oleh: Ariani Darmawan
Saya berani traktir masakan termahal di kota ini untuk mereka yang
berani mengatakan bahwa ‘membuat film itu mudah’. Tentunya traktiran itu
menuntut bincang-bincang santai, karena saya ingin mendengar argumen
maupun teori siapa-pun-dia. Bagi saya, membuat film itu sangat rumit
(maka tulisan ini terpaksa panjang lebar).
Menjelang akhir 2008, Harlan ‘Bin’ Boer dan Cholil Mahmud dari grup musik Efek Rumah Kaca (ERK) datang ke Rumah Buku/Kineruku
(tempat saya bekerja) dan mengutarakan keinginan untuk berkolaborasi
membuat sebuah film panjang. Setelah menggodok ide, kami memutuskan
untuk menuliskan sebuah skenario film panjang yang terinspirasi
musik-musik ERK. Diajaklah teman seperguruan, Tumpal Tampubolon, dan
Budi Warsito (rekan kerja di Kineruku). Sebelumnya saya, Budi, dan
Tumpal telah menghasilkan film pendek berjudul The Anniversaries yang diproduksi oleh JiFFest dan Salto Films.
Dengan dasar saling menyukai dan menghargai karya satu sama lain, tim skenario dengan semangat melontarkan beberapa ide, hingga akhirnya sepakat untuk mengembangkan skenario yang kini berjudul Di Mana Rafael?.
Cerita ini berkisah tentang seorang anak laki-laki yang mencuri seekor
kura-kura, dan bagaimana kejadian tersebut membuat heboh kehidupan dua
anak lainnya (si pemilik kura-kura, dan seorang anak perempuan yang
berusaha keras mengembalikan kura-kura tersebut demi mendapatkan reward handphone).
Efek Rumah Kaca nantinya akan merespons skenario ini dengan membuat
album baru bertemakan anak-anak, yang sekaligus menjadi soundtrack film.
Setelah melewati satu tahun penulisan, skenario Di Mana Rafael? kini
berembel-embel draft 5. Proses penulisan bisa dibilang cukup
menyenangkan: ditulis bertiga, kami membagi tugas penulisan dengan
masing-masing menulis/memperdalam cerita per karakter. Lalu kami
memperhalusnya secara bergantian.
Di tengah-tengah penulisan, saya mengajak teman saya Veronica Kusuma
untuk turut serta. Tim kini berintikan 5 orang: saya, Budi, Tumpal,
Vero, dan Bin. Kami bertemu rutin tiap 1-2 bulan sekali. Sejalan dengan
pembahasan skenario, dibuatlah perkiraan bujet yang spontan membuat
kepala kami cenat-cenut. Maklum, saya, Bin dan Vero (yang bertindak
sebagai ‘produser’) jarang-jarang melihat figur angka sebesar itu: satu
koma sekian milyar. Ini tentunya adalah perhitungan di mana semua
pemain, kru mendapatkan uang layak (belum tentu berarti besar), juga
peralatan syuting dan pasca-produksi digital yang mumpuni (bukan berarti
canggih). Padahal, rata-rata biaya pembuatan film layar lebar di
Indonesia adalah 4 kali di atas itu.
Setelah mencermati proposal bujet, saya menemukan beberapa fakta
perhitungan: 45% jumlah dana dialokasikan untuk sumber daya manusia
(termasuk penulis skenario), 20% digunakan untuk peralatan produksi
(kamera, sound), sedangkan 20% untuk pasca produksi (editing dan sound mixing).
Saya dan Vero mengutak-atik angka tersebut, hingga menembus angka di
bawah 1. Dengan catatan tim kru utama rela tidak dibayar penuh, dan
beberapa peralatan syuting kami pinjam/beli sebagai modal awal. Padahal,
setelah membuat film pendek terakhir saya, Sugiharti Halim,
diam-diam saya berjanji untuk tidak (lagi) membuat proyek dengan
mengajak teman-teman bekerja dengan bayaran persahabatan. Apalagi dalam
sebuah proyek film panjang yang menyita waktu banyak, sudah waktunya
berusaha lebih profesional.
Angka-angka banyak nol itu otomatis membuat saya –yang membuat film
pendek pertama dengan biaya seratus lima puluh ribu rupiah– mulai
mengelus dada. Bin yang mengaku membuat rekaman (fenomenal) pertama Efek
Rumah Kaca dengan bujet lima belas juta juga berpikir keras. Satu hal
yang kami mulai sadari adalah, bujet film panjang memang tidak murah,
karena menyangkut sumber daya (ahli) yang tidak sedikit.
