Alur Cerita
Dengan kata lain,
alur cerita adalah jabaran dan penjelasan
dari apa yang ingin difilmkan. Alhasil, pemilihan dan deskripsi yang
sederhana, dengan pilihan kata tepat, akan sangat membantu siapapun yang
membaca. Pemilihan kata yang mudah divisualkan, sangat penting.
Selektivitas untuk merangkai kata-kata yang mudah divisualkan akan
memperlancar komunikasi pesan dari pembuat film. Pada sisi inilah
alur cerita menjadi satu elemen yang sangat penting untuk dibuat. Ia menjadi bentuk operasional dari ide dan film
statement
film yang kita punyai. Barangkali, sangat sederhana. Makna yang muncul,
tak ubahnya sebuah kontruksi dari cara berpikir dalam membuat film.
Kenapa? Karena, pembuat film akan mencoba mendeskripsikan rencana besar
dari film.
Seringkali terjadi, bahwa pembuat film menuliskan alur film menjadi
sulit untuk dipahami. Kenapa? Satu hal yang menjadi faktor pemicunya
adalah, ketika riset dilakukan, hasil data dan fakta yang didapat tidak
utuh, hanya sepenggalsepenggal, sehingga manakala dirangkai, tidak
menjadi satu kisah yang baik dan mudah dicerna. Barangkali itu hanya
satu temuan. Pada temuan lain, seringkali alur tidak terbangun utuh dan
menarik karena alur ceritanya ditulis dengan tidak lengkap. Belum
terbaca, keinginan dan kejelasan dari pembuat film itu sendiri.
Alur cerita, adalah deskripsi dari film yang akan dibuat. Dari mana
mengawali, menyodorkan persoalan, hingga mengakhiri film itu sendiri.
Tidak mudah tentunya. Apakah demikian? Tidak selamanya menulis alur
cerita itu menjadi sulit. Satu hal yang harus dimilikii oleh semua
pembuat film adalah, data dan fakta macam apa yang sudah didapat.
Merangkai alur, tak ubahnya menyusun data dan fakta dari hasil riset.
Alur cerita, tak ubahnya kerangka dasar dalam menyampaikan cerita
dalam film. Tak dapat dihindari bahwa dalam film inti kisahnya terlebih
dahulu harus dipegang. Mengetahui kerangka cerita secara utuh adalah
sebuah prasyarat mutlak dalam mengembangkan film itu sendiri. Pembuat
film akan tahu, cerita serta pendekatan-pendekatan macam mana yang dapat
digunakan.
Sederhananya adalah, ada tiga babakan baku. Dalam alur cerita, kita
harus memahami bahwa film senantiasa akan ada awalan, isi dan akhir.
Tiga bagian babakan ini, sudah tentu menjadi kerangka utama. Babak awal,
akan berisikan bagaimana kita mampu mengenalkan, mendeskripsikan
persoalan. Baik pengenalan tokoh, wilayah geografi dan suasana.
Sekadar catatan, dari contoh di atas, maka, siapapun akan mengetahui
arah dan apa yang ingin dimunculkan dalam film. Sebuah kisah masa lalu,
dengan hutan yang masih terjaga, namun akhirnya hancur. Hancur, setelah
ada penebangan yang terus menerus dilakukan. Bahkan, sampai menimbulkan
akibat yang sangat mengancam.
Yakni, adanya korban dari banjir tanah longsor dari tebing pinggir
hutan. Yang dulunya justru tak melahirkan ancaman. Kini, setelah tanaman
banyak yang ditebang, ancaman itu bisa muncul setiap saat. Menciptakan
kecemasan pada penduduk asli. Bahkan, pada sisi lain, sungai yang
awalnya sangat jernih, kini sudah keruh. Ini akibat air tanah yang tak
bisa ditahan oleh akar pohon yang sudah mati, dan langsung mengalirkan
keruh air tanah ke sungai. Ancaman lain adalah, ketika banyak pohon
sumber hidup masyarakat dan hewan, satwa di wilayah tersebut ditebang.
Ancaman yang lebih menakutkan, tentunya.
Nampak bahwa, dari alur cerita itu, ada tawaran konflik. Konflik
dengan elemen visual yang bisa direkam oleh kamera, gabungan dari gambar
dan suara. Dengan mudah, akan dipahami alur tersebut. Konflik yang
dengan mudah terbaca, dan menjadi daya tarik dari sebuah film. Mungkin,
pertautan konflik-konflik ini, hanya diperoleh dari hasil riset yang
detail. Maka, para pembuat film seharusnya sadar betapa pentingnya riset
yang detail sebagai bagian penting dari isi alur film yang akan dibuat.
