Jumat, 02 Mei 2014

Menghargai Sineas Indonesia Dengan Cara Membuat Film Sendiri

Penulis : Hazmi Srondol

Sudah beberapa kali aku menolak ajakan istriku menonton bioskop di bioskop. Apalagi kalau filmnya yang berbau setan-setan. Disamping kadang merasa rugi, sudah membayar penuh—toh didalam bioskop istriku malah ngumpet dan nonton sambilndepipis nggak jelas. Kalau boleh kuhitung, durasi matanya menatap layar bioskop hanya sekitar 30% sd 50% saja dari durasi keseluruhan film.

Ya itulah fakta dunia film Indonesia, isinya gitu-gitu aja. Kalau nggak soal buka paha ama dada ya hantu dengan muka rusak dengan berbagai  jenisnya. Kalaupun ada yang bagus, itu hanya sesekali. AADC, Petualangan Sherina, GIE, Laskar Pelangi, #republiktwitter dan lainnya. Yang lainnya ini pun juga rentangnya jauh dan masih tidak sebanding dengan film nasioanal yang masuk kelas tidak bermutu dimataku ini. Pokoknya jauh dari film-film Hollywood yang sering aku tonton.
Itu baru dari segi hasil, dari segi biaya pembuatannya pun kadang membuatku makin sebal. Mosok film begitu-begitu saja kok biayanya sampai 3 atau 5 milyar rupiah. Bahkan ada yang konon sampai 33 milyar. Belum lagi aku pernah mendengar bahwa editing film itu mesti ke Bangkok, Thailand. Kayak di Indonesia tidak ada yang bias ngedit saja.  Weleh-weleh.  Jangan-jangan para kru nya korupsi neh, cuman mau nyedotin uang produsernya saja. Dan beraneka macam pikiran negative ini semakin menguasai pikiranku terhadap dunia film, sinamatografi dan sejenisnya beserta mahluk-mahluk yang ada didalamnya.

Namun, mendadak pikiran jelekku itu bubar dan berubah haluan menjadi kekaguman yang luar biasa kepada film nasional beserta kru-nya. Penyebabnya sederhana saja. Itu gara-gara Babeh Helmi, yang memang  berkerja di bidang editing film secara sengaja atau tidak sengaja, pernah mengkomentari soal kamera DSLR ku yang sebenarnya entry level  ini bias digunakan untuk membuat sebuah film.
Dan akupun mendadak pengen membuat film sendiri. Setidaknya film pendek.

Sikap dadakan ini semakin bersemangat  saat melihat beberapa informasi terkini dari dunia blogging jika dunia video blog sedang merajalela  di dunia. Situs situs video seperti Youtube dan Vimeo bahkan semakin padat pengunjung. Bahkan Vimeo bulan Feberuari 2012 ini menggelar festival dengan hadiah ribuan dollar untuk tiap katagori. Wuuiiih!

Lalu fenomena ini membuatku mengerti  kenapa ada operator telekomunikasi begitu konsen dengan dunia broadband dengan disiapkanya infrastuktur penunjang dunia video blogging ini.  Rupanya memang gejala ini sudah diendus oleh para pakar dan ahli IT-nya.

Dari keinginan membuat film pendek ini pun akhirnya muncul berbagai macam masalah. Apalagi proses produksinya hanya dilakukan seorang diri. Dari bingungnya memilih tema dari ratusan cerita humor yang kutulis di  blog Kompasiana ini. Hingga teknis-teknis lainnya seperti  bagaimana dan siapa yang mengambil gambarnya? Bagaimana editingnya dan lain sebagainya.

Aku jadi ingat, saat itu aku memilih tema ‘Janji Bukan Lelucon’ karena mendadak memang Om Dian Kelana mendadak meneleponku dan menanyakan rencana perjalananku ke Malaysia. Di ingatkannya akan novel pesanan Anazkia di KL, Malaysia yang belum tersampaikan ke pemiliknya. Padahal buku itu sudah dipesannya sejak setahun yang lalu.  Nah, daripada nggak jadi-jadi, aku memutuskan tema dokumentasi penyerahan  buku inilah yang pertama kali akan aku buat secara serius.

Dari tema dasar itu, aku segera mempersiapkan diri. Story board sudah aku buat, scenario secukupnya karena hanya film documenter, clapper juga download dari Galaxy Tab punya istri, monitor TV mini 7” lalu aku beli agar memudahkan melihat hasil shootingnya, rig kamera, filter NDX (Natural Density) beserta filter-filter lain hingga tripot. Untuk micropone-nya kebetulan tidak ada colokan external mic dari kameranya hingga akhirnya aku mengakali dengan memasang ‘deathcat’ dari potongan boneka berbulu.