Saya yang di awal merencanakan syuting dilakukan dengan 20 kru lalu
mengubah strategi untuk bisa melakukan produksi dengan maksimal 10 orang
saja. Roberto Rodriguez mampu membuat El Mariachi dengan 1 kru utama, yaitu dia sendiri! Film memukau A Wonderful Town
karya Adhitya Assarat seingat saya hanya beranggotakan 15 kru. Saya dan
Vero pun pede untuk bisa maju jalan dengan bujet setengah di awal.
Namun pertanyaan mendasar tetap mengganjal: bagaimana cara mendapatkan uang tersebut?
Belum juga mendapat jawaban di atas, kami sudah harus mulai mengasah
otak tentang masalah distribusi, satu hal yang sangat fundamental dan
sering kali dikesampingkan. Karena biaya yang dikeluarkan untuk membuat
film-film pendek saya cukup rendah, praktis sejauh ini saya hanya
berpikir singkat tentang masalah distribusi. Dipasang dari festival ke
festival sudah cukup memuaskan. Dalam kasus film dokumenter saya yang
berjudul Anak Naga Beranak Naga, harapan juga tidak
muluk-muluk: sejauh ia bisa direproduksi dalam bentuk DVD dan
didistribusikan secara ekonomis ke orang-orang yang membutuhkannya.
Sebetulnya logika yang dipakai dalam membuat karya apa pun sama,
yaitu: ‘balik modal’. ‘Balik modal’ di sini bervariasi bentuknya, tapi
pada dasarnya diartikan sebagai ‘memuaskan’ –sesuai hakikat karya
tersebut. Namun, karena bujet pembuatan film panjang sangat besar,
dibutuhkanlah pihak ketiga, yaitu investor/pemodal. Sayangnya, bagi
mereka ‘balik modal’ hanya bisa diartikan seharafiah-harafiahnya yaitu:
balik modal uang. Kalau tidak dalam bentuk uang pun, pasti ada
kompensasi berat yang harus kita lunasi bila pada akhirnya uang tersebut
tidak berhasil kita kembalikan. Kami lalu sadar, bahwa keahlian kreatif
saja tidak cukup untuk membuat film dengan baik dan benar.
Tapi mari kita definisikan apakah ‘baik dan benar’ itu, dalam sistem pendanaan dan distribusi film di Indonesia.
Di sini saya bicara tentang film popular (berorientasi publik dalam negeri), bukan art-house films yang mayoritas mendapatkan biaya dari pendanaan luar negeri dan diedarkan dari festival ke festival.
Kenyataan mengatakan bahwa penonton terbanyak yang bisa dijaring oleh
sebuah film adalah melalui jaringan bioskop 21, dan apabila kami
mengajukan proposal ke investor, rasanya tidak ada jalan lain selain
mencari keuntungan dari penjualan tiket sebesar mungkin. Sayangnya,
hingga kini bioskop 21 belum mau membuka diri untuk proyeksi film secara
digital (NB: bujet produksi film secara digital jauh lebih rendah
ketimbang seluloid). Itu artinya, pembuat film digital yang hendak
memasukkan filmnya ke bioskop 21, haruslah mentransfer dan menggandakan
film mereka ke bentuk gulungan seluloid. Dengan perhitungan transfer dan
penggandaan 20 kopi film (jumlah yang sangat minim dari total 600-an
layar di Indonesia), bujet harus bertambah sekitar 500 juta rupiah.
Pembengkakan bujet tentunya tidak berhenti di situ saja. Karena
terlanjur mengeluarkan uang yang besar dalam distribusi, produser film
biasanya bertendensi untuk juga habis-habisan di promosi –pemasangan
baliho, iklan cetak dan radio, liputan media– demi mendapatkan
sebesar-besarnya perhatian calon penonton. Tidak jarang bujet promosi
sebuah film sama besar, atau bahkan lebih besar dari bujet produksi film
itu sendiri.
Dalam sebuah pertemuan, saya bilang ke Bin, “Kita lupain 21 deh.”
Secara bawah sadar pernyataan itu mencerminkan campuran rasa takut atas
modal besar distribusi yang belum-belum harus kita pertanggungjawabkan,
dan bahwa itikad saya membuat film bukan untuk menguntungkan pihak-pihak
pengusaha, tapi sesederhana untuk bisa berkomunikasi dengan para
penonton. Bukannya saya keberatan dengan outlet-outlet distribusi
yang mengambil untung (semua usaha juga harus untung!), tapi kenapa
harus para kreator lokal yang digencet? Bukankah ujung-ujungnya kita
adalah konsumen utama para pengusaha tersebut? Jika ini terus
berlangsung, maka jangan salahkan para orang tua bahwa anak-anak mereka
menjadi semakin konsumtif, bodoh, dan tidak kreatif. Mayoritas sistem
yang (terpaksa) mapan di negeri ini tidak memberi jalan bagi masyarakat
untuk mengembangkan kreativitas.
