatif mudah diakses. Arus pertukaran informasi semakin cepat dan membentuk satu jaringan komunikasi yang kuat.

Pada tahun 1998, sekelompok sutradara muda membuat sebuah manifestasi Sinema Independen dengan memproduksi sebuah film berjudul Kuldesak, yang diproduksi dan diedarkan secara mandiri. Tahun 1999 sekelompok anak muda di Jakarta membuat sebuah festival yang bernama Festival Film Video Independen Indonesia (FFVII) dalam skala nasional. Setelahnya mereka membentuk Yayasan Konfiden (www.konfiden.or.id) yang melanjutkan festival mereka pada tahun 2000, 2001, dan 2002. Terhenti untuk 3 tahun (2003-2005), pada tahun 2006 mereka melanjutkan kembali festival tersebut dengan nama Festival Film Pendek Konfiden.

Wacana ini merebak keberbagai kota di Indonesia, setidaknya di pulau Jawa. Arus komunikasi yang semakin lancar melalui jaringan internet semakin mempermudah penyebarluasannya.Mailing list menjadi portal pertukaran informasi utama. Apa yang dilakukan Konfiden dengan festivalnya juga terjadi di kota – kota seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Purwokerto, dan kota lainnya. Berbagai acara film baik dalam skala lokal maupun nasional mulai bermunculan.
Pada momen itu muncul idiom baru; “membuat film itu mudah”, sebagai sebuah wacana tawaran bagi kaum muda untuk membuka kembali ruang kreatifnya. Hal ini didukung oleh masuknya teknologi video digital yang merubah banyak hal. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sampai dengan pertengahan 90an, teknologi video analog adalah format umum yang dipakai. Teknologi analog relatif lebih mahal dibanding digital video yang tidak mensyaratkan peralatan yang rumit atau skill pengetahuan khusus untuk mempelajarinya dan menggunakannya. Disaat yang bersamaan, teknologi komputer rakitan dan piranti lunak bajakan merajai pasar teknologi di Indonesia. Amat mudah untuk mendapatkan piranti lunak semacam Adobe Premiere seharga 25 ribu Rupiah.

Sampai saat ini, PC adalah jenis komputer yang paling umum digunakan oleh masyarakat Indonesia. Diduga, 80% komputer yang ada dipasaran adalah hasil rakitan sendiri dengan 100% piranti lunak bajakan. Perkembangan teknologi digital video yang bersandingan langsung dengan perkembangan teknologi komputer rakitan dengan piranti lunak bajakan merupakan satu momen penting dalam wacana film & video di Indonesia. Pada faktanya, dukungan teknologi inilah yang memberikan kesempatan luas pada para penggiat film, khususnya dari kalangan anak muda, untuk mempelajari secara intens teknis serta artistik pembuatan karya film dengan medium video.

Komputer rakitan semakin hari semakin relatif terjangkau harganya. Begitupula dengan kamera handycam dalam bentuk yang paling sederhana. Komponen-komponen inilah yang mendukung satu perubahan baru dalam konteks film dan video di Indonesia. Banyak workshop film dilakukan diberbagai kota di Indonesia dengan partisipan mayoritas berasal dari anak muda (setingkat SMP sampai dengan kuliah). Kine klub diberbagai universitas kembali diaktifkan, juga menjamurnya komunitas-komunitas film yang kebanyakan digerakkan oleh mahasiswa.

Tahun 1999 sampai dengan 2004 boleh dibilang sebagai tahun keemasan bagi film pendek Indonesia. Tumbuh kembangnya berbagai komunitas film serta kine klub turut menyumbangkan gairah wacana film pendek atau film Indonesia secara keseluruhan. Terlebih ketika sebuah stasiun TV swasta, Surya Cipta Televisi (SCTV) pada tahun 2003 mengadakan Festival Film Independen Indonesia (FFII). Dengan kekuatannya sebagai sebuah media massa yang massif, SCTV berhasil menjaring karya sebanyak 1047 karya untuk megikuti FFII 2003. Hal ini pula yang turut memancing semakin banyak munculnya komunitas-komunitas film di Indonesia secara signifikan.

