Sebuah film independen atau film indie
adalah film fitur yang dibuat sebagian besar di luar studio film besar.
Istilah ini juga merujuk kepada film seni yang berbeda dari sebagian
film yang dipasarkan secara massal.Selain dibuat oleh perusahaan
produksi independen, film independen sering dibuat dan/atau
didistribusikan oleh anak studio besar. Agar dianggap independen, kurang
dari setengah pendanaan film harus berasal dari studio besar. Film
independen kadang dapat dengan mudah dibedakan dengan melihat konten
dan gayanya yang menggambarkan visi artistik pribadi para pembuat film.
Film independen biasanya, namun tidak selalu, dibuat dengan anggaran
yang lebih rendah daripada film-film yang dibuat di studio besar.
Umumnya, pemasaran film independen dapat dilihat dari rilis terbatas
yang dirancang untuk menciptakan kata-kata mulut atau mencapai jumlah
penonton khusus yang kecil.
Akhir
decade 1980-an film Indonesia miris di dagelin dengan Sekwilda atau
Sekitar wilayah paha dan dada, hanya berisikan tema-tema komedi seks,
seks horror, dan full seks dengan tujuan mencapai keuntungan saja.
Dengan mutu rendah dan asal jadi dari segi cerita dan
sinematografi-nya. Saking buruknya kualitas film, Festival Film
Indonesia (FFI) yang digelar sejak 1973 harus dihentikan
penyelenggaraannya pada 1994. Saat itu juga impor film Amerika, Mandarin
dan India merajai di negeri merah putih ini. Menurut cacatan yang
disadur dari Rumah Film, kita menerima 1000 sampai 1200 film asing
pertahun melalui bioskop, televise, video compact disk dan download
melalui internet. Dari catatan BP2N produksi film nasional berkisar 200
sampai 300 film dalam 10 tahun terakhir di 1980-an. Sangat jauh jika
disbanding industry Bollywood yang mampu menembus angka 1000-1500 dalam
10 tahun.
Selama
rentang itu pula tema sinema Indonesia tak pernah bergeser dari seks,
kekerasan, mistis dan sadisme. Ini cermin kegagapan insane film
nasional atas mandeknya kreativitas terpasung aturan main pemerintah.
Tak bisa dipungkirin juga ini merupakan cermin selera pasar yang
rendah. Namun bukan mutlak pula, karena pasar tidak punya pilihan lain
yang disugguhkan oleh sineas yang cerdas kala itu!
Disamping
mandeknya industry film Indonesia akibat aturan yang membatasi, malah
istilah saya cenderung lebih mematikan itu, monopoli bioskop oleh
kelompok bisnis Subentra Group dengan jaringan 21 Cineplex milik
Sudwikatmono, hingga memasung film local , serta bomming sinetron model
opera sabun yang ditayangkan TV swasta awal 1990-an terbukti lebih
populer dibanding film yang digarap sineas negeri ini.
WARNA
dan semangat baru film Indonesia justru muncul saat kelesuan hampir
mencapai titik nadir, dibawa seorang anak muda lulusan Institut
Kesenian Jakarta(IKJ) tahun 1996. Ia Garin Nugroho, yang gelisah atas
kondisi tak bermutunya film Indonesia. Berbekal idealisme dan intuisi
yang cerdas, Garin Nugroho mampu menbaca kebutuhan apresiapsi
masyarakat akan film nasional dengan baik.
Garin
muncul membawa angin perubahan. Dengan mengusung tema yang realis dan
kemampuan visualisasi yang artistic, film-film produksi Garin mampu
memukau penonton yang tengah dilanda dahaga apresiasi. Jika dihitung
(mohon dikoreksi jika salah), dari awal decade 1990-an hanya film Garin
Nugroho yang dinilai mampu bertahan dengan idealisme dan pasar
tersendiri. Debutnya dalam Cinta Sepotong Roti (1991), bikin banyak
kalangan tercengang. Caranya bertutur tentang kehidupan rumah tangga,
problem social hingga perbincangan tentang seks, terkesan elegan dan
tak biasa. Film ini menyabet piala citra dalam FFI 1991 sebagai film
terbaik.
