Salah satu adegan di film dokumenter berjudul Hope, mencari jalur distribusi sendiri lewat digital. Kini bisa ditonton di www.beoscope.com.
KOMPAS.COM - Selesai menuntaskan pembuatan film bertajuk Hope, Santrianov bersama timnya dihadapkan pada persoalan baru. Kali ini bukan tentang mengakali anggaran bikin film yang minim, namun bagaimana film bergenre dokumenter itu bisa ditonton oleh khalayak. Maklum saja, mereka bukan pelaku industri film mainstraim yang ditopang oleh dana besar. “Asal balik modal saja sudah bagus,” ujar Santrianov yang akrab disapa Aan itu. Langkah rumah produksi bernama Bogalakon Pictures itu bak terhenti di tengah jalan.
Padahal film yang bertutur tentang wajah Indonesia sekarang, setelah 12 tahun era reformasi itu, termasuk layak tonton. Pembuatan film ini juga bukan pertama kali mereka lakukan. Sebelumnya para sineas muda yang sempat mengenyam kuliah di Universitas Padjadjaran Bandung ini pernah merilis film The Jak, juga Romeo Juliet.
Film Hope merupakan hasil kerja keras mereka selama berbulan-bulan dengan pengambilan gambar seperti apa adanya. Lokasi syuting mengambil tempat di berbagai kota di Indonesia bahkan melanglang sampai Malaysia. Adegannya tentu tak dibuat dalam skenario khusus. Makanya banyak momentum memukau sekaligus menunjukkan fakta tentang Indonesia.
Produksi film nasional memang sedang tumbuh. Di bioskop rata-rata per bulan muncul dua sampai tiga film. Artinya jumlah penonton film lokal pastilah tak sedikit. Hampir semua muncul dari perusahaan film mapan. Sebuah film dengan kategori biasa dengan pemain baru saja bisa menghabiskan puluhan milyar. Sementara film Hope, cuma bermodal sekitar Rp 200 juta. Itu pun habis untuk kebutuhan syuting.
“Itu baru biaya produksi,” sergah Ucup panggilan akrab Andibachtiar Yusuf, sobat setim Santrianov. Jika masuk ke bioskop macam Blitz atau Cinema XXI, mereka harus menyiapkan tambahan dana. Sebut saja untuk proses penggandaan, biaya promosi, dan sejumlah komponen lain termasuk ongkos daftar lembaga sensor. “Bioskop sendiri tak mengutip biaya,” tambah Ucup. Jika ditotal, biaya pramasuk studio pemutaran film ini bisa dua kali lipat biaya produksi film. Bahkan lebih.
Celakanya lagi, film-film lokal jika pun antre umumnya berada di barisan belakang. Lantaran kualitas film (baik dari segi cerita maupun teknologi) nasional belum setara film Hollywood, wajar bila pengelola biskop lebih memprioritaskan film made in Amerika itu. “Lihat saja, kalau film Hollywood bisa tayang dua minggu, malah kalau box office bisa sebulan. Kalau film nasional, paling seminggu,” tandas Ucup.
Maka kian kompleks lah persoalan para kreator film bermodal cekak atau yang biasa mengambil jalur independen (indie) itu. Padahal, sejarah film indie di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 10 tahun bahkan sempat menjadi tulang punggung film nasional sebelum kemudian datang film Ada Apa dengan Cinta? dan membangkitkan produksi film nasional dari kejenuhan film versi sinetron. Bahkan Jakarta International Film Festival pun lahir dari semangat independen yang mengusung film-film alternatif.
Dulu, ketika era VCD menjadi hype, pelaku film indie memproduksi sendiri dan mengemasnya ke plat kompak itu. Lalu, mereka menjualnya secara swadaya.Bisa melalui sistem marketing dari mulut ke mulut, menggunakan email agar bisa ketok tular, atau menggelar pemutaran film di kalangan komuniatas dan menjualnya di situ. Salah satunya dilakukan oleh kelompok Four Colors yang merilis film pendek bercerita berjudul Manyar dari Yogya.
Namun sekarang? Ketika industri digital sudah sedemikian maju, internet menjadi medianya, maka VCD dianggap ketinggalan zaman.Nasib serupa juga dialami oleh penjualan plat digital film yang semakin menurun. Bahkan rental VCD atau DVD pun banyak yang tutup.
Ke mana kah larinya film-film digital ini?
Arif Setiarso, praktisi film independen menyebutkan YouTube telah mengambil alih. Portal video ini bak toko digital yang menyediakan berbagai jenis film maupun video. Tak sedikit film independen mejeng di situ, untuk kemudian diunduh secara cuma-cuma.Jika begini, memang bukan komersial besar-besaran yang dicari. Namun seperti pencarian identitas atas sebuah film dan bagaimana pengunduh merespon bagus tidaknya sebuah film secara kualitatif. Dengan kata lain, semakin tinggi unduhan, kian sukses lah film itu diterima pasar, lalu muncul menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat. Salah satunya yang menuai sukses adalah film dokumenter berjudul No End In Sight, karya Charles Ferguson dari rumah produksi Magnolia Pictures yang bahkan menjadi nominasi di Piala Oscar untuk film dokumenter.