INSERT
Festival yang diadakan oleh SCTV kemudian juga diikuti oleh beberapa stasiun tv Indonesia lainnya; Global TV (tahun 2005) dan MetroTV (kompetisi film dokumenter bernama Eagle Award. Dimulai pada tahun 2005 hingga saat ini).

SCTV hanya dua kali mengadakan FFII, sampai dengan tahun 2004 dengan alasan sedikitnya sponsor yang mendukung festival tersebut. Namun dampak dari festival tersebut masih cukup terasa hingga kini. Televisi swasta dengan kepentingan dagangnya memanfaatkan momen yang mereka anggap potensial untuk dijadikan pasar baru dengan segmen utama anak muda. Seperti halnya yang terjadi pada konteks “industri film baru” di Indonesia. Sejak tahun 1999, mulai bermunculan film-film Indonesia di bioskop. Film Indonesia menemukan kembali pasarnya komunitas film serta kine klub yang mayoritas digerakkan oleh kaum muda adalah pasar yang potensial. Secara signifikan, film-film Indonesia yang diproduksi dari tahun 2000 hingga kini berkisar pada tema-tema cerita anak muda baik dalam bentuk drama, komedi, ataupun horror.

INSERT
Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya ruangrupa (www.ruangrupa.org) mengadakan festival video yang diberi nama OK. Video: Jakarta International Video Art Festival (kini menjadi OK. Video: Jakarta International Video Festival) dengan menawarkan wacana “baru”; karya visual melalui medium video. Sebuah respon atas fenomena penggunaan medium video yang semakin massif di masyarakat Indonesia. Ini adalah festival video 2 tahunan. Tahun 2005, ruangrupa menyelenggarakan OK. Video untuk kedua kalinya dengan tema SUB/VERSION, sebuah tanggapan atas fenomena pembajakan yang terjadi di Indonesia serta persoalan copyright secara luas. Festival ini mendapatkan respon yang cukup luar biasa, baik dari masyarakat Indonesia maupun internasional dan menjadi salahsatu festival penting di Indonesia.

Tahun 2005 adalah tahun klimaks dari pergerakan ini. Semuanya tampak kembali ketitik awal kembali. Ada persoalan mendasar yang dihadapi oleh para penggiat film pendek/alternatif di Indonesia; ketiadaan atau minimnya ruang distribusi serta apresiasi bagi karya-karya mereka. Semenjak awal munculnya wacana ini hinga sekarang, pemutaran film dan distribusi karya dilakukan secara sporadis. Ruang-ruang pemutaran yang biasa digunakan adalah ruang yang bukan khusus digunakan bagi kegiatan tersebut seperti toko buku, ruang pertemuan, dan semacamnya. Distribusi juga dilakukan secara sporadis dengan metode hand by hand.

Situasi ini membuat segalanya seperti berjalan ditempat. Minimnya ruang apresiasi serta kritik juga mengakibatkan pengembangan wacana ini tersendat atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Para penggiat dihadapkan pada pilihan realistis yang harus mereka pilih; terus intens berkarya, atau menjadikannya sekedar hobi semasa sekolah atau kuliah. Membuat film pendek (atau menjadi seniman video) tampaknya memang belum bisa dijadikan sebuah pilihan karir yang mensyaratkan sebuah intensitas.

INSERT
Pada tahun 2002, proyek database komunitas film Indonesia dimulai. Metode pengumpulan data dilakukan secara sederhana, melalui penyebaran informasi mengenai proyek disertai formulir pendaftaran komunitas. Terkumpul 72 komunitas/lembaga yang memiliki program film baik produksi, distribusi, atau apresiasi dari beberapa kota di Indonesia. Data ini kemudian disusun dan diterbitkan dalam bentuk buku saku pada tahun 2003. Proyek ini terus berlanjut hingga saat ini dalam format yang berbeda.