Secara logis, saya mengutarakan alasan saya pada Bin: “Ini
kemungkinan terburuk, tapi sangat mungkin terjadi: Bayangkan kita masuk
bioskop 21 dengan bujet pas-pasan, yang artinya tanpa promosi yang
cukup. Film kita mulai diputar bioskop 21 hari Rabu. Space iklan jadwal bioskop di koran yang mampu kita bayar hanya 2 x 3 cm. Para moviegoers
melihatnya sebagai ‘film Indonesia gak jelas nih’. Hari Sabtu, minim
penonton. Konon, banyak tidaknya penonton di hari ini akan menentukan
apakah film kita akan lanjut ditayangkan atau tidak. Minggu depannya
film kita pun lenyap dari peredaran.” Singkatnya, pembuat film tidak
punya hak tayang ataupun daya tawar yang cukup. Modal besar sudah
dikeluarkan untuk distribusi dan sedikit promosi, sementara uang yang
kembali tidak sampai setengahnya.
Yang saya takutkan bukan hanya kenyataan bahwa film kita tidak cukup
meraup penonton di bioskop 21, namun dampak setelah itu. Film yang hanya
bertahan sebentar di bioskop otomatis berimej buruk. Kita pun
kehilangan momen selanjutnya: penjualan DVD, pemutaran-pemutaran
keliling, dan moda-moda distribusi lainnya karena sudah terlanjur dicap
‘film gak laku’. Pembuat film terlilit hutang, karyanya tidak ditonton.
Ini lebih buruk dari mimpi buruk.
Mungkin ada yang bertanya: kenapa tidak didistribusikan dahulu secara
non-komersial sekaligus tes pasar, dan ketika animo cukup banyak, baru
diedarkan secara komersial? Masalahnya, bioskop-bioskop umum di
Indonesia (termasuk Blitz) menginginkan pemutaran perdana di tempat
mereka. Kasus ini terjadi pada film Belkibolang (antologi karya
9 pembuat film) yang batal diputar di Blitz Jakarta hanya karena film
tersebut diputar (sekali saja) seminggu sebelumnya secara non-komersial
di Salihara. Padahal bila jeli, pihak bioskop semestinya menganggap
pra-pemutaran di tempat lain sebagai promosi awal gratis untuk film yang
akan dipasang di tempat mereka.
Lalu apa cara distribusi paling ideal, agar film bermodal pas-pasan
bisa meraih penonton sebanyak yang ia mampu, minimal mengembalikan uang
produksi?
Sammaria Simanjuntak, pembuat film asal Bandung, membuat film panjang pertamanya, cin(T)a, dengan bujet total sekitar 200 juta. Ia tidak memikirkan permasalahan distribusi hingga filmnya selesai diedit. Dengan buzz
yang bergaung keras dan masif (salah satunya adalah berita pemutaran
perdana di London), filmnya yang diputar selama enam minggu di Blitz
serta roadshow keliling Indonesia berhasil meraup total
30.000-an penonton. Distribusi pun berlanjut dalam bentuk DVD. Menurut
saya, ini adalah pencapaian besar bagi sebuah film bermodal kecil.
Keberhasilan distribusi film cin(T)a menunjukkan bahwa
sebenarnya masih ada jalan untuk menggiring masyarakat kita menonton
film-film layar lebar di luar jalur utama. Juga bagi pembuat film untuk
meraih pendapatan minimal untuk mengembalikan modal produksi film-film
mereka. Perlu diingat bahwa Blitz Megaplex bertoleransi terhadap film
digital (walaupun mereka masih bermasalah dengan kualitas sound).
Pertanyaan berikutnya adalah, dengan distribusi alternatif, masih perlukah kita memutar film secara perdana di bioskop umum?
Bila bujet pas-pasan dan kita bermaksud membuat film untuk dinikmati
dan diapresiasi penonton (bukan semata meraup keuntungan), apakah
bioskop umum adalah eksibitor paling cocok? Kami lalu berpikir untuk
mengeluarkan film Di Mana Rafael? secara straight-to-DVDs.
Tentu DVD harus dikemas semenarik mungkin, disertai bonus-bonus ciamik.
Dengan cara ini film kami punya potensi untuk lebih berumur panjang,
asal disertai promosi/reminder yang baik dari masa ke masa.
