Selasa, 13 November 2012

Perfilman Indonesia di ambang kehancuran kedua?


Percaya kah anda kalau  penonton film Indonesia di tahun 1990 pernah mencapai 312 juta per tahun (34-43% penduduk Indonesia menonton film Indonesia 4-5 kali pertahun) dan bioskop yg di miliki sekitar 2.600 dengan 2.853 layar? Di banding tahun 2011 di mana penonton film Indonesia hanya mencapai 14 juta, dan sinepleks yg ada cuman 139  dengan 619 layar.
Sebuah gap yg sangat signifikan.

Padahal waktu di tahun 2008 ketika perfilman Indonesia sedang mengalami kebangkitan, penonton film Indonesia mencapai 32 juta, dan di estimasi akan naik setiap tahun tetapi tahun-tahun berikutnya malah terjadi perosotan yg cukup tajam. (2009=30 juta, 2010=16 juta)
Apa yg terjadi?

Kelemahan kualitas cerita di film kita pasti  menjadi salah satu faktor penting untuk kontribusi penurunan di mana penonton sudah bosan melihat film-film yg tidak berbobot, tetapi ada lagi faktor-faktor signifikan lain yg membantu membawa perfilman Indonesia ke kehancuran kedua. Sayangnya faktor-faktor ini sebenarnya bisa di cegah oleh pemerintah tetapi  seperti biasanya pemerintah kita selalu lambat/tidak peduli dengan situasi perfilman nasional.

Misalnya keterbatasan bioskop untuk menyerapi penonton di seluruh penjuru negara. Dominasi sinepleks 21 di dekade 90′an yg juga mempunyai jaringan importir film  sendiri otomatis dalam semalam menghancurkan bioskop-bioskop independen di seluruh pelosok negara. Sehingga mulai saat itu, bioskop-bioskop hanya berkonkenstrasi di mal-mal kota besar.  Lucunya, baru-baru ini ada investor dari Korea selatan bernama Lotte cinema yg mau membangun 100 bioskop tetapi di larang pemerintah dengan alasan pemerintah mau memberikan investor lokal kesempatan bertanam modal dulu. Sepertinya pemerintah mementingkan kepentingan nasional tetapi malah merugikan perfilman Indonesia yg sedang kekurangan tempat pemutaran.
Minimnya outlet pemutaran film Indonesia juga  berarti mereka musti bersaing dengan film-film Hollywood yg berjumlah lebih banyak, sehingga penayangan film lokal banyak di korbankan jika tidak memenuhi kuota penonton. Berkurangnya masa tayang/tempat pemutaran otomatis mengurangi kesempatan penonton kita untuk menonton film lokal. Belum lagi harga tiket secara pelan-pelan merambat naik karena harga sewa tempat di mal-mal semakin naik sehingga film-film yg di targetkan untuk ‘kelas bawah’ dan remaja (setengah dari jumlah produksi film lokal) akan kehilangan penonton karena daya beli mereka yg terbatas. 21 juga bisa semena-mena menaikan harga karena tidak adanya kompetisi yg berarti dan juga pengawasan pemerintah soal kenaikan harga tiket masih belum ada. Kalau di negara-negara yg mempunyai kultur film kuat seperti Inggris/Australia mereka menaikan harga tiket film untuk membantu subsidi film lokal tetapi di Indonesia sendiri peran pemerintah untuk membantu film lokal masih tidak jelas.

Belum lagi masalah baru, konversi film proyektor dari analog ke digital. Sekilas sepertinya dengan kemurahan proyektor digital, biaya produksi film lokal akan lebih murah karena shooting dengan kamera digital bisa langsung di proses tanpa perlu di transfer ke celluloid copy dulu tetapi justru tanpa menggunakan proyektor analog harga film impor pasti jauh lebih murah karena tidak perlu lagi copy celluloid juga sehingga film impor bisa di tayangkan sebanyak-banyaknya (satu film bisa langsung di tayangkan ke beberapa layar) dan yg pasti film lokal akan di korbankan duluan. Yg mencurigakan lagi kemungkinan besar konversi digital proyektor itu juga di pegang oleh salah satu anggota keluarga 21 sehingga monopoli mereka akan penayangan film di Indonesia  bertambah komplit.