Kemudian,
berturut-turut Garin menyutradarai Surat Untuk Bidadari (1994), Bulan
Tertusuk Ilalang (1995), Daun Di Atas Bantal (1998), Puisi Tak
Terkuburkan (1999), Rembulan Di Ujung Dahan (2002) hingga puluhan
Serial Anak Seribu Pulau (1995) dan Pustaka Anak Nusantara (2001), dua
terakhir ini didedikasikan untuk tayangan di televise hingga mewarnai
acara hiburan media kaca yang cerdas serta apik untuk ditoton pemirsa
di negeri ini.
GARIN
boleh saja jadi ikon, tapi pelatuk yang meledakkan genre sinema
independen tetap dipegang Kuldesak (1998) film bikinan sekelompok anak
muda yang tergabung dalam komunitas Days For Night Films. Mereka, Mira
Lesmana, Riri Riza, Nan Triveni Achnas dan Rizal Mantovani. Kecuali
Rizal, anak-anak muda lulusan sekolah film IKJ ini ter-obsesi untuk
produksi film sendiri. Sebelumnya mereka hanya dikenal sebagai seniman
yang memproduksi , film pendek untuk kebutuhan study dan sekali-sekali
buat iklan layanan masyarakat dan video klip.
Mulanya Kuldesak dikerjakan tahun 1996 dengan mengunakan alat produksi Video Digital yang dipinjam dan sewa sana-sini, dimana peraturan pemerintah masih sangat ketat. Paling repot, diantara seabrek persyaratan tak satupun dari mereka yang pernah jadi Astrada sampai empat kali. Pokoknya Kuldesak butuh 2,5 tahun, sampai 1998 baru tayang di bioskop. Awalnya Mira sempat prustasi. Tapi bagaimanapun rencana tetap jalan, demikian kisah mereka yang dikutip dari Rumah Film.
Secara bisnis Kuldesak memang tak sukses, tapi sejarah mencatat gebrakan mereka. Kuldesak kemudian jadi ikon gerakan film indipenden Indonesia. Film khas kehidupan anak muda metropolitas, sarat konflik dan penyelesaian yang tak biasa dan tak terkesan menggurui.
Sebagai pemicu, Kuldesak layak dibenarkan. Namun semangat filmmaker independen sebenarnya sudah mewabah ke pelosok negeri di era yang sama. Salah satu prestasi awal yang dicapai Independen Indonesia adalah ketika film pendek Gotot Prakosa diundang untuk diputar di Oberhausen Film Festival, Jerman, sebuah festival film pendek tertua dan paling bergengsi di dunia.Walau komunitas film di dekade 80 dan awal 90-an tidak sebanyak sekarang, namun dengan keterbukaan peluang untuk berkarya, gerakan-gerakan yang sifatnya lebih individual dan tertutup mulai berkembang di Indonesia, terutama di Jakarta.
Film Kuldesak, dengan gebrakan tema, budget produksi dan medium yang digunakannya, bersama dengan “Sinema Gerilya” SGA, tidak bisa dipungkiri memulai babak baru dalam sinema independen Indonesia. Bermula dari itu, perlahan-lahan tumbuh komunitas film di Indonesia, sebagian memfokuskan diri hanya pada apresiasi, sebagian lainnya langsung terjun ke dunia praktek dengan memproduksi film-film pendek, dokumenter, maupun feature film. Berbagai festival film independen diberbagai kota kerap dilakukan. Tercatat yang setiap tahunya digelar adalah, Festifal Film Konfiden Jakarta, Festival Film Dokumenter (FFD) Jogyakarta, JIFESt, J-Festival Jember, Kawanusa Bali, Festival Film Bandung (FFB), Festival Film Anak (FFA) Medan, serta beragam festival dan kompetisi film indie lainnya.
