Kuldesak dibuat oleh empat sutradara muda dan menjadi benih bangkitnya kembali industri film Indonesia.
Kuldesak bisa dibilang menjadi benih dari serbuan film berformat omnibus yang belakangan ini jamak terjadi. Bahkan, kalau dilihat dari sudut pandang yang lebih luas lagu, Kuldesak juga menjadi salah satu pelopor awal bangkitnya industri perfilman di Indonesia, sebelum hadirnya Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta?.Kehadiran Kuldesak pada tahun 1997 menjadi bahan perbincangan di dalam berbagai komunitas perfilman yang haus akan film Indonesia. Maka wajar jika film yang disutradarai oleh Mira Lesmana, Nan T. Achnas, Riri Riza dan Rizal Mantovani ini cukup menuai kesuksesan.
4 CERITA BERBEDA
Ada empat cerita yang memiliki empat tokoh utama berbeda dengan masalah masing-masing, tapi sama-sama mempunyai impian, keingingan, dan obsesi. Pertama, Dina (Oppie Andaresta), gadis yang mencintai idolanya setengah mati. Ia menonton idolanya di layar televisi di kamarnya dan berharap bisa berpacaran dengannya.
Dina lalu berteman dengan Budi (Harry Suharyadi), seorang homoseksual yang berpacaran dengan Yanto (Gala Rostamaji). Hubungan mereka berdua pada akhirnya pun harus berpisah. Di segmen berikutnya ada Andre (Ryan Hidayat), seorang pemusik yang mengindentifikasikan rasa kesepiannya dengan Kurt Cobain, pentolan vokalis grup musik Nirvana yang bunuh diri.
Kisah ketiga hadir Lina (Bianca Adinegoro), karyawati sebuah perusahaan yang diperkosa saat sedang lembur. Ia kemudian bertekad untuk membalas dendam dengan mencari pemerkosanya. Situasi ironis lalu muncul ketika Lina mengetahu siapa identitas si pemerkosa.
SEBUAH FILM YANG BEBAS
Oleh J.B. Kristanto, pengamat film senior dan penulis buku Katalog Film Indonesia, dalam artikel resensinya tentang Kuldesak menilai bahwa film ini dikemas secara baik sehingga betul-betul mewakili dunia anak muda pada eranya. Terlebih cara penyajiannya pun memakai gaya penuturan video klip. Film ini dibuat betul-betul "melepaskan" diri dari sejarah film Indonesia yang sudah ada sebelumnya.
Salah satu keunikan dari film ini, menurut J.B. Kristanto, adalah upaya para sutradara film ini untuk bersikap netral. Mereka tidak memberikan maksud dan penjelasan soal motivasi dari setiap segmen. Di sini mereka membiarkan para penonton untuk berpikir dan menentukan nilai-nilai yang akan mereka ambil.
Mengutip dari tulisan pengantar dari kineforum tentang acara Filmmakers Forum: Retrospeksi Kuldesak, fakta membuktikan bahwa film Indonesia pernah mengalami hal keterpurukan. Kondisi ini menunjukkan ada sebuah generasi baru perfilman Indonesia yang seolah terputus dari sejarahnya, dan dari segi gagasan.
Para sutradara Kuldesak ini boleh dibilang berangkat hampir tanpa gagasan, atau kalaupun ada, gagasan kecil dan remeh. Mereka sangat menikmati proses pembuatan film ini, tanpa beban gagasan atau hal lainnya. Film ini akhirnya memang terbukti memberi warna baru dan segar pada perfilman nasional. Tak hanya itu, para sutradaranya pun terbukti sukses berkarier di industri film Indonesia.
sumber : www.muvila.com/