Hal ini pula yang menggiring film Merantau untuk tampil di YouTube. Selain versi trailer, juga ada 11 potongan film bisa diunduh. Penonton pun gratis menyaksikan film dengen genre action itu pada akhirnya.
Merantau masih untung, karena sempat diputar di biskop tanah air, meskipun tak mencetak box office versi Indonesia. Bayangkan dengan film Hope yang tertatih-tatih agar peluang masuk bioskop tetap terbuka.
Via On-Line
Dalam naungan kesulitan itu lah, kemudian film yang diperani oleh Pandji Pragiwaksono itu menggeliat mencari alternatif untuk melanggengkan jalan. Sebuah situs lokal bernama www.beoscope.com membuka kolaborasi dengan Bogalakon. Di sinilah Hope lalu berlabuh. Jurus marketing mulai dilakukan demi “menjual” film berdurasi 71 menit itu. Caranya?
“Kita lakukan on-line premiere, sekaligus nonton film lewat on-line pertama di Indonesia,” tukas Aan. Penonton yang pengguna komputer membeli tiket on-line yang dijual secara on-line dengan pembayaran bisa lewat ATM. Setiap tiket dibanderol Rp 10.000,-. Sebuah tiket dapat dipakai untuk menonton selama 12 jam. Jadi untuk sebuah film bermasa putar 71 menit, bisa ditonton sampai 10 kali secara berulang-ulang.
“Dengan tiket ceban (10.000 rupiah, RED), mereka bisa nonton ramai-ramai,” lanjut pria berpostur kurus ini. Risiko film itu kemudian ditonton warga se-RT hanya dengan membayar Rp 10.000,- sudah dibayangkan sebelumnya. Bahkan sekalipun kemudian di-streaming-kan ke layar lebar macam layar tancap pun, layaknya di desa-desa di India, sudah diperkirakan.
Bagi Aan, lewat cara begini malah membuka kemungkinan lebih banyak masyarakat yang tahu film karyanya. “Kalau ada yang tak sempat nonton, lalu penasaran, maka mereka pasti akan beli tiket lagi,” ujarnya yakin. Masalahnya, untuk balik modal, minimal tiket on-line yang terbeli harus mencapai 20.000 lembar. Butuh waktu lama. Belum lagi, film Hope yang ketika dibuat dalam format digital berukuran file 1,3 GB memerlukan tempo pengunduhan yang lumayan menyita waktu.
Perkembangan industri mobile di mana operator dan vendor menjadi tulang punggung belakangan ini diam-diam ikut membangkitkan gairah industri hiburan. Menurut pengamatan Ucup, sebuah vendor saja sampai menawarkan lagu-lagu dari artis atau band tertentu dalam satu paket penjualan. Slank misalnya, mengaku sangat terbantu ketika lima lagu hits mereka yang disisipkan ke ponsel kemudian diberi nama Nexian 27th Slank Anniversary.
Cara seperti inilah yang lantas terbias di benak Ucup. Jika lagu bisa, maka film pun sama. Ia malah melihat peluang besar dengan masuknya berbagai gadget seperti tablet PC sebagai sebuah fenomena yang akan menjadi media menonton film digital. Walaupun toh ponsel tetap menjadi priorotas lantaran penjualannya terus menanjak.
Salah satu contoh adalah film Tron Legacy yang disematkan di ponsel Nokia N8 dalam beberapa adegan. Meski dikemas hanya trailer-nya saja namun sudah cukup untuk mencuri hati penikmat film untuk pergi ke bioskop. Bagi Nokia yang menjadi sponsor, mutu audio dan video film yang dibintangi Jeff Bridges ini sekaligus menjadi “alat” untuk menunjukkan kemampuan komponen dan fitur HDMI-nya.
Ya, anak-anak indie memang selalu cerdas mencari peluang. Tak sukses masuk bioskop tradisional, masih ada jalan digital. Katanya, cara ini sudah dilakukan. Kata Ucup, mereka sanggup bikin film yang dikustom untuk sebuah produk ponsel atau tablet PC tertentu. Beragam application store yang ditawarkan oleh platform Android, BlackBerry, iPhone atau iPad, Bada, juga OVI Store makin membuka jalan distribusi film mereka. “Bahkan film Merantau sudah masuk iTunes,” ujar pira berkacamata ini.
Layanan operator
Sebagai refleksi saja. Di Amerika, industri layanan konten digital berupa video cukup diminati. Menurut eMarketer, pendapatan total dari sektor ini mencapai 719 juta dollar tahun 2010. Lembaga riset ini meramalkan tahun 2014, khusus mobile video bisa meraup untung sampai 1,3 milyar dollar.
“Proses digitalisasi media dan peluang untuk meningkatkan perolehan keuangan dari sektor game dan musik akan dialami juga oleh publisher film,” ujar Noah Elkin, analis senior eMarketer.
