oleh: Ariani Darmawan
Saya berani traktir masakan termahal di kota ini untuk mereka yang berani mengatakan bahwa ‘membuat film itu mudah’. Tentunya traktiran itu menuntut bincang-bincang santai, karena saya ingin mendengar argumen maupun teori siapa-pun-dia. Bagi saya, membuat film itu sangat rumit (maka tulisan ini terpaksa panjang lebar).
Menjelang akhir 2008, Harlan ‘Bin’ Boer dan Cholil Mahmud dari grup musik Efek Rumah Kaca (ERK) datang ke Rumah Buku/Kineruku (tempat saya bekerja) dan mengutarakan keinginan untuk berkolaborasi membuat sebuah film panjang. Setelah menggodok ide, kami memutuskan untuk menuliskan sebuah skenario film panjang yang terinspirasi musik-musik ERK. Diajaklah teman seperguruan, Tumpal Tampubolon, dan Budi Warsito (rekan kerja di Kineruku). Sebelumnya saya, Budi, dan Tumpal telah menghasilkan film pendek berjudul The Anniversaries yang diproduksi oleh JiFFest dan Salto Films.
Dengan dasar saling menyukai dan menghargai karya satu sama lain, tim skenario dengan semangat melontarkan beberapa ide, hingga akhirnya sepakat untuk mengembangkan skenario yang kini berjudul Di Mana Rafael?. Cerita ini berkisah tentang seorang anak laki-laki yang mencuri seekor kura-kura, dan bagaimana kejadian tersebut membuat heboh kehidupan dua anak lainnya (si pemilik kura-kura, dan seorang anak perempuan yang berusaha keras mengembalikan kura-kura tersebut demi mendapatkan reward handphone). Efek Rumah Kaca nantinya akan merespons skenario ini dengan membuat album baru bertemakan anak-anak, yang sekaligus menjadi soundtrack film.
Setelah melewati satu tahun penulisan, skenario Di Mana Rafael? kini berembel-embel draft 5. Proses penulisan bisa dibilang cukup menyenangkan: ditulis bertiga, kami membagi tugas penulisan dengan masing-masing menulis/memperdalam cerita per karakter. Lalu kami memperhalusnya secara bergantian.
Di tengah-tengah penulisan, saya mengajak teman saya Veronica Kusuma untuk turut serta. Tim kini berintikan 5 orang: saya, Budi, Tumpal, Vero, dan Bin. Kami bertemu rutin tiap 1-2 bulan sekali. Sejalan dengan pembahasan skenario, dibuatlah perkiraan bujet yang spontan membuat kepala kami cenat-cenut. Maklum, saya, Bin dan Vero (yang bertindak sebagai ‘produser’) jarang-jarang melihat figur angka sebesar itu: satu koma sekian milyar. Ini tentunya adalah perhitungan di mana semua pemain, kru mendapatkan uang layak (belum tentu berarti besar), juga peralatan syuting dan pasca-produksi digital yang mumpuni (bukan berarti canggih). Padahal, rata-rata biaya pembuatan film layar lebar di Indonesia adalah 4 kali di atas itu.
Setelah mencermati proposal bujet, saya menemukan beberapa fakta perhitungan: 45% jumlah dana dialokasikan untuk sumber daya manusia (termasuk penulis skenario), 20% digunakan untuk peralatan produksi (kamera, sound), sedangkan 20% untuk pasca produksi (editing dan sound mixing). Saya dan Vero mengutak-atik angka tersebut, hingga menembus angka di bawah 1. Dengan catatan tim kru utama rela tidak dibayar penuh, dan beberapa peralatan syuting kami pinjam/beli sebagai modal awal. Padahal, setelah membuat film pendek terakhir saya, Sugiharti Halim, diam-diam saya berjanji untuk tidak (lagi) membuat proyek dengan mengajak teman-teman bekerja dengan bayaran persahabatan. Apalagi dalam sebuah proyek film panjang yang menyita waktu banyak, sudah waktunya berusaha lebih profesional.
Angka-angka banyak nol itu otomatis membuat saya –yang membuat film pendek pertama dengan biaya seratus lima puluh ribu rupiah– mulai mengelus dada. Bin yang mengaku membuat rekaman (fenomenal) pertama Efek Rumah Kaca dengan bujet lima belas juta juga berpikir keras. Satu hal yang kami mulai sadari adalah, bujet film panjang memang tidak murah, karena menyangkut sumber daya (ahli) yang tidak sedikit.
Saya yang di awal merencanakan syuting dilakukan dengan 20 kru lalu mengubah strategi untuk bisa melakukan produksi dengan maksimal 10 orang saja. Roberto Rodriguez mampu membuat El Mariachi dengan 1 kru utama, yaitu dia sendiri! Film memukau A Wonderful Town karya Adhitya Assarat seingat saya hanya beranggotakan 15 kru. Saya dan Vero pun pede untuk bisa maju jalan dengan bujet setengah di awal.
Namun pertanyaan mendasar tetap mengganjal: bagaimana cara mendapatkan uang tersebut?
Belum juga mendapat jawaban di atas, kami sudah harus mulai mengasah otak tentang masalah distribusi, satu hal yang sangat fundamental dan sering kali dikesampingkan. Karena biaya yang dikeluarkan untuk membuat film-film pendek saya cukup rendah, praktis sejauh ini saya hanya berpikir singkat tentang masalah distribusi. Dipasang dari festival ke festival sudah cukup memuaskan. Dalam kasus film dokumenter saya yang berjudul Anak Naga Beranak Naga, harapan juga tidak muluk-muluk: sejauh ia bisa direproduksi dalam bentuk DVD dan didistribusikan secara ekonomis ke orang-orang yang membutuhkannya.