Persoalan istilah berikut perkembangan generasi baru film Indonesia
mendapat perhatian serius dari Katinka van Heeren, peneliti pada
Indonesian Mediations Research Project dari Unversitas Leiden Belanda
dalam papernya di International Institue for Asian Studies Newsletter
edisi Agustus 2002.
Ia menulis, "Yang mendorong gerakan ini bukan hanya karena kebetulan
belaka akibat iklim politik pada masa reformasi, tapi lebih penting
lagi, juga berdasar pada ketersediaan media audio visual baru untuk
merekam dan memutar film. Satu elemen dari gerakan film baru
berangkat dari istilah independen atau film independen, yang telah
jadi model dan semboyan bagi banyak anak muda Indonesia untuk membuat
film mereka sendiri."
SOAL istilah dan kriteria memang pelik. Beragam perdebatan saling-silang, berebut kebenaran dalam mendedah definisi dan karakteristik film independen. Sebelum itu, ada baiknya kita sedikit menengok sejarah film independen di kampung asalnya, Amerika. Semangat awalnya mula-mula karena kejenuhan John Cassavettes, filmmaker yang terpengaruh gerakan film di Perancis paruh 1950 hingga 1960-an. Kebosanan Cassavettes atas tema-tema film Hollywood yang kerap mengedepankan populisme, patriotisme, drama romantik dan kekerasan diwujudkan dalam film pertamanya yang kontroversial,
Shadows (1962).
Sosok Cassavettes, oleh Greg Merritt dalam bukunya Celluloid Mavericks, A History Of American Independent Film (2000), digambarkan sangat inovatif. Merritt menyebut Cassavettes seorang inovator, yang
menggunakan teknologi secara benar, tak menggunakan aktor profesional, dan sarat improvisasi. Kritikus film percaya Cassavette sedang memberontak pada Hollywood. Ia dianggap benar-benar menumbuhkan semangat independen.
Satu lagi pelopor indies film, Dennis Hopper, sutradara Easy Rider (1969), yang dibintangi antara lain Peter Fonda, yang berhasil meraup US$ 19 juta. Sejak itu, indies film, istilah film indie di Amerika, tak lagi dipandang sebelah mata. Mau tak mau, Hollywood akhirnya berpaling pada bakat-bakat, tema-tema dan cara pembuatan film yang tak lazim dalam sejarah industri Amerika. Di antara nama-nama besar di era 1980 hingga 1990-an seperti Steven Soderbergh (Sex, Lies and Videotape, 1989), Bob Goldthwait (Shakes The Clown, 1991) dan Peter Jackson (Bad Taste, 1987). Ada dua orang nama yang dianggap paling berpengaruh. Kritikus film menyebut mereka "Legendary Hero Of The 90s". Dua orang berbeda, namun satu
karakter, yakni Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez. Mereka berusia muda, bukan lulusan sekolah film, dan nekat.
Tarantino muda hanyalah seorang penjaga kios video. Pengetahuan dan karakter filmnya dapat dijejaki dari caranya menghafal 2000 judul film lengkap dengan adegan-adegann menariknya. Kelak, kemampuannya
menulis skenario ditentukan dari sini. Debutnya lewat Reservoir Dogs (1992) membelalakkan mata para Hollywooders, yang tak menyangka bakal kedatangan film drama genre baru. Orang-orang yang membuat film diluar kemapanan industri film Holiwood kini malah jadi bagian di dalamnya dan malah menambah warna baru.
menulis skenario ditentukan dari sini. Debutnya lewat Reservoir Dogs (1992) membelalakkan mata para Hollywooders, yang tak menyangka bakal kedatangan film drama genre baru. Orang-orang yang membuat film diluar kemapanan industri film Holiwood kini malah jadi bagian di dalamnya dan malah menambah warna baru.