Sabtu, 11 Mei 2013

Saatnya Pemerintah Tak Ambil Diam

 Sebagai media visual, film memiliki esensi yang luas. Ia dapat menjadi industri yang hidup apabila para kreatornya mampu menjawab kebutuhan pasar penonton. Menghidupkan roda ekonomi melalui distribusi yang berantai, m ulai dari konsumsi penonton di bioskop, hingga pengecer VCD/DVD. Satu lagi, ia juga dapat menjadi medium untuk mengangkat industri pariwisata.
Untuk situasi perfilman lokal Medan, pencapaian seperti itu memang belum didapat mengingat masih ada beberapa hal harus disiapkan. Tak hanya kesiapan sumber daya manusia untuk mencipta film berkualitas dari sisi cerita dan teknis, masih minimnya investor yang melihat film sebagai peluang industri, minimnya ruang berdiskusi dan berkreasi. Bahkan, kendala ditemukan pada tahap rendahnya perhatian pemerintah.

 "Semangat untuk berkarya itu sangat tinggi, hanya saja belakangan ini pemerintah tidak pernah serius mendukung perfilman lokal," kata H Amsyal Tanjung. Pemerintah, kata penggiat film dari Widy Production itu, sudah tidak saatnya mengambil sikap diam karena sudah mencanangkan program ekonomi kreatif, terutama di sektor pariwisata-termasuk film. "Pernah kita minta dukungan, sayangnya, tak pernah direspon serius. Terakhir, tahun 2012, kita pernah dapat bantuan dari pemerintah kota Medan untuk membuat workshop dan pemberian award kepada pekarya-pekarya film yang sudah aktif selama ini berkontribusi terhadap perfilman lokal," terangnya.

Amsyal membuka catatan sejarah, pada tahun 1980-an, pemerintah daerah terbilang aktif mendukung pekerja film. Bahkan, ada beberapa film yang dibiayai pemerintah yang pemutarannya disiarkan melalui stasiun TVRI, seperti "Nujum Pak Belalang", "Sungai Ular" dan beberapa film yang berlatar budaya lokal. "Belakangan tak pernah lagi. Bahkan, Studio Film Sunggal yang dulu mati-matian kita perjuangkan, akhirnya sudah tidak ada lagi," ujarnya. 

Senada dengan H Amsyal, pengamat film dr Daniel Irawan mengatakan, Medan sudah jauh ketinggalan dengan beberapa daerah di Indonesia dalam hal perfilman. Ia membandingkan dengan pemerintah provinsi Sumatera Selatan yang mendukung pekerja-pekerja film a.l. pada film "Pengejar Angin" (2010) dan "Gending Sriwijaya" (2012). "Artinya, pemerintahnya sudah sadar fungsi film, misalnya untuk promosi potensi wisata daerah," kata Daniel.

Langkah serupa, katanya, juga dapat dilakukan pemerintah Sumatra Utara maupun Medan mengingat kota ini memiliki pekerja seni di bidang film yang sudah menunjukkan kualitasnya.
Misalnya, sineas muda Andi Hutagalung, yang sudah berhasil mengangkat nama Medan dalam ajang festival film tingkat nasional. Pencapaian prestasi bergengsinya dimulai ketika film dokumenternya berjudul "Go Green With Mangrove"berhasil menjadi Juara I di ajang Lomba Film Dokumenter, Souce of Indonesia (SoI), 2010.

 Disusul kemudian pada tahun 2011, film dokumenternya berjudul "Opera Batak" berhasil meraih Juara I Festival Film Medan, Disbudpar, Medan, 2012, Juara III Festival Film DOCDAYS, Fakultas Ekonomi UI, 2011 dan Juara II Festival Film Dokumenter Bali, 2011.