Sebetulnya logika yang dipakai dalam membuat karya apa pun sama, yaitu: ‘balik modal’. ‘Balik modal’ di sini bervariasi bentuknya, tapi pada dasarnya diartikan sebagai ‘memuaskan’ –sesuai hakikat karya tersebut. Namun, karena bujet pembuatan film panjang sangat besar, dibutuhkanlah pihak ketiga, yaitu investor/pemodal. Sayangnya, bagi mereka ‘balik modal’ hanya bisa diartikan seharafiah-harafiahnya yaitu: balik modal uang. Kalau tidak dalam bentuk uang pun, pasti ada kompensasi berat yang harus kita lunasi bila pada akhirnya uang tersebut tidak berhasil kita kembalikan. Kami lalu sadar, bahwa keahlian kreatif saja tidak cukup untuk membuat film dengan baik dan benar.
Tapi mari kita definisikan apakah ‘baik dan benar’ itu, dalam sistem pendanaan dan distribusi film di Indonesia.
Di sini saya bicara tentang film popular (berorientasi publik dalam negeri), bukan art-house films yang mayoritas mendapatkan biaya dari pendanaan luar negeri dan diedarkan dari festival ke festival.
Kenyataan mengatakan bahwa penonton terbanyak yang bisa dijaring oleh sebuah film adalah melalui jaringan bioskop 21, dan apabila kami mengajukan proposal ke investor, rasanya tidak ada jalan lain selain mencari keuntungan dari penjualan tiket sebesar mungkin. Sayangnya, hingga kini bioskop 21 belum mau membuka diri untuk proyeksi film secara digital (NB: bujet produksi film secara digital jauh lebih rendah ketimbang seluloid). Itu artinya, pembuat film digital yang hendak memasukkan filmnya ke bioskop 21, haruslah mentransfer dan menggandakan film mereka ke bentuk gulungan seluloid. Dengan perhitungan transfer dan penggandaan 20 kopi film (jumlah yang sangat minim dari total 600-an layar di Indonesia), bujet harus bertambah sekitar 500 juta rupiah.
Pembengkakan bujet tentunya tidak berhenti di situ saja. Karena terlanjur mengeluarkan uang yang besar dalam distribusi, produser film biasanya bertendensi untuk juga habis-habisan di promosi –pemasangan baliho, iklan cetak dan radio, liputan media– demi mendapatkan sebesar-besarnya perhatian calon penonton. Tidak jarang bujet promosi sebuah film sama besar, atau bahkan lebih besar dari bujet produksi film itu sendiri.
Dalam sebuah pertemuan, saya bilang ke Bin, “Kita lupain 21 deh.” Secara bawah sadar pernyataan itu mencerminkan campuran rasa takut atas modal besar distribusi yang belum-belum harus kita pertanggungjawabkan, dan bahwa itikad saya membuat film bukan untuk menguntungkan pihak-pihak pengusaha, tapi sesederhana untuk bisa berkomunikasi dengan para penonton. Bukannya saya keberatan dengan outlet-outlet distribusi yang mengambil untung (semua usaha juga harus untung!), tapi kenapa harus para kreator lokal yang digencet? Bukankah ujung-ujungnya kita adalah konsumen utama para pengusaha tersebut? Jika ini terus berlangsung, maka jangan salahkan para orang tua bahwa anak-anak mereka menjadi semakin konsumtif, bodoh, dan tidak kreatif. Mayoritas sistem yang (terpaksa) mapan di negeri ini tidak memberi jalan bagi masyarakat untuk mengembangkan kreativitas.
Secara logis, saya mengutarakan alasan saya pada Bin: “Ini kemungkinan terburuk, tapi sangat mungkin terjadi: Bayangkan kita masuk bioskop 21 dengan bujet pas-pasan, yang artinya tanpa promosi yang cukup. Film kita mulai diputar bioskop 21 hari Rabu. Space iklan jadwal bioskop di koran yang mampu kita bayar hanya 2 x 3 cm. Para moviegoers melihatnya sebagai ‘film Indonesia gak jelas nih’. Hari Sabtu, minim penonton. Konon, banyak tidaknya penonton di hari ini akan menentukan apakah film kita akan lanjut ditayangkan atau tidak. Minggu depannya film kita pun lenyap dari peredaran.” Singkatnya, pembuat film tidak punya hak tayang ataupun daya tawar yang cukup. Modal besar sudah dikeluarkan untuk distribusi dan sedikit promosi, sementara uang yang kembali tidak sampai setengahnya.
Yang saya takutkan bukan hanya kenyataan bahwa film kita tidak cukup meraup penonton di bioskop 21, namun dampak setelah itu. Film yang hanya bertahan sebentar di bioskop otomatis berimej buruk. Kita pun kehilangan momen selanjutnya: penjualan DVD, pemutaran-pemutaran keliling, dan moda-moda distribusi lainnya karena sudah terlanjur dicap ‘film gak laku’. Pembuat film terlilit hutang, karyanya tidak ditonton. Ini lebih buruk dari mimpi buruk.
