Bila mencintaimu itu cukup, maka akan ku hentikan rindu, sayang, dan kegiatanku untuk memikirkanmu. Bila hanya dengan menyebut namamu, cinta itu terasa cukup, maka aku akan membuang fotomu. Bila hanya dengan memasakkan makanan kesukaanmu, cinta itu terasa cukup, maka aku akan menghancurkan angan-angan tentangmu.
Cinta itu kebersamaan.
Saling berbagi.
Saling melindungi.
Saling support.
Sama-sama memahami.
Sayang...
Dengar aku!
Cinta itu tidak cukup hanya dengan kata cinta. Cinta tidak cukup hanya dengan yakin kalau dia mencintai kita. Cinta tidak cukup hanya dengan kita yakin bahwa primbon menyatakan kalau kita berjodoh. Cinta tidak cukup dengan SMS setiap hari atau telepon sampai pagi.
Tolong mengerti. Cinta itu terlalu luas untuk kita bicarakan sekarang. Yang ingin aku tanyakan, apakah kau benar-benar akan menikahiku bulan depan?
Kau tidak gila, kan!?
Maaf! Aku bukan mau meragukan tingkat kewarasanmu, tapi teman-temanku sering sekali mengajakku untuk memeriksakan otakku ke rumah sakit jiwa. Kata mereka penyakitku ini harus segera di tangani.
Karena kalau tidak nanti aku akan semakin parah.
Menurutmu apa benar aku segila itu?
Aku hanya tidak suka memakai rok. Aku juga tidak terlalu suka dengan bedak. Apalagi dengan yang namanya lipstik atau lipglos. Aku juga tidak terlalu menyenangi acara-acara yang mempertontonkan keindahan tubuh wanita. Apa mereka tidak punya malu? Masih bagus kalau bodinya itu seksi, paling tidak dimaklumi sedikit. Tapi bagaimana kalau badannya itu setipis kertas. Tapi dibilangnya potongan peragawati papan atas. Haduh! Kasian sekali.
Oops! Tidak sayang. Aku tidak bermaksud untuk membicarakan orang. Hanya selingan saja.
Aku hanya tidak menyukai berbicara seperti Putri Keraton yang begitu teratur. Aku juga tidak terlalu respon dengan kegiatan perempuan seperti ke salon, berbelanja, bergosip tentang artis di infotainment, atau berbagi tips dimana tempat aman unuk melakukan pembesaran payudara.
Jangan kaget, sayang. Walaupun aku sedikit "terbelakang", namun urusan kecil begitu aku juga tahu.
Jadi, lebih baik pikirkan lagi sekarang. Apa benar kau mau menikahiku?
Bila kau bertanya kenapa aku mau menikah denganmu, baiklah aku akan jujur.
Kau berhasil membuatku sulit tidur. Ah! Bukan karena ku lupa pasang obat nyamuk. Tapi karena aku gelisah memikirkan apakah besok aku akan bertemu kau atau tidak. Memikirkan apa kau akan lewat depam kelasku atau tidak. Memikirkan apa kau akan pura-pura ke kelasku untuk mengambil absen atau tidak.
Sesimpel itu. Tapi sukses membuatku nyaris stres.
Sayang, pikirkan perbedaan kita yang seperti langit dan bumi.
Pikirkan seberapa hebohnya reaksi teman-temanmu ketika menerima undangan pernikahan kita nanti. Mungkin bila mereka sedang memegang gelas, gelas tersebut akan retak dalam genggaman. Pikirkan bagaimana reaksi mantan-mantan wanitamu dulu yang pasti langsung melontarkan seribu sumpah serapah atas kebodohanmu.
Huh! Memikirkan iu membuatku ingin langsung mengambil sarung tinju. Tapi aku ingat, aku sudah harus 'sehat'. Aku tidak boleh menyelesaikan masalah itu secara bar-bar, bukan.
Aku boleh minta waktu sebentar? Aku ingin ke belakang untuk tertawa. Dan karena aku tidak tega bila harus melihatmu nyaris pingsan karena caraku tertawa yang sudah seperti gunderuwo, aku yang mengalah. Tapi baiklah bila kau ingin melihat ku tertawa.
Aku memikirkan apa yang akan kita lakukan setelah resmi. Apa kita akan berkaraoke seperti saat masih pacaran? Atau kita akan memasak telur rebus. Kau putihnya aku kuningnya. Jangan lupa!
Apa yang akan kita lakukan, hmm?
Oke!
Itu kita bahas lagi nanti. Diam-diam saja. Karena itu akan menjadi rahasia kita.
Jadi, jangan cintai aku dengan sesederhana itu. Yang ku mau, aku tidak ingin cinta kita hanya cukup dengan kata, ucapan, pesan maupun kue cinta saja. Aku mau cinta yang ada tidak hanya terasa hangat ketika menjadi pengantin baru saja. Aku mau cinta kita tidak hanya wangi ketika malam pertama saja. Aku mau cinta kita tidak akan selalu "membara" seperti ciuman pertama kita.
Kau pasti mengerti karena kau laki-laki.
Begitulah adanya. Cinta tidak cukup hanya cinta.
Cerita dari sahabat kita: Lii Na Yeon