Dari 72 komunitas/lembaga yang dikonfirmasi ulang mengenai validitas datanya, hanya 10 yang memberikan verifikasi. Kesepuluh data tersebut kemudian ditampilkan dalam sebuah weblog http://datakomunitas.wordpress.com. Sejak pemunculan weblog pada tahun 2005, profil/data komunitas dan lembaga tersebut berjumlah 41 komunitas/lembaga. Metode pengempulan data tidak jauh berbeda dengan pertama kali dilakukan, melalui jaringan mailing list film di Indonesia, maupun secara aktif melalui acara-acara film.

Tujuan dari proyek ini adalah membuat data jaringan komunitas/lembaga yang memiliki program film dan video di Indonesia sebagai sebuah akses terbuka bagi publik yang memiliki kebutuhan langsung maupun tidak dengan jaringan ini dan sebagai portal pertukaran informasi. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan lihat di:http://datakomunitas.wordpress.com.

II. Permasalahan
Dari jabaran diatas, satu benang merah yang harus menjadi catatan utama adalah persoalan tidak adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah dalam mengembangkan perfilman Indonesia, baik ditingkat industri maupun komunitas film. Salah satu persoalan besar yang masih dihadapi hingga saat ini adalah ketika keran impor film Hollywood yang berlanjut pada monopoli sistem distribusi mempersempit ruang pengembangan film Indonesia. Namun persoalan persoalan tidak hanya sampai disitu.

Kebijakan budaya yang berkelanjutan pun tak tampak sama sekali hingga hari ini. Bagaimana penyediaan fasilitas infra serta suprastruktur tidak pernah menjadi perhatian utama dalam konteks ini. Tidak ada fasilitas yang memberikan kemudahan bagi penggiat film di Indonesia, bahkan sampai ditingkat birokrasi sekalipun. Apalagi soal pendidikan yang berkelanjutan.

Pendidikan film masih terpusat dan penyebaran informasi tidak pernah benar-benar merata. Persoalan ini langsung menyentuh pada konteks komunitas film di Indonesia, sebagai salahsatu penggiat aktif di perfilman Indonesia. kemudian apa sesungguhnya peran komunitas film dalam konteks ini?
Semangat perubahan jaman yang dibawa oleh angin reformasi di Indonesia membuka sebuah ruang baru untuk membentuk kelompok-kelompok inisiasi dalam berbagai bentuk, dan salah satunya adalah komunitas film. Disaat yang bersamaan, angin perubahan dalam perfilman Indonesia berhembus dan secara signifikan membesar menjadi sebuah gairah baru yang secara kasar kita dapat lihat melalui pertumbuhan jumlah produksi film Indonesia. Kemudian apa peran komunitas film dalam konstelasi besar perfilman Indonesia? Sesungguhnya pertanyaan ini tidaklah sulit untuk dijawab. Semenjak kehadirannya yang tumbuh-kembang dengan pesat, komunitas film yang tersebar diberbagai kota di Indonesia mengambil peran yang sungguh penting; menggulirkan wacana film langsung kepada masyarakat melalui berbagai kegiatannya baik dalam tingkatan filosofis maupun praksisnya.
Posisi serta peran komunitas film bukan sebagai perpanjangan tangan dari industri belaka. Komunitas film bergerak aktif dan dinamis ditengah-tengah masyarakat dengan mengantarkan wacana film yang dikemas melalui program pemutaran, pendidikan, apresiasi, serta kritik, dimana semua kegiatan tersebut amat vital sifatnya dalam pengembangan perfilman di Indonesia itu sendiri. Berbagai kegiatan seputar film yang dilakukan oleh komunitas film secara langsung maupun tidak membuka ruang kesadaran baru di masyarakat akan perubahan itu sendiri. Harus disadari bahwa komunitas film berperan secara signifikan dalam membentuk masyarakat penonton (baru) film Indonesia.
Bila kita ingin melihatnya secara detail, pembentukkan masyarakat penonton (baru) film Indonesia yang dilakukan oleh komunitas film antara lain sebagai berikut;
Pertama, komunitas film sebagai jembatan informasi. Selaku “agen informasi” perfilman Indonesia, komunitas film memberikan kontribusi riil melalui kegiatan pemutaran serta apresiasi film. Ketika akses informasi yang tersendat oleh sistem di Indonesia yang masih sentralistik, komunitas secara aktif mengambil alih peran “agen informasi” dan mengantarkannya langsung kepada masyarakat. Membuka pintu-pintu informasi melalui kegiatannya.