Mungkin ada yang bertanya: kenapa tidak didistribusikan dahulu secara non-komersial sekaligus tes pasar, dan ketika animo cukup banyak, baru diedarkan secara komersial? Masalahnya, bioskop-bioskop umum di Indonesia (termasuk Blitz) menginginkan pemutaran perdana di tempat mereka. Kasus ini terjadi pada film Belkibolang (antologi karya 9 pembuat film) yang batal diputar di Blitz Jakarta hanya karena film tersebut diputar (sekali saja) seminggu sebelumnya secara non-komersial di Salihara. Padahal bila jeli, pihak bioskop semestinya menganggap pra-pemutaran di tempat lain sebagai promosi awal gratis untuk film yang akan dipasang di tempat mereka.
Lalu apa cara distribusi paling ideal, agar film bermodal pas-pasan bisa meraih penonton sebanyak yang ia mampu, minimal mengembalikan uang produksi?
Sammaria Simanjuntak, pembuat film asal Bandung, membuat film panjang pertamanya, cin(T)a, dengan bujet total sekitar 200 juta. Ia tidak memikirkan permasalahan distribusi hingga filmnya selesai diedit. Dengan buzz yang bergaung keras dan masif (salah satunya adalah berita pemutaran perdana di London), filmnya yang diputar selama enam minggu di Blitz serta roadshow keliling Indonesia berhasil meraup total 30.000-an penonton. Distribusi pun berlanjut dalam bentuk DVD. Menurut saya, ini adalah pencapaian besar bagi sebuah film bermodal kecil.
Keberhasilan distribusi film cin(T)a menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada jalan untuk menggiring masyarakat kita menonton film-film layar lebar di luar jalur utama. Juga bagi pembuat film untuk meraih pendapatan minimal untuk mengembalikan modal produksi film-film mereka. Perlu diingat bahwa Blitz Megaplex bertoleransi terhadap film digital (walaupun mereka masih bermasalah dengan kualitas sound).
Pertanyaan berikutnya adalah, dengan distribusi alternatif, masih perlukah kita memutar film secara perdana di bioskop umum?
Bila bujet pas-pasan dan kita bermaksud membuat film untuk dinikmati dan diapresiasi penonton (bukan semata meraup keuntungan), apakah bioskop umum adalah eksibitor paling cocok? Kami lalu berpikir untuk mengeluarkan film Di Mana Rafael? secara straight-to-DVDs. Tentu DVD harus dikemas semenarik mungkin, disertai bonus-bonus ciamik. Dengan cara ini film kami punya potensi untuk lebih berumur panjang, asal disertai promosi/reminder yang baik dari masa ke masa.
Ini sejalan dengan teori The Long Tail-nya Chris Anderson, editor-in-chief majalah Wired. Ia mengatakan bahwa kita sekarang telah sampai pada sebuah model baru ekonomi, di mana tren lama: Jual-sebanyak-banyaknya-hari-ini telah berubah menjadi tren baru: Jual-sedikit-tapi-terus-menerus. Ia juga mengamati bagaimana jumlah penjualan buku/musik/film best-seller di toko online kini terkalahkan dengan karya-karya ‘terlewat’ yang bisa jadi diterbitkan puluhan tahun lalu. Belum lagi bila kita melihat kecenderungan masyarakat masa kini yang mendewakan tren masa lalu. Bagaimana yang sedikit ini agar bisa terus-menerus diakses orang? Kita memang membutuhkan lebih banyak lagi situs-situs dan outlet-outlet distribusi/eksibisi dengan keberpihakan yang jelas: para kreatif yang berani membuat karya segar bergizi, dan konsumen lokal. Dalam kasus film, mereka adalah masyarakat penonton yang jengah dengan film-film Indonesia murahan yang setiap harinya menyesaki bioskop kita. Hanya dengan demikian pasar baru bisa diciptakan.
Soal ide straight-to-DVDs, publik bicara tentang beberapa kekurangan:
memang lebih ideal untuk memutar film kita di ruang bioskop dengan kualitas audio visual yang memadai; format DVD (home video) meniadakan kemungkinan sebuah film memberi makna bagi ruang publik; dan siapa investor yang sudi membiayai sebuah film yang hanya akan diproduksi dalam bentuk DVD, dengan pengembalian uang jangka panjang (atau panjang sekali)?
Jawaban saya adalah: bukan berarti setelah keluar dalam bentuk DVD sebuah film akan berhenti berbicara dengan penontonnya. Bila keinginan pembuat dan penonton film adalah untuk berkomunikasi secara langsung, sangat mungkin bagi mereka yang berkepentingan untuk mengorganisasi pemutaran-pemutaran khusus (di kota-kota tertentu), dengan syarat minimal jumlah penonton dan kelayakan perangkat audio visual. Ini justru akan melahirkan kemunculan bioskop-bioskop alternatif secara merata di kota-kota Indonesia. Dengan kata lain: tidak hanya pembuat film yang memaknai proses distribusi (cara baru)-nya, tapi juga para penonton dan penggiat film.
Selain DVD, seperti digambarkan di bagan di atas, kita memiliki beberapa cara distribusi lain yang mungkin tidak bisa langsung mencapai banyak penonton, melainkan secara perlahan dan gradual. Melalui internet, layar tancap, atau pemutaran khusus/regular di bioskop alternatif, distribusi bisa dijalankan secara custom dan terkontrol karena tidak menyangkut pihak-pihak pengusaha berkapital besar (pemilik saluran TV, pemilik bioskop) yang berada di luar jangkauan kita.