Tahun 2012, karya film dokumenternya berjudul "Permata di Atas Danau" juga berhasil meraih penghargaan Winner Best Documentary for OPEN Category The SBM dan Golden Lens Internasional Documentary Film Festival 2012. Film yang digarap Andi bersama tim kreatifnya bernama Media Identitas ini juga berhasil menyabet Film Terbaik Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) 2012.

Menurut Andi, kebanyakan pekerja film di Medan terbilang independen karena sangat minim dukungan pemerintah. Di tengah kendala tersebut, motivasi untuk berkarya tetap kuat. Sebab, jika tidak berkreasi, Medan akan ketinggalan jauh dari beberapa kota di mana industri filmnya sudah maju. Misalnya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, juga Lampung dan Sumatra Selatan yang mulai naik.

 Karena itu, menurut Andi, sudah tak saatnya lagi Medan ambil sikap diam melihat kondisi perfilman Medan yang mulai bangkit. Pegelaran festival film lokal dan dengan serinya menggelar workshop seputar pembuatan dan seluk beluk di industri ini, akan memberikan motivasi kepada pekerja film untuk lebih kreatif. (tonggo simangunsong )

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/

Merebut Pasar Penonton dengan Kearifan Lokal

DI TENGAH paradigma bahwa industri film lokal belum menjadi ladang investasi ekonomi kreatif, ternyata tidak serta merta menyurutkan sineas lokal untuk memproduksi film. Nyatanya, film-film baru terus bermunculan meski belum semua tersosialisasi dengan maksimal. Pekerja yang bergerak di industri ini pun kian bertambah. Ada yang sukses karena jeli mengangkat kearifan budaya lokal.
"Dari yang pernah kita data, sampai saat ini ada 60 rumah produksi di Medan. 12 di antaranya aktif membuat film, setidaknya film pendek, dokumenter maupun produksi pembuatan film profil yang sifatnya pesanan dari pihak tertentu," kata praktisi perfilman Medan, H Amsyal Tanjung.

Yang menarik ialah kini ada rumah produksi lokal yang telah melakukan upaya merambah pasar penonton lokal dengan memproduksi film fiksi berlatar belakang budaya. Ponty Gea misalnya. Dengan rumah produksinya Costellazione, selain telah merilis 11 film fiksi berbahasa Nias, selama dua tahun ini mencoba merambah pasar penonton etnis Batak Toba. Misalnya pada film "Anak Sasada" yang penjualan kepingan VCD-nya menembus angka lebih dari 50.000 keping-angka yang sudah melebihi standar untuk produksi film skala lokal.

Tak berhenti sampai di situ, pada akhir 2012, Ponty juga merilis film fiksi berjudul "Tano Parsirangan". Kedua film format VCD ini didistribusikan secara independen (indie) melalui pedagang eceran di berbagai daerah.

"Film 'Anak Sasada' itu lumayan penjualannya. Mungkin karena film berbahasa Batak termasuk jarang. Jadi begitu ada, langsung dicari," kata Silaban, pedagang CD/DVD eceran di pasar Dolok Danggul, Kabupaten Humbahas. "Sampai sekarang masih banyak yang mencari episode ke-3-nya. Soalnya, belum tahu bagaimana akhirnya nasib si Sabungan (pemeran utama) itu," ujar Silaban, yang menjual VCD film tersebut Rp 25.000 per keping.

Film "Anak Sasada" mengangkat kisah utama seorang anak semata wayang dari desa berlatar wilayah Danau Toba yang merantau ke Medan. Perjalanan hidupnya ironis karena bukan kesuksesan yang ia dapat di perantauan, melainkan ketidakjelasan nasib karena terpengaruh pergaulan anak-anak muda di perkotaan.

Pada produksi pertama, film ini dikemas dalam dua episode-2 VCD. "Rencananya memang film ini akan disambung ke episode ke-3," ujar Thompson Hutasoit, penulis naskah cerita. Hanya saja rencana itu belum terwujudkan karena Ponty melanjutkan produksi film-nya yang ketiga berjudul "Tano Parsirangan". "Saya sudah siapkan cerita untuk episode ke-3, namun belakangan terkendala karena sesuatu hal," ujar Thompson.