Pemutaran serta apresiasi film yang dilakukan secara baik secara rutin maupun sporadik, masif diadakan diberbagai kota dan umumnya terbuka untuk publik (pun bila ditarik bayaran takkan semahal harga tiket bioskop) disertai oleh diskusi-diskusi terbuka seputar wacana film dan perfilman Indonesia. Belum lagi pemutaran-pemutaran yang dilakukan dalam skala festival berkala dimana jelas melibatkan publik (baik sebagai penonton maupun partisipan aktif) dalam kuantitas yang signifikan. Banyak komunitas yang menerbitkan bulletin, jurnal, dan semacamnya dalam bentuk fotokopian sebagai usaha penyebaran wacana ketengah masyarakat sebagai bagian program kegiatan mereka. .Disini kita dapat melihat secara jelas kontribusi komunitas dalam mewacanakan film serta perfilman Indonesia.

Kedua, komunitas film sebagai agen transformasi pendidikan. Sebagai kelanjutan dari konteks poin pertama, komunitas film melakukan proses transformasi pendidikan yang secara mendasar dimulai dari penyebaran informasi yang dilanjutkan dengan pelatihan-pelatihan baik dalam konteks teknis-produksi maupun studi. Kegiatan-kegiatan workshop yang dilakukan mulai untuk siswa SMU sampai dengan umum, secara mandiri diadakan oleh banyak komunitas.

Ketiga, komunitas film sebagai jejaring distribusi. Dalam berbagai kegiatannya, komunitas-komunitas tersebut juga melakukan kegiatan distribusi. Pemutaran, apresiasi, kritik, serta workshop yang mereka lakukan secara otomatis membawa satu tindakan distribusi yang baik disadari secara langsung maupun tidak. Banyak pula komunitas yang secara sadar menempatkan diri mereka sebagai kelompok distribusi dalam pengertian paling sederhana adalah menyalurkan karya baik dari lokalnya atau pun dari luar.

Dari ketiga poin tersebut sudah cukup kiranya bagi kita untuk melihat pentingnya peran komunitas film. Wilayah kerja yang amat luas dan berat itu tampaknya harus ditanggung oleh mereka sendiri tanpa mendapatkan dukungan maupun perlindungan berarti terhadap mereka. Sampai saat ini bukan cerita yang aneh ketika banyak komunitas harus bersusah payah mengadakan serta mengembangkan kegiatan mereka karena segala sesuatunya harus dilakukan secara mandiri. Komunitas film mayoritas dijalankan oleh anak muda setingkat SMU sampai mahasiswa berhadapan langsung dengan persoalan daya tahan untuk keberlangsungan komunitas mereka tanpa sokongan dari pihak mana pun.