Nah, akhirnya aku mencicil pengambilan gambar. Kamera aku pasang diatas tripot dan monitor TV mini aku hadapkan ke arahku sendiri. Sesekali aku minta tolong kawan yang sama-sama pergi ke KL untuk memegang kameraku dengan kamera yang sudah aku set dengan ukuranku. Cuman memang hasilnya tidak sesuai dengan kemauanku. Bahkan focusing kamera saat kamera dan tripot aku pasang diatas trolly tampak kurang tajam. Tapi tak apalah, sudah mending ada yang mau mendorongkan trolly daripada tidak sama-sekali.

Lebih repotnya, saat pengambilan gambar di Central Market/Pasar Seni Kuala Lumpur dengan mbak Anazkia, kami didatangi RELA yang dengan halus melarang penggunaan tripot di sekitar area luar pasar tersebut. Untungnya sebelum diingatkan sudah sempat ambil gambar. Hehehhe. Kalau nggak, bisa gagal total ini film pendek. Jadi paham sekarang kenapa mas Ajish Dibyo sang producer film #republiktwitter menyebutkan tentang ‘ijin’ ini saat kumpul-kumpul di Anomali cafĂ© beberapa waktu sebelum peluncuran filmnya itu.
 1330607997171068001
Nah, untuk sesi pembuka yang juga merupakan pengambilan gambar terakhir yaitu saat adegan  Om Dian meneleponku soal Novel yang belum terkirim itu pun juga bukannya tanpa masalah. Saya mesti meminta tolong om Dian untuk mengulang telefonnya untuk direkam dalam waktu yang sangat sempit.

Maklum lokasi janjian perekaman ini, Om Dian Kelana hanya punya sekali kesempatan untuk direkam karena beliau mesti segera masuk ke FX Plaza karena sudah di tunggu Omjay yang sedang ada acara bersamanya. Untung saja Om Dian sangat profesional, sekali ambil gambar langsung jadi. Weleh-weleh ternyata berbakat besar jadi actor juga datuk nya Thole yang satu ini.

Nah, setelah semua bahan gambar terkumpul, muncul masalah besar lainnya yaitu editing. Software editing video yang aku punya tidak bisa berjalan dengan sempurna pada file HD 720p karena PC yang aku punya hanya ber’kekuatan’ prosesor 3,4 Gbyte dan memory RAM hanya 4 Gb. Sempat terfikir membuat gerakan KOIN UNTUK MACBOOK SRONDOL lewat hastaq #koin4macbooksrondol di twitter, kok ya nggak ada yang mendukung malah diomelin istri karena malu-maluin.

Ya sudah, mimpi film short movie berkualitas HD buyar dan semua  file di convert pada file .avi yang lebih rendah kualitasnya. Itupun sempat beberpa hari kepala pening dan perut mulas karena sudahnya mereduksi suara berisik (noise) di adegan tersebut. Belum lagi pengisian narasi juga kurang sempurna.

Akhirnya, dengan hasil apa adanya ku upload juga film pendek pertamaku ini. Aku menontonnya sendiri sambil mengkoreksinya,.

Aduhai alamak! Banyak sekali kekurangannya. Imajinasi tidak sebanding dengan hasil nyata.
Pikiranku langsung melayang, terbayang mbak Riri Reza, mas Hanung Bramantyo, bang Rano ‘doel’ Karno, Garin Nugroho dan semua insan film di Indonesia. Aku yang hanya membuat film pendek saja sudah pusing luar biasa dan keluar biaya yang tidak sedikit untuk alat-alat. Itupun komputer untuk editing yang mumpuni belum terbeli. Lha bagaimana mereka?

Mereka yang memang dunia dan hidupnya membuat film. Bukan hanya 8 menit tapi 60 atau bahkan 120 menit per filmnya dengan tema dan adegan yang tentu jauh lebih rumit. Belum lagi pemilihan dan eksekusi shooting adegan dengan pemeran yang berbagai macam. Aku saja yang memakai anak sendiri untuk adegan 20 detik sebelum film usai repotnya setengah mati. Dari anak yang ngambek nggak mau di sinari lampu hingga protes karena mesti mengulangi kalimat yang pernah diucapkannya secara spontan.

Kini apapun jenis filmnya. Mau horror maupun drama, sekarang aku tidak peduli lagi. Yang aku tahu, kini aku sangat menghargai kerja keras dan keahlian para sineas Indonesia baik yang mayor label hingga indie yang sungguh luar biasa. Beserta para produsernya yang rela mengucurkan dana-nya untuk membiayai terwujudnya imajinasi dalam bentuk gambar bergerak (film).

Nah, jika ada yang masih sinis dengan film dan pekerja film nasional. Yuk coba buat film pendek sendiri, dan rasakan sensasinya.
Sensasi SUSAH luar biasa…!