Ini sejalan dengan teori The Long Tail-nya Chris Anderson, editor-in-chief majalah Wired.
Ia mengatakan bahwa kita sekarang telah sampai pada sebuah model baru
ekonomi, di mana tren lama: Jual-sebanyak-banyaknya-hari-ini telah
berubah menjadi tren baru: Jual-sedikit-tapi-terus-menerus. Ia juga
mengamati bagaimana jumlah penjualan buku/musik/film best-seller di toko online
kini terkalahkan dengan karya-karya ‘terlewat’ yang bisa jadi
diterbitkan puluhan tahun lalu. Belum lagi bila kita melihat
kecenderungan masyarakat masa kini yang mendewakan tren masa lalu.
Bagaimana yang sedikit ini agar bisa terus-menerus diakses orang? Kita
memang membutuhkan lebih banyak lagi situs-situs dan outlet-outlet
distribusi/eksibisi dengan keberpihakan yang jelas: para kreatif yang
berani membuat karya segar bergizi, dan konsumen lokal. Dalam kasus
film, mereka adalah masyarakat penonton yang jengah dengan film-film
Indonesia murahan yang setiap harinya menyesaki bioskop kita. Hanya
dengan demikian pasar baru bisa diciptakan.
Soal ide straight-to-DVDs, publik bicara tentang beberapa kekurangan:
memang lebih ideal untuk memutar film kita di ruang bioskop dengan kualitas audio visual yang memadai; format DVD (home video)
meniadakan kemungkinan sebuah film memberi makna bagi ruang publik; dan
siapa investor yang sudi membiayai sebuah film yang hanya akan
diproduksi dalam bentuk DVD, dengan pengembalian uang jangka panjang
(atau panjang sekali)?
Jawaban saya adalah: bukan berarti setelah keluar dalam bentuk DVD
sebuah film akan berhenti berbicara dengan penontonnya. Bila keinginan
pembuat dan penonton film adalah untuk berkomunikasi secara langsung,
sangat mungkin bagi mereka yang berkepentingan untuk mengorganisasi
pemutaran-pemutaran khusus (di kota-kota tertentu), dengan syarat
minimal jumlah penonton dan kelayakan perangkat audio visual. Ini justru
akan melahirkan kemunculan bioskop-bioskop alternatif secara merata di
kota-kota Indonesia. Dengan kata lain: tidak hanya pembuat film yang
memaknai proses distribusi (cara baru)-nya, tapi juga para penonton dan
penggiat film.
Selain DVD, seperti digambarkan di bagan di atas, kita memiliki
beberapa cara distribusi lain yang mungkin tidak bisa langsung mencapai
banyak penonton, melainkan secara perlahan dan gradual. Melalui
internet, layar tancap, atau pemutaran khusus/regular di bioskop
alternatif, distribusi bisa dijalankan secara custom dan
terkontrol karena tidak menyangkut pihak-pihak pengusaha berkapital
besar (pemilik saluran TV, pemilik bioskop) yang berada di luar
jangkauan kita.
Pengembangan bioskop-bioskop alternatif di kota-kota seluruh
Indonesia ini sebenarnya bisa dijadikan peluang usaha distribusi film,
penyewaan ruangan, alat audio/visual, maupun event organizer
setempat. Satu hal yang perlu diubah dalam pemutaran bioskop alternatif
adalah membuatnya berbayar seperti layaknya bioskop umum. Sangat wajar
bagi tim organizer untuk menerapkan sistem ticketing, kecuali
penyelenggara telah mendapatkan sponsor penuh untuk pemutaran film.
Dana yang didapatkan tidak hanya berfungsi menutup biaya pemutaran film,
tetapi juga meningkatkan kepedulian para penonton film terhadap
film-film lokal. Dengan cara inilah kualitas profesi pekerja, penonton
film, penggiat film, serta film-film Indonesia dapat naik kelas.
Cara baru distribusi ini tentunya akan melahirkan cara-cara baru pula pada pendanaan film di Indonesia.
Dengan anggapan bahwa bioskop umum bukan satu-satunya moda
distribusi, kita membuka kemungkinan baru dalam sistem pendanaan film,
yaitu mendekatkan komponen utama hulu dan hilir film: pembuat dan
penonton. Untuk teman-teman yang belum pernah menengok situs kickstarter.com, silakan kunjungi dan pelajari. Dengan tagline “Fund and Follow Creativity“,
situs tersebut mempertemukan para kreatif dengan calon penikmat (yang
juga sekaligus pendana karya mereka). Kelebihannya? Ketika produk jadi,
mereka menjadi orang-orang pertama yang berkesempatan menikmati produk
tersebut sesuai dengan cara dan kebutuhan mereka.
