Sabtu, 01 Januari 2011

Kenapa yang Indie Lebih Keren

Kenapa yang Indie Lebih Keren

wah, sudah lama gak posting :D kangen deh…

waktu ane nongkrong di kamar mandi 5 menit yang lalu, ane nemu inspirasi buat nulis ini. abis nonton film indie ama film yang gak laku di bioskop, sebangsa fiksi ama mereka bilang saya monyet (nonton ulang sih, abis demen banget ane ama pilemnya haha) plus iTunes ane ngeplay yang indie-indie semacam The S.I.G.I.T ama Homogenic :D

latar belakang cukup, sekarang lanjut.

oke, ini cuman analisa [bodoh] ane tentang kenapa yang berbau-bau indie lebih keren [di mata ane sih] :D cekiprut!

nowadays, ayo nonton acara musik di tivi! yah, semacam inbox ato dahsyat gitu lah (males ah sensorin) yang nongol di chart ato yang jadi bintang tamu kan ya itu-itu aja :nohope: sekarang sih lagi booming band-band melayu gitu, ato band yang ber pattern satu-single-bubar-jalan, ato bahkan boyband yang tebar pesona :berbusa:

udah ah, males ngomongin orang.

dari film, film yang banyak mempertontonkan adegan esek-esek yang dibumbui horor yang gak mutu… (andai kata ane hantunya yang asli, ane mungkin udah murka kalo ditiruin kayak gitu), kalo dibandingin ama jamannya Alm. Suzanna, wuidiiih jauuuuuh!

bukan bermaksud menjelek-jelekkan bangsa sendiri, ane cuman pengen menyadarkan rakyat Indonesia [ngarep abis] :D

nengok dari trit ini, ane copas in ya band-band indie yang udah go international tanpa banyak omong! [say no to NATO*!]

*NATO = No Action Talk Only

1. Burgerkill

anak2 metal asal bandung ini udah 2 kali bulak balik australia
dan menjadi opening sebuah band metal luar yang cukup terkenal,
mereka sempat di kontrak oleh salah satu label besar di indo, namun skrg udah keluar
metal di indonesia memang tak akan pernah mati

2. The Sigit

band garage rock yang beranggotakan 4 pemuda dari bandung ini pernah
tour selama kurang lebih 1 bulan di australia untuk mempromosikan album
mereka,antusiasme penonton di club2 australia pun jangan ditanya lagi.
Selang beberapa tahun kemudian mereka juga diundang untuk mengikuti
festival di Hongkong dan Amerika

3.Shaggy Dog

band ska asal jogja ini sudah 2 kali bulak balik belanda
denger2 mereka banyak yang suka di belanda melebihi di indonesia ini
mungkinkah nasip mereka berujung seperti tielman brothers?

4.Rocket Rockers, Pee Wee Gaskins, Sweet As Revenge, Killing Me Inside

Band-band powerpop dan screamo ini adalah band yang udah bulak balik manggung di malaysia,
selain 4 diatas sudah banyak juga sih band2 indi kita yang manggung di malaysia.
Rocket Rockers dan Pee Wee Gaskins sendiri video clipnya masuk jepang
dan menjadi salah satu video clip favorit di kalangan indi disana.
hanya band2 diatas ini yang sudah besar namanya dimata orang2 sana,
namun sayangnya ada beberapa dari band2 diatas dibenci oleh oknum2
tertentu di negara mereka sendiri


5.Gugun And The Blues Shelter

3 pemuda memainkan blues ini sungguh luar biasa
selain si gitarisnya yang nyentrik dan skill nya gak main2, prestasi mereka
pun sangat luar biasa, mereka udah tampil di salah satu festival blues di
Amerika bareng artis2 dan band2 blues lainnya,
mereka juga sudah mengikuti festival blues yang diadakan di singapura

6.Goodnight Electric

trio elektrik asal jakarta ini sungguh membuat orang eropa ketagihan,
terhitung sudah 2 kali mereka “ditanggep” untuk main di suatu festival
di jerman. Melihat respon orang2 sana yang hebat, bukan mustahil mereka
akan main lagi secepatnya!

7.White Shoes And The Couples Company

Eits untuk yg gak tau siapa mereka, jangan salah sangka dulu!
mereka bukan band 60an kok! cuman gayanya saja begitu.
6 pemuda pemudi asal jakarta ini memutuskan untuk membawa musik2
pop taun 50-60an kembali ke abad milenia. Dengan keunikan ini pun mereka
telah berkesempatan untuk tampil-sampai 2 kali-di sebuah festival di
Amerika!. Predikat sebagai “Band yang pantas untuk disimak” pun sudah
mereka peroleh dari media2 musik dalam maupun luar negeri.

8. Superman Is Dead

Trio Punk asal Bali ini memang sudah di kontrak oleh sebuah label besar
pada awal full album mereka sampai sekarang, tapi bukan berarti semangat mereka hanya gitu2 aja, dengan perjuangan yang cukup berat mereka
akhirnya telah di percaya untuk main dalam salah satu acara rock bergengsi
di Amerika, yaitu Vans Warped Tour. Sebelumnya mereka juga telah
sering melakukan tour ke australia. Selain manggung “doang”, mereka
juga mempromosikan Indonesia.

