Selasa, 24 Mei 2011

Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa

Ketika Lumiere bersaudara membuat dunia ‘terkejut’ pada 28 Desember 1895, itulah pertama kali sejarah film digoreskan. Mereka melakukan pemutaran kali pertama di depan publik, di Cafe de Paris, Prancis.

Ada beberapa film buatan Lumiere yang diputar pada pertunjukan pertama itu. Ada film tentang para laki dan wanita pekerja di pabriknya, kedatangan kere,ta api di Stasiun La Ciotat, bayi yang sedang makan siang dan kapal-kapal yang meninggalkan pelabuhan.

Salah satu kejadian unik, yaitu saat dipertunjukkan lokomotif yang kelihatannya menuju ke arah penonton, banyak yang lari ke bawah bangku. Itulah awal sejarah ‘gambar idoep’, nama yang melekat sampai 1940-an untuk film.

Di Indonesia, sejarah ‘gambar idoep’ muncul lima tahun berikutnya. Yaitu pada 1900, dilihat dari sejumlah iklan di surat kabar masa itu. De Nederlandshe Bioscope Maatschappij memasang iklan di surat kabar Bintang Betawi mengabarkan dalam beberapa hari lagi akan diadakan pertunjukan gambar idoep . Di surat kabar terbitan yang sama pada Selasa 4 Desember 1900 itu, ada iklan berbunyi ”… besok Rebo 5 Desember Pertunjukan Besar yang Pertama di dalam satu rumah di Tanah Abang Kebondjae moelain pukul 7 malam …”

Bioskop Kebonjahe yang kemudian diberi nama The Roijal Bioscope mulai dioperasikan dengan harga tiket dua gulden untuk kelas 1, satu gulden kelas 2, dan 50 sen kelas 3. Pada masa itu penonton pria dan wanita dipisah. Pertunjukan dengan pembagian kelas-kelas yang kini sudah dihilangkan bioskop kelompok 21, mengikuti pola pertunjukan Komedi Stamboel dan Opera Melayu.

Kelas termurah duduk di bangku papan yang berada di deret depan (stalles), tepat di belakang orkes. Penonton juga diberi libretto berisi ringkasan cerita film yang akan diputar.

Setelah pemutaran perdananya, Bioskop Kebonjahe segera menjadi terkenal. Namun demikian belum bisa mengalahkan popularitas pertunjukan lain yang sedang digemari masyarakat: Komedi Stamboel (sering disebut Bangsawan atau Opera Melayu). Keduanya adalah pertunjukan sandiwara keliling yang diselenggarakan dalam tenda kain besar. Penontonnya bukan hanya pribumi, tetapi dari semua golongan.

Bahkan film-film tempo doeloe itu, dalam pemilihan repertoire -nya juga banyak mengambil cerita dari panggung pertunjukan ini. Mulai dari hikayat-hikayat, seperti Djoela-Djoeli Bintang Tiga , sampai cerita-cerita realistis seperti Nyai Dasima.

Di atas hanyalah sepenggal cerita dunia film Indonesia pada tahun-tahun awal gambar idope di negeri ini. Misbah Yusa Biran, kelahiran Rangkasbitung, Banten, 11 September 1933, telah berkecimpung dalam dunia film sejak 1954. Pada 1967, ia terpilih sebagai sutradara terbaik untuk filmnya Di Balik Cahaya Gemerlapan. Sejak 1971, ia mulai merintis berdirinya lembaga arsip film, Sinematek Indonesia, dan mulai melakukan penelitian sejarah film Indonesia dan penulisan skenario.

Sinematek Indonesia berdiri 1975, sebagai arsip film pertama di Asia Timur. Kini, suami dari artis Hj Nani Wijaya ini sedang menyiapkan penulisan sejarah film 1950-1967, setelah meluncurkan Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa , 6 November 2009.