Dalam hal ini, para kreator dituntut untuk berkarya sekreatif mungkin, tidak hanya dalam membuat produk, tapi pilihan-pilihan ‘reward
atas donasi’ yang mereka tawarkan kepada pendana mereka. Dalam contoh
kasus di kickstarter.com, sebuah film romantik komedi berjudul SPLIT berhasil meraih dana lebih dari yang mereka butuhkan yaitu $ 20,000. Si kreator memberikan macam-macam opsi reward atas donasi pendana, mulai dari $10 mendapatkan panel storyboard asli; $100 mendapatkan DVD, special thanks di credit title film,
mini poster yang ditandatangani sutradara; hingga $5000 menonton film
bersama si pembuat, tiket pemutaran perdana film, dan meet & greet bersama cast dan kru.
Dengan cara semacam ini, sistem pendanaan oleh investor/sponsor besar
dapat direduksi oleh keberadaan investor-investor kecil dalam jumlah
banyak, yaitu para penikmat film itu sendiri. Cara ini juga membuka
kesempatan bagi para penikmat film untuk terlibat dan mengikuti proses
penciptaan film-film yang ingin mereka tonton. Besarnya donasi tentu
lebih tinggi dari harga tiket nonton bioskop, tapi reward yang didapatkan jauh lebih berarti karena didesain secara personal dan terbatas.
Secara ideal, cara ini menyederhanakan tidak hanya masalah pendanaan,
tetapi juga promosi film. Dengan terciptanya kumpulan calon
penonton/pendana/follower, promosi tidak lagi dilakukan secara
terpusat oleh baliho/iklan cetak tapi secara organik diedarkan melalui
jaringan-jaringan sosial, dari mulut ke mulut, jauh sebelum hingga
sesudah karya tersebut beredar. Pasar yang besar bermula dari
individu-individu kecil yang memiliki ketertarikan dan kepentingan sama.
Tentu tidak semua film yang mencari dana dengan cara ini akan
mendapat dukungan sesuai harapan. Justru wadah semacam kickstarter.com
ini adalah lahan uji yang baik bagi produk-produk berorientasi publik.
Sinopsis film dan opsi reward yang menarik, juga latar belakang
kreator yang meyakinkan akan lebih dilirik oleh calon pendana. Keahlian
para kreator dituntut berkembang, sejalan dengan meningkatnya
kepedulian para penonton/pendana.
Bila Anda membaca tulisan ini dan berpikir: ribet banget ya bikin
film. Atau para penonton mungkin bertanya: duh, kok gak bisa sesimpel
dateng ke bioskop, beli karcis, dan nonton sih?
Jawabannya: saya juga tidak akan menulis panjang lebar (atau bahkan
tidak perlu menulis) jika iklim perfilman di negeri ini sehat-sehat
saja. Tapi lihat bioskop umum kita, bahkan katanya film impor sebentar
lagi akan berhenti diedarkan. Artinya, yang tinggal hanya film-film
Indonesia yang mayoritas busuk; beredar hanya demi meraup keuntungan
tanpa memikirkan isi dan kesegaran bentuk. Sebagai pembuat maupun
penikmat film, saya menolak untuk membuat atau menonton film-film
semacam itu. Seperti halnya negeri ini, segala yang berada di pusaran
atas sudah gelap berkabut; hidup kita dipenuhi kepentingan politik dan
ekonomi segelintir orang-orang picik (dan licik). Tapi saya yakin, kita
yang berada di pusaran bawah ini lebih dari sekadar orang-orang kecil.
Kita bisa punya andil besar asal berani menentukan jalan sendiri. Saya
yakin cara pendistribusian film yang baru akan melahirkan cara pendanaan
film yang baru, dan kontekstual.
Tentu saya tidak ingin sekadar banyak omong. Saya bersama beberapa
teman yang sama-sama sedang berusaha membuat film masing-masing secara
independen, sedang membangun sebuah
wadah/platform semacam
kickstarter.com, berkonsentrasi khusus pada pendanaan film-film panjang
(fiksi maupun dokumenter) Indonesia. Kami sadar usaha ini butuh
pemikiran mendalam, waktu, dan dana tidak sedikit. Namun di atas itu
semua, yang sangat dibutuhkan adalah kesadaran dan kepedulian bersama
para pembuat dan penonton film Indonesia. Kita yang sadar perfilman
negeri ini sudah bobrok mungkin bisa berhenti mengeluh, dan mulai
melakukan sesuatu. Dengan cara baru. [ ]