9.Sore

band beraliran psycedhelic yang beranggotakan 5 pria ini
bisa dibilang cukup unik, semua personilnya memainkan alat secara kidal
padahal tidak ada satu pun yang benar2 kidal.
Mereka sudah malang melintang di eropa dan gosipnya sambutannya cukup bagus disana,
terakhir kali manggung di luar mereka main di little havana Kuala Lumpur

10. Mocca


band pop jazz asal bandung ini bisa dibilang sudah “menjajah” sebagian kecil asia.
Malaysia,Thailand dan Korea Selatan sudah mereka singgahi dengan selamat.
Yang paling menarik adalah di Korea, mereka diundang dalam suatu acara
tv live(mungkin kalo disini sebesar acara extravaganza,TMO dll)
yang satu acara itu isinya HANYA mocca membawakan lagu2 mereka SAJA!
Hebatnya lagi satu studio (orang2 korea tentunya) hafal dengan lagu2 mereka!
Catatan lainnya adalah, salah satu lagu Mocca menjadi theme song pada sebuah iklan di Jepang, dan sangat disukai!

itu baru band. baru 10 pula. :D

bagaimana dengan yang film? googling sendiri deh!

nah sekarang analisisnya simple dan pendek.

lebih keren = lebih kreatif

mereka [the indies, -red] membiayai semuanya sendiri karenanya berusaha menampilkan yang terbaik agar tidak sia-sia, agar tidak terbuang percuma biaya yang telah mereka keluarkan dari kantong mereka sendiri :D

dan ane pernah baca, kondisi yang kepepet [keabisan duit dll] membuat mereka berpikir cerdas dan kreatif, sehingga jadinya seperti itu deh :D :D

say no to NATO!

tapi tidak menutup kemungkinan yang bukan indie semuanya jelek sih dan yang indie semuanya bagus. semua hal punya kebaikan dan keburukan mereka masing-masing!


sumber : http://hitginza.com/

Perfilman Indonesia : Sejarah, Perkembangan & Situs Review Film

Perfilman Indonesia sempat memiliki sejarah gemilang di tanah air pada tahun 80-an, dimana banyak film Indonesia yang merajai bioskop-bioskop lokal. Film -film yang sempat terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M, dll. Sayang puncak kejayaan Film Indonesia pada tahun 80-an tidak berlanjut ke tahun 90-an. Pada tahun 90-an, perfilman Indonesia memasuki masa suram. Hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa dengan adegan menyerempet. Film Indonesia tersingkir dari bioskop – bioskop, digantikan oleh Film-film Hollywood dan Hong Kong .

Terpuruknya Film Indonesia di Negara sendiri berlangsung sampai awal 20, sampai muncul nya film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf. Film drama musical karya Riri Riza dan Mira Lesmana berhasil menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Setelah film Petualangan Sherina, mulai muncul film dengan berbagai tema, Film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja., Film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra, Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung, Biarkan Bintang Menari, Eiffel I’m in Love, Arisan! Selain film komersil, perfilman Indonesia berhasil melahirkan banyak film non komersil yang berhasil memenangkan penghargaan internasional, antara lain : Film Pasir Berbisik, Daun di Atas Bantal, dll.

logo movietei2 Perfilman Indonesia : Sejarah, Perkembangan & Situs Review Film

Pada masa sekarang, perfilman Indonesia bahkan berkembang lebih pesat lagi, ditandai oleh banyaknya film Indonesia yang ditampilkan di bioskop Indonesia. Memang tema horror ,sex dan komedi masih mendominasi film – film Indonesia pada saat ini, tetapi di samping tema tersebut, Indonesia mampu melahirkan banyak film berkualitas international seperti Laksar Pelangi , Sang Pemimpi, Perempuan Berkalung Sorban, Darah Garuda, dan sampai yang terakhir muncul film Sang Pencerah. Film Indonesia, perlahan tapi pasti, mulai mengembalikan kejayaannya di tanah air.

Majunya perfilman Indonesia memang merupakan anugerah yang luar biasa, jumlah film yang banyak memberikan alternatif pilihan menonton bagi para pecinta film. Tetapi sayangnya, tidak semua film Indonesia berkualitas, banyak rumah produksi yang hanya mengejar omzet dengan mengumbar unsur sex dengan mengorbankan mutu. Sebab itu, para penonton harus jeli dalam memilih film yang akan ditonton, salah satu cara yang tepat adalah dengan membaca review film terlebih dahulu, salah satu yang gratis adalah melalui situs movie review di internet. Di Indonesia , kita mengenal situs review film Movietei.com.