Film cerita pertama
Tahun 1926 merupakan tonggak bersejarah bagi perfilman Indonesia. Dengan dibuatnya film cerita pertama dongeng Sunda Loetoeng Kasaroeng. Pembuatan film ini mendapat dukungan dan bantuan besar dari Bupati Bandung, Wiranatakusumah V. Dorongan bupati ini bertolak dari hasratnya untuk mengembangkan kesenian Sunda.

Perhitungan dari segi ekonomis bersumber dari kenyataan bahwa 80 persen pemasukan bioskop berasal dari saku orang Cina dan pribumi. Para pemainnya terdiri dari sepupu dan kemenakan sang bupati. Setahun kemudian (1927) Java Film menggarap film kedua Eulis Atjih. Sebuah drama rumah tangga modern, bukan lagi cerita dongeng.

Tiga hari sebelum pertunjukan berakhir, Pewarta Soerabaya melaporkan di kota buaya ini film tersebut dibanjiri penonton. Dalam iklan disebutkan: “Liat bagimana bangsa Indonesia tjoekoep pinter maen di dalam film, tida koerang dari laen macem film dari Eropa atawa Amerika”. Yang menarik, saat awal produksi film pertama Indonesia, para calon pemain akan diuji untuk memperlihatkan ”rupa gusar, sayang, kagum, jemu, kasihan, masa bodoh dan kurang ajar”.

Pada 1938 film Terang Boelan tiba-tiba membuat ledakan. Rembulan film Hindia Belanda menampakkan sinar terangnya. Dunia film telah menemukan resep yang bisa digemari penonton, mengalahkan sandiwara panggung.

Film Batavia ini menyedot semua penonton ke bioskop. Lagu ‘Terang Boelan’ yang dinyanyikan oleh Roekiah, kemudian menjadi lagu kebangsaan Malaysia ‘Negaraku’. Meledaknya film ini membuat orang-orang panggung lari ke dunia film. Komponis terkenal Indonesia, Ismail Marzuki, turut memainkan musiknya untuk film ini. Pembuatan film pun mendadak ramai dilakukan dengan resep Terang Boelan .

Di Amerika, sejak 1926 sudah dimulai film bicara. Film Hollywood pertama yang percakapan pemainnya bersuara adalah The Jazz Singer. Penonton Indonesia baru bisa menyaksikan keajaiban itu akhir 1929-awal 1930. Mula-mula kota Surabaya dan Batavia baru menikmati film suara pertama tiga bulan kemudian. Pada masa awal film bersuara di Indonesia, perekaman dialog maupun musik pengiring dilakukan langsung pada saat pengambilan gambar, persis seperti jalur suara yang terdapat pada film sekarang. Indonesia baru bisa membuat film bicara pertama pada 1932. Kemudian disusul Indonesia Malaise keluaran studio Halimoen Film.

Begitu Jepang memegang kekuasaan di Indonesia (1942-1945), mereka menutup semua studio film, yang kesemuanya milik Cina, kecuali satu milik Belanda, Multi Film. Alasannya agar jangan digunakan untuk membuat film anti-Jepang. Kedua, Jepang pasti tidak percaya kepada para produser Cina peranakan, yang budayanya tidak membantu. Hampir semua film Jepang yang dipertontonkan di Jawa merupakan film propaganda anti-Sekutu. Penonton dihidangkan kemenangan Jepang dalam berbagai front.

Bukan hanya itu, semua bioskop diambil-alih Jepang. Distribusi film diatur langsung oleh pemerintah pendudukan Jepang, yakni Jawa Ehai yang didirikan April 1943. Pada saat itu gedung bioskop yang diambil-alih berjumlah 117 gedung. Sebanyak 95 persen milik orang Cina.

Dalam pengantarnya, penerbit Komunitas Bambu yang menerbitkan buku ini menulis: Buku ini menjadi istimewa bukan saja lantaran paling luas menguraikan sejarah film periode 1900-1950, tetapi juga ditulis oleh Misbach Yusa Biran yang sohor sebagai ‘ensiklopedi berjalan’ film Indonesia.

(Sumber: Oleh Alwi Shahab, Dikronik dari Harian Republika edisi 22 November 2009, dengan judul “Terang Bulan Film Indonesia”)