Pengembangan bioskop-bioskop alternatif di kota-kota seluruh Indonesia ini sebenarnya bisa dijadikan peluang usaha distribusi film, penyewaan ruangan, alat audio/visual, maupun event organizer setempat. Satu hal yang perlu diubah dalam pemutaran bioskop alternatif adalah membuatnya berbayar seperti layaknya bioskop umum. Sangat wajar bagi tim organizer untuk menerapkan sistem ticketing, kecuali penyelenggara telah mendapatkan sponsor penuh untuk pemutaran film. Dana yang didapatkan tidak hanya berfungsi menutup biaya pemutaran film, tetapi juga meningkatkan kepedulian para penonton film terhadap film-film lokal. Dengan cara inilah kualitas profesi pekerja, penonton film, penggiat film, serta film-film Indonesia dapat naik kelas.
Cara baru distribusi ini tentunya akan melahirkan cara-cara baru pula pada pendanaan film di Indonesia.
Dengan anggapan bahwa bioskop umum bukan satu-satunya moda distribusi, kita membuka kemungkinan baru dalam sistem pendanaan film, yaitu mendekatkan komponen utama hulu dan hilir film: pembuat dan penonton. Untuk teman-teman yang belum pernah menengok situs kickstarter.com, silakan kunjungi dan pelajari. Dengan tagline “Fund and Follow Creativity“, situs tersebut mempertemukan para kreatif dengan calon penikmat (yang juga sekaligus pendana karya mereka). Kelebihannya? Ketika produk jadi, mereka menjadi orang-orang pertama yang berkesempatan menikmati produk tersebut sesuai dengan cara dan kebutuhan mereka.
Dalam hal ini, para kreator dituntut untuk berkarya sekreatif mungkin, tidak hanya dalam membuat produk, tapi pilihan-pilihan ‘reward atas donasi’ yang mereka tawarkan kepada pendana mereka. Dalam contoh kasus di kickstarter.com, sebuah film romantik komedi berjudul SPLIT berhasil meraih dana lebih dari yang mereka butuhkan yaitu $ 20,000. Si kreator memberikan macam-macam opsi reward atas donasi pendana, mulai dari $10 mendapatkan panel storyboard asli; $100 mendapatkan DVD, special thanks di credit title film, mini poster yang ditandatangani sutradara; hingga $5000 menonton film bersama si pembuat, tiket pemutaran perdana film, dan meet & greet bersama cast dan kru.
Dengan cara semacam ini, sistem pendanaan oleh investor/sponsor besar dapat direduksi oleh keberadaan investor-investor kecil dalam jumlah banyak, yaitu para penikmat film itu sendiri. Cara ini juga membuka kesempatan bagi para penikmat film untuk terlibat dan mengikuti proses penciptaan film-film yang ingin mereka tonton. Besarnya donasi tentu lebih tinggi dari harga tiket nonton bioskop, tapi reward yang didapatkan jauh lebih berarti karena didesain secara personal dan terbatas.
Secara ideal, cara ini menyederhanakan tidak hanya masalah pendanaan, tetapi juga promosi film. Dengan terciptanya kumpulan calon penonton/pendana/follower, promosi tidak lagi dilakukan secara terpusat oleh baliho/iklan cetak tapi secara organik diedarkan melalui jaringan-jaringan sosial, dari mulut ke mulut, jauh sebelum hingga sesudah karya tersebut beredar. Pasar yang besar bermula dari individu-individu kecil yang memiliki ketertarikan dan kepentingan sama.
Tentu tidak semua film yang mencari dana dengan cara ini akan mendapat dukungan sesuai harapan. Justru wadah semacam kickstarter.com ini adalah lahan uji yang baik bagi produk-produk berorientasi publik. Sinopsis film dan opsi reward yang menarik, juga latar belakang kreator yang meyakinkan akan lebih dilirik oleh calon pendana. Keahlian para kreator dituntut berkembang, sejalan dengan meningkatnya kepedulian para penonton/pendana.
Bila Anda membaca tulisan ini dan berpikir: ribet banget ya bikin film. Atau para penonton mungkin bertanya: duh, kok gak bisa sesimpel dateng ke bioskop, beli karcis, dan nonton sih?
Jawabannya: saya juga tidak akan menulis panjang lebar (atau bahkan tidak perlu menulis) jika iklim perfilman di negeri ini sehat-sehat saja. Tapi lihat bioskop umum kita, bahkan katanya film impor sebentar lagi akan berhenti diedarkan. Artinya, yang tinggal hanya film-film Indonesia yang mayoritas busuk; beredar hanya demi meraup keuntungan tanpa memikirkan isi dan kesegaran bentuk. Sebagai pembuat maupun penikmat film, saya menolak untuk membuat atau menonton film-film semacam itu. Seperti halnya negeri ini, segala yang berada di pusaran atas sudah gelap berkabut; hidup kita dipenuhi kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang-orang picik (dan licik). Tapi saya yakin, kita yang berada di pusaran bawah ini lebih dari sekadar orang-orang kecil. Kita bisa punya andil besar asal berani menentukan jalan sendiri. Saya yakin cara pendistribusian film yang baru akan melahirkan cara pendanaan film yang baru, dan kontekstual.
Tentu saya tidak ingin sekadar banyak omong. Saya bersama beberapa teman yang sama-sama sedang berusaha membuat film masing-masing secara independen, sedang membangun sebuah
wadah/platform semacam kickstarter.com, berkonsentrasi khusus pada pendanaan film-film panjang (fiksi maupun dokumenter) Indonesia. Kami sadar usaha ini butuh pemikiran mendalam, waktu, dan dana tidak sedikit. Namun di atas itu semua, yang sangat dibutuhkan adalah kesadaran dan kepedulian bersama para pembuat dan penonton film Indonesia. Kita yang sadar perfilman negeri ini sudah bobrok mungkin bisa berhenti mengeluh, dan mulai melakukan sesuatu. Dengan cara baru. [ ]
Saya berani traktir masakan termahal di kota ini untuk mereka yang berani mengatakan bahwa ‘membuat film itu mudah’. Tentunya traktiran itu menuntut bincang-bincang santai, karena saya ingin mendengar argumen maupun teori siapa-pun-dia. Bagi saya, membuat film itu sangat rumit (maka tulisan ini terpaksa panjang lebar).