Terlepas dari itu, kehadiran kedua film Ponty itu mendapat apresiasi dari pengamat film dr Daniel. "Film-film fiksi yang mengangkat kearifan budaya lokal pastilah sangat menjual karena adanya unsur kedekatan emosi dengan penonton. Meski kadang kala masih kalah di kualitas sinematografi, namun Ponty bisa dikatakan sukses di situ," kata Ketua Dewan Juri Piala MAYA-sebuah ajang penghargaan untuk film-film indie terbaik Indonesia.

Satu lagi film terbaru karya anak Medan berlatar kearifan budaya lokal yaitu "Mutiara dari Toba". Film yang dirilis pada akhir Januari 2013 lalu itu memang sengaja menyasar target penonton lokal. Hampir sama dengan karya Ponty, film dikemas dalam kepingan DVD dan didistribusikan secara independen. "Sejak awal kita memang menyasar segmen penonton lokal, khususnya Sumatera Utara. Format DVD dipilih karena pasti jangkauannya bisa luas dibanding pemutaran di bioskop," jelas William Atapary, produser film "Mutiara dari Toba" yang diperkirakan menelan biaya Rp 250 juta dengan target penjualan DVD 50.000 keping.

"Sampai saat ini lumayanlah, sudah terjual 4.000 keping. Target yang kita harapkan minimal 10.000 keping," jelasnya. Harga DVD yang dibanderol melalui pengecer seharga Rp 25.000, katanya, masih dinilai terlalu mahal oleh pasar.

William mengaku pencapaian yang diperoleh saat ini belum memuaskan. Apalagi jangkauan distribusi belum tepat sasaran, selain harga DVD yang dinilai terlalu tinggi sehingga sulit mencapai modal produksi.

Begitupun William bersama timnya di rumah produksi Cinema Club Film tidak akan menyerah. Saat ini, tim kreatif yang semuanya putra Medan, berencana memproduksi film kedua dengan strategi yang lebih matang. "Produksi kedua nanti, diharapkan akan lebih baik, rencananya kita akan mula melibatkan pihak sponsor dengan sasaran penonton yang lebih tepat," jelasnya. (bersambung.).( tonggo simangunsong )

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/

Peluang Basah di Tengah Minim Investasi

 
MEWUJUDKAN lahirnya satu barometer industri perfilman seperti Hollywood yang mampu meraup miliaran dolar dalam setahun barangkali masih sebatas angan. Butuh waktu lama untuk memahami betapa seksinya industri ini apabila digarap maksimal. Terutama dari pemerintah dan stake holder; bahwa industri film-apalagi untuk skala lokal Medan-bukanlah peluang investasi bisnis yang basah.
Tapi, asal tahu saja, di tengah sulitnya mencari investasi di industri film skala lokal, kreativitas film lokal produksi anak Medan mulai merangkak bangkit. Puluhan film diproduksi dengan biaya seminim mungkin untuk keuntungan besar. Nyatanya, industri ini memang basah bila bijak melirik ceruk pasar penonton.

Sebut saja satu di antaranya sutradara Rius Suhendra dengan karya filmnya berjudul Golden Egg. Film berbahasa Hokkien yang dirilis tahun 2011 ini berhasil merambah pasar penonton kalangan etnis Tionghoa, tidak hanya di Medan tapi hingga Singapura, Malaysia dan Hongkong.

Dalam diskusi film yang diselenggarakan Indonesia Kreatif di Ulos Cafe, Santika Hotel Medan, Januari lalu, Rius berbagi pengalaman "bermain" di industri ini. Kesulitan utama para sineas lokal sejauh ini memang masih didominasi pembiyaan produksi. Tapi, Rius punya cara sendiri untuk mengatasinya. Dia mencari sponsor dengan memberikan fleksibilitas pada skenario. "Film ini bahkan sempat memakan waktu proses editing untuk menyesuaikan permintaan sponsor," katanya.