Tahun 2004, operator Sprint di Amerika yang menggunakan jaringan CDMA malah telah menggelar layanan “pay-per-view” untuk memperoleh streaming film durasi penuh. Layanan bernama Sprint Movies yang dioperasikan oleh mitra kerjanya, mSpot bahkan bekerjasama dengan distributor film dunia macam Buena Vista VOD, Lionsgate, Sony Pictures Home Entertainment, dan Universal Pictures.
Pada tahun itu saja sudah 45 judul siap ditonton via ponsel. Sejumlah film box office macam National Treasure, Spider-Man 2, dan Scarface adalah beberapa di antaranya.
Mengapa Sprint menggelar layanan film digital bergerak ini?
Direktur Penjualan Produk Hiburan Sprint kala itu, Alana Muller melihat ada ceruk di situ. Ia melihat pelanggan Sprint yang sering menunggu di bandara gara-gara delay, juga orang-orang sibuk yang perlu hiburan sambil makan siang, bahkan anak-anak yang diam duduk di kursi mobil saat melakukan perjalanan jauh dengan orang tuanya. “Anak-anak akan terhibur oleh film Herbie: Fully Loaded dan Babe,” kata Muller.
Upaya Sprint membuahkan hasil. Setahun kemudian nampak pertumbuhan pelanggan. Menurut Muller, sejak Sprint Movies diluncurkan pelanggan tumbuh rata-rata sebesar 30 persen. Tawaran ini sangat signifikan menarik pelanggan baru.
Sukses Sprint diikuti oleh Bell Kanada yang merilis layanan serupa tiga tahun kemudian. Bell menamakan layanannya Mobile Movies dan merangkul Buena Viesta maupun Sony Pictures. Tarif per film dimulai dari 5,15 dollar dan Bell menjaga kualitas jaringan untuk streaming film dengan paket unlimited. Program ini lantas dikemas dengan paket-paket tertentu. Pendek kata, pelanggan bisa menonton film kapan saja selama 24 jam, dan di mana saja.
Di negeri luar layanan seperti ini memang sudah jamak. Pengalaman Ucup di Inggris membuktikan betapa cepatnya proses pengunduhan film. Bahkan, sewaktu ia ke Korea sudah tak ada lagi DVD. “Semua download,” ujarnya.
Jalur untuk film indie
Di Indonesia meski kondisi mutu jaringan yang seringkali tidak konsisten bukan tak mungkin menggelar layanan serupa. Meskipun agak sulit jika menawarkan film-film dengan durasi lama. Yang memungkinkan, kata Arif yang bekerja di rumah produksi indie Good Sign Production adalah film-film pendek yang berdurasi antara tiga sampai enam menit. “Kalau agak panjang, kan bisa dipecah-pecah jadi beberapa episode,” ujarnya.
Maka, sejak tiga bulan silam rumah produksinya telah menawarkan konsep mirip mSpot-nya Sprint kepada salah satu operator GSM. “Ada respon, bahkan mereka siap menjalankan, karena infrastrukturnya sudah siap,” lanjutnya. Karena itu, proyek seperti ini sangat terbuka dan cocok bagi sineas indie.
Perkiraan Arif dengan budget sebesar 6 juta perak per episode sudah cukup untuk berkarya. “Malah kalau satu hari bisa ngejar untuk syuting tiga episode dengan biaya sama, bisa lebih ringan lagi,” akunya. Artinya sistem kejar tayang akan berlaku untuk mengefisiensi biaya dengan jaminan bahwa film-film pendek tersebut siap ditawarkan oleh operator untuk memperkaya layanan value added-nya. Ini tentu akan menjamin kontinyuitas berkarya itu sendiri.
Karya film yang disediakan lewat toko digital membuka peluang untuk terdistribusi secara internasional. Prinsip dunia tanpa batas yang ditawarkan internet (termasuk mobile internet) melandasi konsep penjualan global ini.
Sebuah content provider di India bernama Hungama Mobile melakukannya. Perusahaan ini tahu persis bahwa film Bollywood sudah mendunia. Film India bahkan cukup digandrungi di sejumlah negara Eropa. “Sebut saja Inggris, Prancis, dan Jerman. Di Belanda bahkan film India sudah di-dubbing dengan bahasa lokal,” kata Albert Almeida, COO Hungama Mobile. Hungama beralinasi dengan perusahaan Wireless Expertise untuk menjajakan film Bollywood di tanah Eropa.
Mobile digital movie versi Indonesia memang harus dimulai oleh sineas muda yang bersemangat independent yang tak melulu memikirkan unsure komersial melulu. Layanan Movie dari operator adalah salah satu pembuka jalan. Jalan lain bisa ditempuh dengan menggandeng vendor. Arif bahkan siap melakukan pekerjaan ini selagi dukungan operator maupun vendor tinggi.
Begitulah peluang itu terbuka lebar di jalur digital, agar rezeki sineas muda terus berisi dengan film-film “berbunyi”, biar industri film nasional juga dicicipi anak-anak indie. (ANDRA/FORSEL)