Menjelang akhir 2008, Harlan ‘Bin’ Boer dan Cholil Mahmud dari grup musik Efek Rumah Kaca (ERK) datang ke Rumah Buku/Kineruku (tempat saya bekerja) dan mengutarakan keinginan untuk berkolaborasi membuat sebuah film panjang. Setelah menggodok ide, kami memutuskan untuk menuliskan sebuah skenario film panjang yang terinspirasi musik-musik ERK. Diajaklah teman seperguruan, Tumpal Tampubolon, dan Budi Warsito (rekan kerja di Kineruku). Sebelumnya saya, Budi, dan Tumpal telah menghasilkan film pendek berjudul The Anniversaries yang diproduksi oleh JiFFest dan Salto Films.
Dengan dasar saling menyukai dan menghargai karya satu sama lain, tim skenario dengan semangat melontarkan beberapa ide, hingga akhirnya sepakat untuk mengembangkan skenario yang kini berjudul Di Mana Rafael?. Cerita ini berkisah tentang seorang anak laki-laki yang mencuri seekor kura-kura, dan bagaimana kejadian tersebut membuat heboh kehidupan dua anak lainnya (si pemilik kura-kura, dan seorang anak perempuan yang berusaha keras mengembalikan kura-kura tersebut demi mendapatkan reward handphone). Efek Rumah Kaca nantinya akan merespons skenario ini dengan membuat album baru bertemakan anak-anak, yang sekaligus menjadi soundtrack film.
Setelah melewati satu tahun penulisan, skenario Di Mana Rafael? kini berembel-embel draft 5. Proses penulisan bisa dibilang cukup menyenangkan: ditulis bertiga, kami membagi tugas penulisan dengan masing-masing menulis/memperdalam cerita per karakter. Lalu kami memperhalusnya secara bergantian.
Di tengah-tengah penulisan, saya mengajak teman saya Veronica Kusuma untuk turut serta. Tim kini berintikan 5 orang: saya, Budi, Tumpal, Vero, dan Bin. Kami bertemu rutin tiap 1-2 bulan sekali. Sejalan dengan pembahasan skenario, dibuatlah perkiraan bujet yang spontan membuat kepala kami cenat-cenut. Maklum, saya, Bin dan Vero (yang bertindak sebagai ‘produser’) jarang-jarang melihat figur angka sebesar itu: satu koma sekian milyar. Ini tentunya adalah perhitungan di mana semua pemain, kru mendapatkan uang layak (belum tentu berarti besar), juga peralatan syuting dan pasca-produksi digital yang mumpuni (bukan berarti canggih). Padahal, rata-rata biaya pembuatan film layar lebar di Indonesia adalah 4 kali di atas itu.
Setelah mencermati proposal bujet, saya menemukan beberapa fakta perhitungan: 45% jumlah dana dialokasikan untuk sumber daya manusia (termasuk penulis skenario), 20% digunakan untuk peralatan produksi (kamera, sound), sedangkan 20% untuk pasca produksi (editing dan sound mixing). Saya dan Vero mengutak-atik angka tersebut, hingga menembus angka di bawah 1. Dengan catatan tim kru utama rela tidak dibayar penuh, dan beberapa peralatan syuting kami pinjam/beli sebagai modal awal. Padahal, setelah membuat film pendek terakhir saya, Sugiharti Halim, diam-diam saya berjanji untuk tidak (lagi) membuat proyek dengan mengajak teman-teman bekerja dengan bayaran persahabatan. Apalagi dalam sebuah proyek film panjang yang menyita waktu banyak, sudah waktunya berusaha lebih profesional.
Angka-angka banyak nol itu otomatis membuat saya –yang membuat film pendek pertama dengan biaya seratus lima puluh ribu rupiah– mulai mengelus dada. Bin yang mengaku membuat rekaman (fenomenal) pertama Efek Rumah Kaca dengan bujet lima belas juta juga berpikir keras. Satu hal yang kami mulai sadari adalah, bujet film panjang memang tidak murah, karena menyangkut sumber daya (ahli) yang tidak sedikit.
Saya yang di awal merencanakan syuting dilakukan dengan 20 kru lalu mengubah strategi untuk bisa melakukan produksi dengan maksimal 10 orang saja. Roberto Rodriguez mampu membuat El Mariachi dengan 1 kru utama, yaitu dia sendiri! Film memukau A Wonderful Town karya Adhitya Assarat seingat saya hanya beranggotakan 15 kru. Saya dan Vero pun pede untuk bisa maju jalan dengan bujet setengah di awal.
Namun pertanyaan mendasar tetap mengganjal: bagaimana cara mendapatkan uang tersebut?
Belum juga mendapat jawaban di atas, kami sudah harus mulai mengasah otak tentang masalah distribusi, satu hal yang sangat fundamental dan sering kali dikesampingkan. Karena biaya yang dikeluarkan untuk membuat film-film pendek saya cukup rendah, praktis sejauh ini saya hanya berpikir singkat tentang masalah distribusi. Dipasang dari festival ke festival sudah cukup memuaskan. Dalam kasus film dokumenter saya yang berjudul Anak Naga Beranak Naga, harapan juga tidak muluk-muluk: sejauh ia bisa direproduksi dalam bentuk DVD dan didistribusikan secara ekonomis ke orang-orang yang membutuhkannya.