Yg memaksakan konversi digital proyektor adalah dari MPA (Motion Pictures Association) yg beranggotakan enam studio besar di Hollywood. Ironisnya di Amerika sendiri, konversi digital proyektor di akhir 2010 baru mencapai 25% dari sekitar 6000 bioskop. Sementara untuk Indonesia, MPA memberi batas waktu sampai 2015 untuk konversi total ke digital karena sehabis itu film impor dari Hollywood akan berupa digital sehingga otomatis mematikan bioskop-bioskop kecil yg masih memakai analog proyektor.
Apa tindakan pemerintah?

Syamsul Lussa, Direktur Pengambangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam wawancara dengan tabloid Kabar Film, Juli lalu, “Perubahan drastis sedang melanda dunia perfilman saat ini… Ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di semua negara… Yang pasti kami tidak dapat berbuat lebih jauh, kecuali tetap melihat keberadaan lab yang ada saat ini maupun yang sudah tutup sebagai bagian dari proses sejarah perfilman di Indonesia.”

Artinya, pemerintah hanya pasrah dengan situasi dan tidak akan berbuat apa-apa.
Mereka rela perfilman nasional kita di bully habis-habisan oleh 21 dan MPA. Visi mereka tentang perfilman kita juga tidak transparan dan sulit di tebak. Bagi saya kecondongan pemerintah untuk merelakan dominasi 21 di aspek pemutaran film dan impor sudah keterlaluan dan perlu di selidiki lebih lanjut karena bukan untuk kepentingan film nasional tetapi hanya beberapa pihak. Ironisnya, pemerintah kelihatan sok pamer serius dengan menyatakan perfilman nasional di bawah tanggung jawab dua kementrian;  Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui Ditjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya serta Direktorat Pengembangan Industri Perfilman. Kedua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Ditjen Kebudayaan dan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman.

Panjang benar ya? tetapi mereka masih belum punya strategi-strategi konkrit atau aksi nyata di lapangan untuk membela/membangun/memelihara perfilman nasional kecuali menyumbang uang untuk event-event promosi yg tidak penting. Sepertinya budaya pamer tanpa substansi sudah mendarah daging di budaya Indonesia modern dan kehancuran perfilman Indonesia yg kedua akan menjadi bukti kuat atas hasil dari ketidak pedulian pemerintah untuk film nasional, tetapi tidak apa-apa kita masih bisa berteduh nyaman di bioskop 21; membayar tiket mahal untuk menonton Transformers ke 9 lewat digital proyektor sembari  mencicipi popcorn yg sudah masuk angin.

Sumber: filmindonesia.or.id

Potensi Sumut tidak Meningkat Bila Birokrasi Tempatkan Orang yang Salah

Jentera - Minggu, 11 Nov 2012 01:20 WIB


Oleh: Syafitri Tambunan. Film sebagai proses kreatif, sebenarnya telah menjadi industri berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat secara ekonomi, serta meningkatkan martabat budaya Indonesia. Alasannya, memproduksi sebuah film akan melahirkan banyak lapangan kerja yang selalu bersinergi melahirkan karya audio visual ini.
Belum lagi, budaya ini akan mencuat bila mampu menembus angka pemutaran film terbanyak dengan menyertakan tanah Indonesia sebagai latar atau lokasi shottingnya. Selain itu tentunya, menyejahterakan insan film, pendukung pelaksana ide kreatif lain, maupun pihak lain. Tidak jarang efek yang timbul adalah pengenalan budaya ke berbagai dunia.

Bahkan, seringkali pemerintah, yang tidak terlibat langsung dalam produksi film itu, mampu mengangkat kepala bila seorang insan film atau sebuah film menjadi booming di luar negeri. Dian Sastrowardoyo, saat berdiri di red carpet Festival Film Cannes tahun ini, mampu menyita perhatian dunia dengan potensinya sebagai aktor. Saat itu, banyak negara secara tidak langsung mengangkat Indonesia dari berbagai sisi.

Banyak orang saat itu mempertanyakan gaun yang dikenakan, asal kelahiran sang aktris, film yang dibintanginya, ataupun lokasi shotting sang aktris melakukan proses shooting. Bila bisa mendeskripsikan jawabannya, pastinya akan banyak kata Indonesia yang bergaung. Misalnya gaun yang didesain oleh anak berbangsa Indonesia, lokasi perfilman di sebuah daerah di Indonesia ataupun sejumlah film Indonesia yang dibintanginya. Salah satunya Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Film sang aktris sendiri merupakan salah satu pendongkrak dunia perfilman Indonesia yang sering ‘naik-turun’.