Hal ini menyebabkan sustainability komunitas film amat lemah. Sangat jarang sebuah komunitas dapat terus bertahan, dan fakta memperlihatkan bagaimana banyak komunitas tumbuh sesaat dan kemudian menghilang. Beban berat yang harus mereka tanggung sendiri adalah persoalan mendasar yang harus segera diatasi dan ini membutuhkan sebuah kerja kolektif.

sumber : http://asiaaudiovisualrb09oktyas.wordpress.com/

Urban Art, Seni Yang Menghampiri Publik

Urban art adalah seni yang mencirikan perkembangan kota, dimana perkembangan itu kemudian melahirkan sistem di masyarakat yang secara struktur dan kultur berbeda dengan struktur dan kultur masyarakat pedesaan. Saat ini seni bukan lagi sekedar berlatar belakang tradisi tapi justru lebih merespon tradisi-tradisi baru terutama di daerah perkotaan yang secara demografis dihuni oleh anggota masyarakat yang sangat heterogen.

Urban art lahir karena adanya kerinduan untuk merespon kreativitas masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala problematikanya. Maka munculah usaha dari sekelompok orang untuk memamerkan dan mendatangkan seni ditengah-tengah masyarakat dengan cara melakukan kebebasan berekspresi di ruang publik. Ekspresi yang ditampilkan adalah ekspresi yang mencoba memotret permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi dan mendominasi masyarakat urban mencakup masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melalui media seni dan dilatarbelakangi oleh pertumbuhan dan kapitalisasi kota itu sendiri. Zaman sekarang seni bukan lagi sebuah representasi yang ditampilakan digaleri saja, tapi sebuah media ekspresi yang bertarung di fasilitas publik dengan media lainnya seperti iklan di TV, billboard iklan, poster promosi, baligo dan lain-lain. Semua media ekspresi tersebut mendominasi dihampir setiap fasilitas publik.

Urban art berhasil memangkas hubungan yang berjarak antara publik sebagai apresiator dengan sebuah karya seni. Menggantikan fungsi seni yang tadinya agung, klasik, murni, tinggi serta tradisional. Seni diposisikan sebagai sesuatu yang konservatif dan sarat dengan nilai pengagungan. Urban art berhasil meruntuhkan nilai-nilai tersebut dengan cara menghadirkannya ke tengah publik melalui media-media yang erat dengan keseharian masyarakat kota. Bila menarik elemen lokal dalam urban art, lukisan di bak truk dan becak adalah contoh urban art.

Tujuan urban art lebih berakar pada perbedaan sikap politik, anti kemapanan, vandalisme dan perlawanan terhadap sistem dominan dimasyarakat. Bentuk konkret urban art bisa bermacam-macam sepanjang karya seni itu mengusung spirit dinamika urban. Di kota Bandung kita bisa melihat semua ekspresi semangat urban itu dalam berbagai bentuk. Seperti komunitas musik punk yang kerap menggelar street gigs di bawah jembatan layang Pasupati, seniman tradisi yang rutin menggelar kesenian pencak silat di taman Cikapayang atau juga lukisan-lukisan mural ditiang-tiang jembatan layang Pasupati.

Pada akhirnya urban art berhasil dikomodifikasi oleh komunitasnya sendiri. Bentuk-bentuk kesenian terutama seni mural dan grafiti sekarang terutama di kota Bandung lambat laun berhasil menjadi sesuatu yang mempunyai nilai ekonomis. Banyak para seniman mural dan grafiti yang mengekspresikan ide mereka dengan para pemilik distro atau clothing di Bandung. Para pemilik distro ini memfasilitasi para seniman tersebut dengan menyediakan space/lahan untuk berekspresi. Selain memberikan nilai estetika pada toko, mereka juga ikut memberikan penyaluran terhadap keinginan seniman tersebut untuk berkarya.