Sebetulnya logika yang dipakai dalam membuat karya apa pun sama, yaitu: ‘balik modal’. ‘Balik modal’ di sini bervariasi bentuknya, tapi pada dasarnya diartikan sebagai ‘memuaskan’ –sesuai hakikat karya tersebut. Namun, karena bujet pembuatan film panjang sangat besar, dibutuhkanlah pihak ketiga, yaitu investor/pemodal. Sayangnya, bagi mereka ‘balik modal’ hanya bisa diartikan seharafiah-harafiahnya yaitu: balik modal uang. Kalau tidak dalam bentuk uang pun, pasti ada kompensasi berat yang harus kita lunasi bila pada akhirnya uang tersebut tidak berhasil kita kembalikan. Kami lalu sadar, bahwa keahlian kreatif saja tidak cukup untuk membuat film dengan baik dan benar.
Tapi mari kita definisikan apakah ‘baik dan benar’ itu, dalam sistem pendanaan dan distribusi film di Indonesia.
Di sini saya bicara tentang film popular (berorientasi publik dalam negeri), bukan art-house films yang mayoritas mendapatkan biaya dari pendanaan luar negeri dan diedarkan dari festival ke festival.
Kenyataan mengatakan bahwa penonton terbanyak yang bisa dijaring oleh sebuah film adalah melalui jaringan bioskop 21, dan apabila kami mengajukan proposal ke investor, rasanya tidak ada jalan lain selain mencari keuntungan dari penjualan tiket sebesar mungkin. Sayangnya, hingga kini bioskop 21 belum mau membuka diri untuk proyeksi film secara digital (NB: bujet produksi film secara digital jauh lebih rendah ketimbang seluloid). Itu artinya, pembuat film digital yang hendak memasukkan filmnya ke bioskop 21, haruslah mentransfer dan menggandakan film mereka ke bentuk gulungan seluloid. Dengan perhitungan transfer dan penggandaan 20 kopi film (jumlah yang sangat minim dari total 600-an layar di Indonesia), bujet harus bertambah sekitar 500 juta rupiah.
Pembengkakan bujet tentunya tidak berhenti di situ saja. Karena terlanjur mengeluarkan uang yang besar dalam distribusi, produser film biasanya bertendensi untuk juga habis-habisan di promosi –pemasangan baliho, iklan cetak dan radio, liputan media– demi mendapatkan sebesar-besarnya perhatian calon penonton. Tidak jarang bujet promosi sebuah film sama besar, atau bahkan lebih besar dari bujet produksi film itu sendiri.
Dalam sebuah pertemuan, saya bilang ke Bin, “Kita lupain 21 deh.” Secara bawah sadar pernyataan itu mencerminkan campuran rasa takut atas modal besar distribusi yang belum-belum harus kita pertanggungjawabkan, dan bahwa itikad saya membuat film bukan untuk menguntungkan pihak-pihak pengusaha, tapi sesederhana untuk bisa berkomunikasi dengan para penonton. Bukannya saya keberatan dengan outlet-outlet distribusi yang mengambil untung (semua usaha juga harus untung!), tapi kenapa harus para kreator lokal yang digencet? Bukankah ujung-ujungnya kita adalah konsumen utama para pengusaha tersebut? Jika ini terus berlangsung, maka jangan salahkan para orang tua bahwa anak-anak mereka menjadi semakin konsumtif, bodoh, dan tidak kreatif. Mayoritas sistem yang (terpaksa) mapan di negeri ini tidak memberi jalan bagi masyarakat untuk mengembangkan kreativitas.
Secara logis, saya mengutarakan alasan saya pada Bin: “Ini kemungkinan terburuk, tapi sangat mungkin terjadi: Bayangkan kita masuk bioskop 21 dengan bujet pas-pasan, yang artinya tanpa promosi yang cukup. Film kita mulai diputar bioskop 21 hari Rabu. Space iklan jadwal bioskop di koran yang mampu kita bayar hanya 2 x 3 cm. Para moviegoers melihatnya sebagai ‘film Indonesia gak jelas nih’. Hari Sabtu, minim penonton. Konon, banyak tidaknya penonton di hari ini akan menentukan apakah film kita akan lanjut ditayangkan atau tidak. Minggu depannya film kita pun lenyap dari peredaran.” Singkatnya, pembuat film tidak punya hak tayang ataupun daya tawar yang cukup. Modal besar sudah dikeluarkan untuk distribusi dan sedikit promosi, sementara uang yang kembali tidak sampai setengahnya.
Yang saya takutkan bukan hanya kenyataan bahwa film kita tidak cukup meraup penonton di bioskop 21, namun dampak setelah itu. Film yang hanya bertahan sebentar di bioskop otomatis berimej buruk. Kita pun kehilangan momen selanjutnya: penjualan DVD, pemutaran-pemutaran keliling, dan moda-moda distribusi lainnya karena sudah terlanjur dicap ‘film gak laku’. Pembuat film terlilit hutang, karyanya tidak ditonton. Ini lebih buruk dari mimpi buruk.
Mungkin ada yang bertanya: kenapa tidak didistribusikan dahulu secara non-komersial sekaligus tes pasar, dan ketika animo cukup banyak, baru diedarkan secara komersial? Masalahnya, bioskop-bioskop umum di Indonesia (termasuk Blitz) menginginkan pemutaran perdana di tempat mereka. Kasus ini terjadi pada film Belkibolang (antologi karya 9 pembuat film) yang batal diputar di Blitz Jakarta hanya karena film tersebut diputar (sekali saja) seminggu sebelumnya secara non-komersial di Salihara. Padahal bila jeli, pihak bioskop semestinya menganggap pra-pemutaran di tempat lain sebagai promosi awal gratis untuk film yang akan dipasang di tempat mereka.