Baik industri perfilman, maupun sekedar desainer Indonesia perancang gaunnya, pasti semakin menimbulkan antusiasme dunia luar terhadap Indonesia, khususnya dunia perfilman Indonesia.

Dalam dekade 10 tahun terakhir, perfilman Indonesia menunjukkan geliatnya kembali. Tampaknya hal ini akan berubah dengan timbulnya persaingan ketat antara karya anak bangsa, dengan film asing, seperti Amerika Serikat (AS), India, Cina, Jepang dan Korea.

Dalam konteks ini, penggiat film Indonesia sebenarnya berpotensi meningkatkan peran film yang awalnya hanya sebagai produk kreatif, menjadi industri baru, seperti negara Boolywood India, ataupun Holywood AS. Perlu dukungan yang baik antara semua pihak, baik insannya sendiri, masyarakat peminatnya, serta birokrasi di setiap daerah.

Inilah kendala bagi penggiat film di Indonesia, khususnya daerah Sumatera Utara yang dulunya sempat terkenal dengan dibangunnya studio film pertama di Indonesia Jalan Sunggal, Medan. Penggiat-penggiat film Sumut, seperti J. Hendry Norman (Mata Sapi Film), M. Taufik Pradana (Opique Picture), Abdul Azis Lubis (Agung Film Maker), Willy Darmawan (Intermedia Project), Darma Lubis (Sol File Documentary) dan sejumlah nama lainnya memiliki peran mengedukasi masyarakat dalam produk kreatifnya. Meskipun penggiat lokal, mereka mampu melahirkan karya perfilman yang sebenarnya layak menjadi konsumsi publik.

Karena, akan banyak sisi yang diperlihatkan dalam aksi penggiat perfilman Sumut, di antaranya pesan moral, ataupun kebudayaan, serta pengubahan perspektif yang salah. Sisi moral, anak muda seperti J. Hendry Norman punya pandangannya sendiri.

"Film pendek seperti Medan Hardcore, ataupun Kost 208 sebenarnya diproduksi untuk tujuan mengedukasi masyarakat memandang suatu fenomena dari semua perspektif. Medan Hardcore bercerita tentang sekelompok anak muda yang bergelut dalam musik yang identik dengan kekerasan. Masih ada genre hardcore yang tidak melulu tentang seks bebas, ataupun drugs.

Bahkan, ada sekte hardcore yang menjunjung tinggi hubungan intim dengan satu pasangan saja. Setidaknya, pelajaran untuk setia dengan pasangannya bisa dijadikan pesan moral," tuturnya. Dikatakannya, dalam film itu, masyarakat diedukasi untuk mampu menilai dan mengambil pesan film atas sebuah hal dari berbagai sudut pandang, negatif, maupun positif.

Tidak hanya itu, kebudayaan juga menjadi unsur penting yang bisa memberdayakan audio visual sebuah film bagi Indonesia. Berdasarkan keterangan seorang penggiat seni dan film dokumenter, Darma Lubis, film termasuk media yang mampu memuat pesan yang sebenarnya bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat.

"Sebuah film bisa mengubah pandangan seseorang terhadap suatu masalah, salah satunya unsur budaya. Program Film Televisi (FTV) yang ada di media televisi nasional, masa ini, sering menampilkan lokasi atau setting tempat di Bali, Yogya, ataupun Semarang. Meskipun temanya tentang cinta-cintaan, penontonnya juga akan tergerak untuk menelusuri, mencari tau, ataupun sekedar mengagumi lokasi shooting yang dipakai, serta menelusuri budaya daerah tersebut," tuturnya.

Dengan ini, lanjutnya, kota-kota tadi akan mampu menciptakan peminatnya sendiri yang termotivasi berkunjung langsung ke lokasi shotting tersebut. Secara tidak langsung, budaya daerah tersebut akan terus menjadi bahan perbincangan yang baik oleh peminat-peminat film itu.

Sama seperti di Sumut, dia mengatakan, potensi budaya Sumut akan sebanding dengan kota-kota tadi, bahkan menjadi prioritas utama jika mampu menerapkan ide FTV itu dalam industri film Sumut.