Golden Egg tidak hanya berhasil menuai untung dari penjualan kepingan cakram padat berupa VCD/DVD, tapi juga mendapat keuntungan di luar ekspektasi dari pihak sponsor. Rius mengaku dengan penjualan DVD sebanyak 200.000 keping, film itu berhasil meraup keuntungan cukup fantastis: Rp 400 juta.

Lain lagi cerita Ponty Gea, produser sekaligus sutradara film yang jeli melihat pasar penonton melalui pendekatan kearifan budaya lokal. Setidaknya, sudah 11 film lokal berbahasa Nias dengan teks terjemahan ke bahasa Indonesia. Salah satu film yang paling laris ialah Ono Sitefuyu (Anak Sesat).

Film yang mulai dirilis tahun 2010 ini berhasil mencatatkan penjualan kepingan VCD sebanyak 220.000 kopi dengan harga VCD per keping Rp 15.000. "Banyak cerita menarik berlatar budaya lokal Sumatra Utara yang menjual untuk diangkat ke film. Itu pula yang memotivasi saya serius memproduksi film bertema lokal," ujar Ponty suatu kali dalam sebuah diskusi film di Taman Budaya Sumatra Utara, Medan.

Produser film, H Amsyal Tanjung, menilai, strategi yang dilakukan Ponty dan Rius termasuk bijak dalam hal mencapai target film secara komersil. "Kalau dari awal tujuan buat filmnya mau cari untung, langkah yang mereka lakukan itu sangat tepat. Saya pun salut karena mereka telah berhasil memenuhi permintaan pasar penonton lokal," kata pendiri Windy Production yang sejak tahun 1976 sudah aktif di seni peran dan film.

Namun, menurut Amsyal, harus tetap diakui bahwa film lokal Medan saat ini "belum ada apa-apanya" bila dibandingkan era 1960-an hingga 1980-an. Artinya, pencapaian yang dilakukan sineas-sineas lokal Medan saat ini belum mampu mengungguli para pendahulunya.

"Mungkin orang sudah lupa bahwa ada film karya anak Medan pernah dianggap sebagai barometer film Indonesia," katanya. Ia mengenang, Medan pernah begitu disegani karena kian produktif melahirkan film-film berkualitas yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air, antara lain Piso Surit (1960), Butet (1974), Buaya Deli (1978) dan Musang Berjanggut (1983)-film yang diangkat dari cerita komik karya komikus Medan, Taguan Hardjo.

Hal itu juga dibenarkan oleh pengamat film Medan, dr Daniel Irawan. "Bahkan, sineas Medan pernah cukup diperhitungkan di industri film Indonesia," katanya. Pengakuan itu dibuktikan dengan film "Turang", karya sutradara Bachtiar Siagian, yang diproduksi tahun 1957 dan mendapat penghargaan film, sutradara, pemeran pembantu, dan tata artistik terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960.(bersambung).(tonggo simangunsong)

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/

Dari Filmis sampai Layar Tancap

TINGGINYA produktivitas pekerja film di Medan menjadi sebuah indikasi yang menunjukkan industri yang berlatar belakang ide dan penciptaan ini akan menjadi segmen ekonomi kreatif yang menjanjikan. Tapi pekerja film masih diminta agar lebih kreatif dan mutakhir dalam teknis.
Pengamat film Medan, dr Daniel, mengemukakan, industri film Medan dalam lima tahun belakangan mengalami kebangkitan. Menurut pengamat film yang juga produser film itu, dari sisi kuantitas, pekerja film Medan terbilang kreatif. Setidaknya, rumah-rumah produksi terus aktif menggarap film; baik film pendek yang bukan untuk dikomersilkan maupun untuk mengejar pasar.