Sederhananya,
alur cerita adalah sebuah lembar kerja yang sangat efektif dalam membangun kisah film dalam segenap aspeknya. Artinya, dalam
alur cerita
akan terungkap sebenarnya cerita yang akan divisualkan. Bukan saja dari
pendekatan kreatif, tetapi juga telah membuka peluang bagi adaptasi
teknis pembuatan itu sendiri. Dalam cerita, sudah tentu, akan terdapat
alur –sekalipun singkat dan sederhana. Juga, akan tertangkap pula,
konflik apa yang sebenarnya ingin disodorkan serta tema besar macam apa
yang akan diuangkap lewat film
Contoh kerangka alur cerita di bawah ini:
Judul
:
Hutan Terakhir
Tema
:
Hancurnya sebuah wilayah hutan, akibat adanya penebangan liar
Tujuan/Pesan
:
Pengelolaan dan penebangan liar, menghancurkan wilayah hutan dan mengakibatkan bencana banjir
Cerita
:
Kegigihan masyarakat di Berau, dalam menjaga hutan dan tanah adat mereka secara bersama-sama
Bentuk
:
Multikarakter (wawancara anggota masyarakat)
Potensi Konflik
:
Ketika banyak sumber ekonomi hutan yang habis, kematian anggota
masyarakat karena bencana banjir, akibat penebangan pohon-pohon hutan
Elemen
:
Footage video hutan di Berau, Kalimantan
Foto hutan di Berau Kalimantan
Kliping koran
Durasi
:
40 menit, Format MiniDV (Betacam, atau Seluloid
Dari deskripsi ide di atas, sebenarnya dapat ditulis alur cerita film yang sangat sederhana sebagai berikut:
“Hutan Terakhir”
Film ini akan diawali dengan kamera yang menangkap gambar
hamparan lahan hutan dengan sisa-sisa pohon rusak dan tebangan pohon di
satu wilayah Berau Kalimantan. Kemudian, beberapa orang penebang masih
sibuk mengikat, dan menarik batang pohon yang telah dipotong menuju ke
sungai.
Gambar berpindah, akan ditampilkan tebing yang longsor, di tepi
wilayah hutan yang gundul. Detail-detail longsoran tanah akibat banjir,
menimbun beberapa rumah penduduk yang ada di sekitarnya ditangkap
kamera. Beberapa orang penduduk masih sibuk menggali timbunan tanah yang
menutup rumah mereka. Tampak Pak Anjang diantara warga desa tersebut.
Ia sedang sibuk bekerja sambil bercakap dengan para warga lain tentang
apa saja yang harus mereka lakukan dalam mengatasi masalah mereka.
Film kemudian menampilkan suasana kantor kabupaten. Keramaian
lalu lintas dan Pak Anjang serta warga desa berjalan memasuki kantor
kabupaten. Beberapa staff di kantor bupati tampak hilir mudik.. Kemudian
terlihat wajah-wajah penduduk yang bercerita tentang kondisi hutan
sebelum ada penebangan, sampai akibat dari banjir yang mengakibatkan
banyak orang meninggal. Selain itu, mereka juga akan mengisahkan,
penebangan hutan, telah membuat sungai-sungai besar menjadi keruh.
Sementara, sebelum adanya penebangan, dasar sungai bisa mereka lihat
dari sampan-sampan yang ditumpangi. Pak Anjang menjelaskan maksud
kedatangan mereka menghadap bupati.
Kemudian cerita akan menampilkan
hasil pertemuan mereka dengan bupati (dari hasil riset, bupati disana
kurnag mendukung upaya pelestarian). Beberapa warga tampak kurang
antusias dengan usaha mereka tersebut, mereka menjelaskan baaimana isyu
yang beredar menyebutkan beberapa perusahaan pemotongan kayu yang ada di
wilayah itu adalah miliki pak bupati. Namun pak Anjang menjelaskan
bahwa mereka harus menempuh jalur birokrasi sesuai aturan hokum dan
tidak serta-merta bertindak anarki.
Dan seterusnya…
Di akhir film akan ditampilkan penduduk yang mempunyai keinginan
untuk mempertahankan tanah adat. Mereka menginginkan, tanah-tanah adat,
makam leluhur, dan beberapa jenis pohon sumber kehidupan mereka, jangan
sampai dirusak dan ditebang.
Dengan demikian, imajinasi pembaca (siapapun) sudah mampu
membayangkan, film macam mana yang akan dikerjakan. Susunannyapun,
terdiri dari serangkaian kata-kata yang membentuk kalimat sederhana.
Sekuens demi sekuens, dan masing-masing senantiasa berkorelasi. Pilihan
kata-kata yang akan ditulis, setidaknya mengandungi makna visual (yang
mudah divisualkan). Sehingga, ketika dirangkai menjadi sebuah kalimat,
dengan mudah akan tertangkap gambaran visualnya. Ini menjadi penting,
karena, alur cerita adalah paparan awal dari film itu sendiri. Yang
dibutuhkan adalah, segenap kejelasan. Semuanya menjadi jelas terlebih
dahulu, sebelum melakukan langkah kerja berikutnya.
Namun, sebagai kerangka dasar, untuk melihat perbedaan-perbedaan
penting lainnya antara video komunitas dengan video dokumenter, mungkin
tabel berikut akan sedikit membantu.*
Slug
Video Dokumenter
Video Komunitas
Siapa menentukan isi?
Pembuat Dokumenter
Warga masyarakat setempat
Siapa menulis naskah?
Pembuat Dokumenter
Sering tidak memerlukan naskah, atau warga setempat bersama-sama menyusunnya
Siapa mengambil gambar?
Pembuat Dokumenter atau pengarah kamera profesional
Warga setempat atau bersama fasilitator (sebagai suatu tim pengarah kolektif)
Siapa penonton utama?
Tak dapat ditentukan, bahkan 'anonim' (tak dikenal oleh pembuat).
Warga setempat, tidak anonim.
Siapa yang menyebarkan?
Pembuat dokumenter kerjasama dengan pihak lain.
Warga setempat kadang dibantu oleh fasilitator.
Siapa yang membiayai?
Pembuat dokumenter atau penyandang dana tertentu.
Masyarakat
Apakah umpan balik diharapkan?
Tidak terlalu diperlukan, bair penonton yang berpikir tentang itu.
Wajib, video itu hanya alat untuk memulai tindakan-tindakan nyata.
Proses atau produk?
Lebih mementingkan produk.
Lebih mementingkan proses.
Apa paradigma dibelakangnya?
Monoisme, obsesi, obyektivitas, subyektif.
Pluralisme, subyektif.
sumber ; http://www.fb.co.id/