Dia membenarkan, peran seluruh sektor menjadi unsur terpenting merealisasikan niat tadi. Bahkan, kendala ini justru mengikat ide kreatif tersebut. "Jika mau, banyak tempat atau bangunan bersejarah di Medan, yang sering tidak diperhatikan, atau terkadang dipakai untuk hal-hal yang tidak penting. Padahal, bila bangunan ataupun lokasi itu dimanfaatkan untuk perfilman, produksi insan-insan seperti kami tidak akan sia-sia ataupun tergeletak di Taman Budaya Sumatera Utara, ataupun kafe-kafe yang sering menerapkan konsep "nonton bareng" dalam manajemennya," tuturnya.

Jika ingin menegaskan kembali, penggiat lokal film dokumenter dan semi dokumenter tadi sepakat, industri perfilman kita mampu menopang hidup negara bahkan budaya sebuah bangsa.

Penjelasannya, sebuah produksi film akan membutuhkan banyak tenaga kerja, di antaranya aktor, sutradara, penulis naskah, editor, penata cahaya, penata musik, dan peran-peran kecil seperti pemegang lampu, pembawa alat shooting, bahkan penyedia konsumsi.

Selain itu, budaya bangsa dan potensi lokal akan semakin berkembang bila pelakunya tidak melulu seorang insan film, namun juga menyertakan peran birokrasi secara benar. "Birokrasi memang sudah mulai memperhatikan dunia ini. Hanya saja, birokrasi belum mampu memilih dan menempatkan petugas-petugas yang laiak di bidangnya. Laiak artinya mengerti dengan bidangnya sendiri.

Bila berhubungan dunia film, birokrasi mesti menempatkan petugas yang memang bersinggungan dengan itu, baik berlatar belakang peminat semata, ataupun berpendidikan dibidang yang berkaitan. Mereka mengutarakan perhatian pemerintah akan efektif bila petugas birokrasi itu memahami kebutuhan insan film Sumut. Sehingga, film lokal kita tidak kalah pamor dengan daerah lain, bahkan secara mendunia, serta berpotensi meningkatkan semua aspek kehidupan.

Begitrulah ketika dalam Pameran Pergelaran Seni Se Sumatera XV, banyak yang kecewa, karena hanya sedikit sekali film yang diputar. Selain itu, nampaknya panitia secara keseluruhan, kelihatan kurang serius. Diskusinya hanya dihadiri segelintir orang saja, tidak ada perwakilan-perwakilan dari 10 propinsi yang ada di Sumatera.

Tidak tiap provinsi mengirkjmkan film mereka. Apakah karena tidak diminta, atau karena memang mereka tidak membuatnya, atau mungkin karena faktor lain? Seperti, pemutaran film itu saja, serasa tidak terpublikasi ke seluruh masyarakat kota Medan.

Panitia PPSS ke XV, terasa seperti kurang memperhatikan pemutaran film pada acara yang ditetapkan, padahal seharusnya, panitia sudah sudah mempublikasikannya secara besar-besaran. Kalau kita mau menggiatkan film di Sumut, kita harus siap untuk itu. Para cineas-cineas muda harus diberikan kesempatan yang luas dan mendapat dukungan yang besar.

Kalau di Jakarta saat lesu film ada istilah, tiada film nasional rampunjabi. Bagaimana dengan Medan? Sedang ada PPSS saja, film kita seperti tidak terapresiasi, bagaimana dengan event-even lain yang tak sebesar PPSS? Kita tunggu saja kerja orang muda sebagai insan film ke depannya.

sumber : http://www.analisadaily.com/

testimoni dari Rufi Community

MARJINAL produksi Opique Picture’s: refresh buat RuFI.


Beberapa hari yang lalu, tepatnya sabtu 3 November 2012 bertempat di salah satu cafĂ© anak muda di Medan sahabat-sahabat dari Opique Picture’s melakukan premiere film produksi terbaru mereka berjudul MARJINAL. Film berdurasi hampir 2 jam ini bercerita tentang kehidupan beberapa orang ‘pinggiran’ di kota Medan  yang bersahabat lalu dengan kisah kehidupan mereka masing-masing.
Semua penonton terlihat menikmati adegan peradegan dari film ini. Apalagi Ridho Pratama selaku Sutradara di film ini berhasil menghidupkan tokoh Fuad  loh.

Ini tentu menjadi refresh buat komunitas-komunitas film lain di Medan yang saat ini sedang bersemangat terutama RuFI sendiri. Dengan konsep acara yang reggae banget  cukup berhasil membuat suasana malam itu menjadi santai.

Sip deh buat sahabat-sahabat opique picture’s. Ditunggu terus karya-karya yang lainnya yah…