Lalu apa cara distribusi paling ideal, agar film bermodal pas-pasan bisa meraih penonton sebanyak yang ia mampu, minimal mengembalikan uang produksi?
Sammaria Simanjuntak, pembuat film asal Bandung, membuat film panjang pertamanya, cin(T)a, dengan bujet total sekitar 200 juta. Ia tidak memikirkan permasalahan distribusi hingga filmnya selesai diedit. Dengan buzz yang bergaung keras dan masif (salah satunya adalah berita pemutaran perdana di London), filmnya yang diputar selama enam minggu di Blitz serta roadshow keliling Indonesia berhasil meraup total 30.000-an penonton. Distribusi pun berlanjut dalam bentuk DVD. Menurut saya, ini adalah pencapaian besar bagi sebuah film bermodal kecil.
Keberhasilan distribusi film cin(T)a menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada jalan untuk menggiring masyarakat kita menonton film-film layar lebar di luar jalur utama. Juga bagi pembuat film untuk meraih pendapatan minimal untuk mengembalikan modal produksi film-film mereka. Perlu diingat bahwa Blitz Megaplex bertoleransi terhadap film digital (walaupun mereka masih bermasalah dengan kualitas sound).
Pertanyaan berikutnya adalah, dengan distribusi alternatif, masih perlukah kita memutar film secara perdana di bioskop umum?
Bila bujet pas-pasan dan kita bermaksud membuat film untuk dinikmati dan diapresiasi penonton (bukan semata meraup keuntungan), apakah bioskop umum adalah eksibitor paling cocok? Kami lalu berpikir untuk mengeluarkan film Di Mana Rafael? secara straight-to-DVDs. Tentu DVD harus dikemas semenarik mungkin, disertai bonus-bonus ciamik. Dengan cara ini film kami punya potensi untuk lebih berumur panjang, asal disertai promosi/reminder yang baik dari masa ke masa.
Ini sejalan dengan teori The Long Tail-nya Chris Anderson, editor-in-chief majalah Wired. Ia mengatakan bahwa kita sekarang telah sampai pada sebuah model baru ekonomi, di mana tren lama: Jual-sebanyak-banyaknya-hari-ini telah berubah menjadi tren baru: Jual-sedikit-tapi-terus-menerus. Ia juga mengamati bagaimana jumlah penjualan buku/musik/film best-seller di toko online kini terkalahkan dengan karya-karya ‘terlewat’ yang bisa jadi diterbitkan puluhan tahun lalu. Belum lagi bila kita melihat kecenderungan masyarakat masa kini yang mendewakan tren masa lalu. Bagaimana yang sedikit ini agar bisa terus-menerus diakses orang? Kita memang membutuhkan lebih banyak lagi situs-situs dan outlet-outlet distribusi/eksibisi dengan keberpihakan yang jelas: para kreatif yang berani membuat karya segar bergizi, dan konsumen lokal. Dalam kasus film, mereka adalah masyarakat penonton yang jengah dengan film-film Indonesia murahan yang setiap harinya menyesaki bioskop kita. Hanya dengan demikian pasar baru bisa diciptakan.
Soal ide straight-to-DVDs, publik bicara tentang beberapa kekurangan:
memang lebih ideal untuk memutar film kita di ruang bioskop dengan kualitas audio visual yang memadai; format DVD (home video) meniadakan kemungkinan sebuah film memberi makna bagi ruang publik; dan siapa investor yang sudi membiayai sebuah film yang hanya akan diproduksi dalam bentuk DVD, dengan pengembalian uang jangka panjang (atau panjang sekali)?
Jawaban saya adalah: bukan berarti setelah keluar dalam bentuk DVD sebuah film akan berhenti berbicara dengan penontonnya. Bila keinginan pembuat dan penonton film adalah untuk berkomunikasi secara langsung, sangat mungkin bagi mereka yang berkepentingan untuk mengorganisasi pemutaran-pemutaran khusus (di kota-kota tertentu), dengan syarat minimal jumlah penonton dan kelayakan perangkat audio visual. Ini justru akan melahirkan kemunculan bioskop-bioskop alternatif secara merata di kota-kota Indonesia. Dengan kata lain: tidak hanya pembuat film yang memaknai proses distribusi (cara baru)-nya, tapi juga para penonton dan penggiat film.
Selain DVD, seperti digambarkan di bagan di atas, kita memiliki beberapa cara distribusi lain yang mungkin tidak bisa langsung mencapai banyak penonton, melainkan secara perlahan dan gradual. Melalui internet, layar tancap, atau pemutaran khusus/regular di bioskop alternatif, distribusi bisa dijalankan secara custom dan terkontrol karena tidak menyangkut pihak-pihak pengusaha berkapital besar (pemilik saluran TV, pemilik bioskop) yang berada di luar jangkauan kita.