sumber : http://bandungcreativecityblog.wordpress.com/

KONDISI PERFILMAN DI INDONESIA

Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan.
  • Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota.
  • Film dicap ‘hiburan rendahan’ orang kota. namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood, lahir film-film perlawanan yang ingin lepas dari wajah seragam Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni.
Dalam pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood ataupun film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga bersitegang. Masing-masing memiliki karakter diversifikasi pasar, festival dan pola pengembangannya sendiri.
Sementara pada proses pertumbuhan film Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan.
FIlm merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film.(1)
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 – 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop.(2)
Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.
Penurunan jumlah film maupun penonton di Indonesia sudah memprihatinkan. Jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 – 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton dan hingga tahun 1992 menurun sekitar 50 persen. Bahkan di Jakarta dari rata-rata 100.000 – 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton tahun 1991. Demikian juga dengan jumlah film, dari rata-rata 75 – 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih daripada 50 % tahun 1993 surat izin produksi yang di keluarkan Deppen RI, sampai bulan Mei baru tercatat 8 buah film nasional untuk diproduksi.(3)
Berikut tabel jumlah produksi film nasional sejak tahun 1987 (4)
1990 1991 1992 1993 1994
115 57 31 27 32
Mengapa mereka menonton film Indonesia ? (5)
Daya tarik utama mereka menonton film Indonesia karena
  • Mengetahui tema, cerita, jenis film seperti terlihat dalam poster dan iklan (60%).
  • Tertarik pada bintang utamanya (26%)
  • Resensi film di surat kabar dan majalah hanya 10 % dan inipun kebanyakan dari yang berusia 20 – 25 tahun.

Penggemar film di Indonesia(6)

Kelompok 1.
Cenderung memilih mutu film sebab menonton film bukan sekedar mencari hiburan tapi menikmati karya seni film dalam arti yang lebih luas.
Kelompok 2.
Cenderung mengikuti arus. Pertimbangan mutu film tetap merupakan referensi bagi mereka.
Kelompok 3.
Tidak terlalu memilih, sekedar mencari hiburan saja.

Penonton Film Indonesia.(7)

Berdasarkan angket penonton tahun 1988 dan 1989 yang dilakukan di Bandung, penonton film Indonesia adalah sebagian besar berusia antara 15 – 35 tahun (90%) dengan tekanan usia pada 20 – 25 tahun (40%), lelaki (57%) dan wanita (43%) yang berpendidikan SMA dan perguruan tinggi sebanyak 42% sedangkan 50% mengaku abstain. Mereka ini mengaku menonton film Indonesia lebih dari sekali selama sebulan (59%) dan ada 12% yang menonton lebih dari 5 kali dalam sebulan.

Latar Budaya Penonton Film Indonesia.

Film Indonesia sekarang ini adalah kelanjutan dari tradisi tontonan rakyat sejak masa tradisional, masa penjajahan sampai masa kemerdekaan ini. Untuk meningkatkan apresiasi penonton film Indonesia adalah menyempurnakan permainan trick-trick serealistis dan sehalus mungkin, seni akting yang lebih sungguh-sungguh, pembenahan struktur cerita, pembenahan setting budaya yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, penyuguhan gambar yang lebih estetis dsb.
Peningkatan mutu filmis dari genre-genre film nasional yang laris sekarang ini dapat meningkatkan daya apresiasi film bermutu di lingkungan penonton urban yang marginal ini, tetapi mungkin juga dapat ditonton oleh golongan penonton yang terpelajar dan intelektual.

Golongan Penonton Film Indonesia yang Lain.

Ketidakadilan produksi film nasional sekarang ini terletak pada pelayanannya yang hanya kepada penonton ‘berbudaya daerah’ semacam di atas. Dugaan sementara bahwa golongan terpelajar di Indonesia dipenuhi selera seni pertunjukannya oleh film-film impor yang kondisi atau referensi budayanya cukup baik diapresiasi oleh mereka. Namun kondisi semacam ini tidak dapat terus menerus dilakukan karena film-film impor tersebut jauh dari sejarah, mitos, kondisi dan masalah-masalah Indonesia sendiri.
Untuk membuat film bermutu yang laris di semua golongan penonton dengan latar belakang budaya mereka yang berbeda-beda adalah dengan memberi kesempatan kepada para sineas.

sumber : http://asiaaudiovisualrb09oktyas.wordpress.com/