Satu rumah produksi film besutan anak muda Medan, misalnya Opique Picture yang didirikan Taufik Pasaribu dan kawan-kawan, memproduksi film pendek berjudul "Gak Belok Lagi". Ceritanya sederhana, yakni tentang pergaulan anak muda yang dikaitkan dengan orientasi seksual, pertobatan seorang perempuan penyuka sesama jenis.

Ketika film ini diputar dalam diskusi film yang diadakan Indonesia Kreatif di Ulos Cafe, Hotel Santika Dyandra, belum lama ini, muncul berbagai komentar dari penonton. Mereka merespon sisi cerita yang sederhana namun menarik untuk diangkat menjadi tontonan melalui media film.
Tak bisa dipungkiri masih ada kekurangan di sana-sini pada film ini a.l. mengenai kualitas gambar, teknis pengambilan angle hingga masih adanya efek bising (noise) pada audio. "Keterbatasan alat memang masih menjadi kendala kami," aku Taufik ketika itu.

 Kondisi ini diamati dr Daniel, dengan keterbatasan alat,  akhirnya banyak sineas Medan yang mentok di produksi film drama. Sayang, katanya, hanya sedikit pekerja film yang mau berbenah dan belajar lebih serius mendalami unsur teknis sinematografi. "Masih banyak film yang belum filmis. Artinya belum memenuhi kaidah produksi film yang standar, baik dari sisi pengambilan gambar hingga audio," katanya. Sepanjang tahun 2012, sedikitnya 20-an film diproduksi oleh rumah produksi anak Medan, namun bisa dihitung dengan jari berapa film yang memenuhi standar filmis.  

Satu kendala yang memungkinkan hal itu masih terjadi ialah minimnya mentor-mentor di bidang film. Kurangnya workshop seputar teknis akhirnya membuat para sineas bermain sendiri-sendiri seolah tanpa barometer. Alhasil, untuk kategori film fiksi, karya lokal belum mampu bersaing secara nasional.

 Ketiadaan ruang untuk para pekerja film pun dinilai menjadi kendala lain. "Dulu Medan masih punya Studio Film Sunggal, sekarang sudah tak ada lagi," katanya. Campur tangan pemerintah pun dinilai masih rendah. Industri film belum dilirik sebagai potensi kreatif lokal. Sehingga, bila pun kebangkitan film lokal mulai menunjukkan tanda-tanda, itu semata-mata dari keinginan kuat para pekerja film untuk berproduksi.

Misalnya, dalam waktu dekat ini, Daniel bekerjasama dengan sineas Shaut Hutabarat akan merilis film indie berjudul "The Deepest". Film ini diproduksi dalam skala komunitas dengan dana terbatas di bawah Rp 10 juta. Film ini diharapkan dapat membuktikan bahwa dengan dana minim pun bisa menghasilkan film berstandar filmis.

Menariknya, film ini tidak akan dijual dalam kepingan VCD/DVD, melainkan diputar keliling dari kampus ke kampus maupun di ruang-ruang publik. Cara ini juga dilakukan Opique Pictures dengan film "Gak Belok Lagi". "Konsepnya layar tancap," kata Daniel.

Menurut Daniel, konsep pemutaran film layar tancap juga menjadi media yang tepat untuk mengetahui sejauhmana apresiasi penonton terhadap film yang diputar. Ketika film itu berhasil menghibur maupun menggugah melalui cerita dan teknis, apresiasi akan datang bersamaan.

Satu poin penting yang perlu dicermati ialah, ketika penonton berkenan merogoh kantongnya untuk memberi kontribusi untuk film itu, maka saat itu pula efek layar tancap bekerja. Penilaian terhadap film menjadi lebih jujur. "Pada saat itulah kita tahu apakah film kita bagus atau tidak," kata Taufik. (bersambung) (tonggo simangunsong )

sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/