Pengembangan bioskop-bioskop alternatif di kota-kota seluruh Indonesia ini sebenarnya bisa dijadikan peluang usaha distribusi film, penyewaan ruangan, alat audio/visual, maupun event organizer setempat. Satu hal yang perlu diubah dalam pemutaran bioskop alternatif adalah membuatnya berbayar seperti layaknya bioskop umum. Sangat wajar bagi tim organizer untuk menerapkan sistem ticketing, kecuali penyelenggara telah mendapatkan sponsor penuh untuk pemutaran film. Dana yang didapatkan tidak hanya berfungsi menutup biaya pemutaran film, tetapi juga meningkatkan kepedulian para penonton film terhadap film-film lokal. Dengan cara inilah kualitas profesi pekerja, penonton film, penggiat film, serta film-film Indonesia dapat naik kelas.
Cara baru distribusi ini tentunya akan melahirkan cara-cara baru pula pada pendanaan film di Indonesia.
Dengan anggapan bahwa bioskop umum bukan satu-satunya moda distribusi, kita membuka kemungkinan baru dalam sistem pendanaan film, yaitu mendekatkan komponen utama hulu dan hilir film: pembuat dan penonton. Untuk teman-teman yang belum pernah menengok situs kickstarter.com, silakan kunjungi dan pelajari. Dengan tagline “Fund and Follow Creativity“, situs tersebut mempertemukan para kreatif dengan calon penikmat (yang juga sekaligus pendana karya mereka). Kelebihannya? Ketika produk jadi, mereka menjadi orang-orang pertama yang berkesempatan menikmati produk tersebut sesuai dengan cara dan kebutuhan mereka.
Dalam hal ini, para kreator dituntut untuk berkarya sekreatif mungkin, tidak hanya dalam membuat produk, tapi pilihan-pilihan ‘reward atas donasi’ yang mereka tawarkan kepada pendana mereka. Dalam contoh kasus di kickstarter.com, sebuah film romantik komedi berjudul SPLIT berhasil meraih dana lebih dari yang mereka butuhkan yaitu $ 20,000. Si kreator memberikan macam-macam opsi reward atas donasi pendana, mulai dari $10 mendapatkan panel storyboard asli; $100 mendapatkan DVD, special thanks di credit title film, mini poster yang ditandatangani sutradara; hingga $5000 menonton film bersama si pembuat, tiket pemutaran perdana film, dan meet & greet bersama cast dan kru.
Dengan cara semacam ini, sistem pendanaan oleh investor/sponsor besar dapat direduksi oleh keberadaan investor-investor kecil dalam jumlah banyak, yaitu para penikmat film itu sendiri. Cara ini juga membuka kesempatan bagi para penikmat film untuk terlibat dan mengikuti proses penciptaan film-film yang ingin mereka tonton. Besarnya donasi tentu lebih tinggi dari harga tiket nonton bioskop, tapi reward yang didapatkan jauh lebih berarti karena didesain secara personal dan terbatas.
Secara ideal, cara ini menyederhanakan tidak hanya masalah pendanaan, tetapi juga promosi film. Dengan terciptanya kumpulan calon penonton/pendana/follower, promosi tidak lagi dilakukan secara terpusat oleh baliho/iklan cetak tapi secara organik diedarkan melalui jaringan-jaringan sosial, dari mulut ke mulut, jauh sebelum hingga sesudah karya tersebut beredar. Pasar yang besar bermula dari individu-individu kecil yang memiliki ketertarikan dan kepentingan sama.
Tentu tidak semua film yang mencari dana dengan cara ini akan mendapat dukungan sesuai harapan. Justru wadah semacam kickstarter.com ini adalah lahan uji yang baik bagi produk-produk berorientasi publik. Sinopsis film dan opsi reward yang menarik, juga latar belakang kreator yang meyakinkan akan lebih dilirik oleh calon pendana. Keahlian para kreator dituntut berkembang, sejalan dengan meningkatnya kepedulian para penonton/pendana.
Bila Anda membaca tulisan ini dan berpikir: ribet banget ya bikin film. Atau para penonton mungkin bertanya: duh, kok gak bisa sesimpel dateng ke bioskop, beli karcis, dan nonton sih?
Jawabannya: saya juga tidak akan menulis panjang lebar (atau bahkan tidak perlu menulis) jika iklim perfilman di negeri ini sehat-sehat saja. Tapi lihat bioskop umum kita, bahkan katanya film impor sebentar lagi akan berhenti diedarkan. Artinya, yang tinggal hanya film-film Indonesia yang mayoritas busuk; beredar hanya demi meraup keuntungan tanpa memikirkan isi dan kesegaran bentuk. Sebagai pembuat maupun penikmat film, saya menolak untuk membuat atau menonton film-film semacam itu. Seperti halnya negeri ini, segala yang berada di pusaran atas sudah gelap berkabut; hidup kita dipenuhi kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang-orang picik (dan licik). Tapi saya yakin, kita yang berada di pusaran bawah ini lebih dari sekadar orang-orang kecil. Kita bisa punya andil besar asal berani menentukan jalan sendiri. Saya yakin cara pendistribusian film yang baru akan melahirkan cara pendanaan film yang baru, dan kontekstual.
Tentu saya tidak ingin sekadar banyak omong. Saya bersama beberapa teman yang sama-sama sedang berusaha membuat film masing-masing secara independen, sedang membangun sebuah
wadah/platform semacam kickstarter.com, berkonsentrasi khusus pada pendanaan film-film panjang (fiksi maupun dokumenter) Indonesia. Kami sadar usaha ini butuh pemikiran mendalam, waktu, dan dana tidak sedikit. Namun di atas itu semua, yang sangat dibutuhkan adalah kesadaran dan kepedulian bersama para pembuat dan penonton film Indonesia. Kita yang sadar perfilman negeri ini sudah bobrok mungkin bisa berhenti mengeluh, dan mulai melakukan sesuatu. Dengan cara baru. [ ]