Movietei adalah situs review film terbesar di Indonesia yang menyediakan berbagai informasi mengenai film – film di Indonesia, baik film asing, film Indonesia & film Indie. Tidak seperti review komersil yang ditampilkan media lain, review film di situs movietei dilakukan secara blak – blakan, baik, para pengunjung movietei juga dapat memberikan penilaian mereka secara langsung terhadap film yang sedang dibahas. Situs Movietei.com merupakan alternatif panduan bagi para pecinta film di Indonesia agar tidak terjebak oleh film – film murahan yang tampil di Indonesia, sekaligus juga sebagai tempat apresiasi film – film Indonesia yang berkualitas. Maju terus Film Indonesia !


sumber : http://vanmovic.com/


Cara Anak Indie Mengais Rezeki


Salah satu adegan di film dokumenter berjudul Hope, mencari jalur distribusi sendiri lewat digital. Kini bisa ditonton di www.beoscope.com.

KOMPAS.COM - Selesai menuntaskan pembuatan film bertajuk Hope, Santrianov bersama timnya dihadapkan pada persoalan baru. Kali ini bukan tentang mengakali anggaran bikin film yang minim, namun bagaimana film bergenre dokumenter itu bisa ditonton oleh khalayak. Maklum saja, mereka bukan pelaku industri film mainstraim yang ditopang oleh dana besar. “Asal balik modal saja sudah bagus,” ujar Santrianov yang akrab disapa Aan itu. Langkah rumah produksi bernama Bogalakon Pictures itu bak terhenti di tengah jalan.

Padahal film yang bertutur tentang wajah Indonesia sekarang, setelah 12 tahun era reformasi itu, termasuk layak tonton. Pembuatan film ini juga bukan pertama kali mereka lakukan. Sebelumnya para sineas muda yang sempat mengenyam kuliah di Universitas Padjadjaran Bandung ini pernah merilis film The Jak, juga Romeo Juliet.

Film Hope merupakan hasil kerja keras mereka selama berbulan-bulan dengan pengambilan gambar seperti apa adanya. Lokasi syuting mengambil tempat di berbagai kota di Indonesia bahkan melanglang sampai Malaysia. Adegannya tentu tak dibuat dalam skenario khusus. Makanya banyak momentum memukau sekaligus menunjukkan fakta tentang Indonesia.

Produksi film nasional memang sedang tumbuh. Di bioskop rata-rata per bulan muncul dua sampai tiga film. Artinya jumlah penonton film lokal pastilah tak sedikit. Hampir semua muncul dari perusahaan film mapan. Sebuah film dengan kategori biasa dengan pemain baru saja bisa menghabiskan puluhan milyar. Sementara film Hope, cuma bermodal sekitar Rp 200 juta. Itu pun habis untuk kebutuhan syuting.

“Itu baru biaya produksi,” sergah Ucup panggilan akrab Andibachtiar Yusuf, sobat setim Santrianov. Jika masuk ke bioskop macam Blitz atau Cinema XXI, mereka harus menyiapkan tambahan dana. Sebut saja untuk proses penggandaan, biaya promosi, dan sejumlah komponen lain termasuk ongkos daftar lembaga sensor. “Bioskop sendiri tak mengutip biaya,” tambah Ucup. Jika ditotal, biaya pramasuk studio pemutaran film ini bisa dua kali lipat biaya produksi film. Bahkan lebih.

Celakanya lagi, film-film lokal jika pun antre umumnya berada di barisan belakang. Lantaran kualitas film (baik dari segi cerita maupun teknologi) nasional belum setara film Hollywood, wajar bila pengelola biskop lebih memprioritaskan film made in Amerika itu. “Lihat saja, kalau film Hollywood bisa tayang dua minggu, malah kalau box office bisa sebulan. Kalau film nasional, paling seminggu,” tandas Ucup.

Maka kian kompleks lah persoalan para kreator film bermodal cekak atau yang biasa mengambil jalur independen (indie) itu. Padahal, sejarah film indie di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 10 tahun bahkan sempat menjadi tulang punggung film nasional sebelum kemudian datang film Ada Apa dengan Cinta? dan membangkitkan produksi film nasional dari kejenuhan film versi sinetron. Bahkan Jakarta International Film Festival pun lahir dari semangat independen yang mengusung film-film alternatif.

Dulu, ketika era VCD menjadi hype, pelaku film indie memproduksi sendiri dan mengemasnya ke plat kompak itu. Lalu, mereka menjualnya secara swadaya.Bisa melalui sistem marketing dari mulut ke mulut, menggunakan email agar bisa ketok tular, atau menggelar pemutaran film di kalangan komuniatas dan menjualnya di situ. Salah satunya dilakukan oleh kelompok Four Colors yang merilis film pendek bercerita berjudul Manyar dari Yogya.

Namun sekarang? Ketika industri digital sudah sedemikian maju, internet menjadi medianya, maka VCD dianggap ketinggalan zaman.Nasib serupa juga dialami oleh penjualan plat digital film yang semakin menurun. Bahkan rental VCD atau DVD pun banyak yang tutup.

Ke mana kah larinya film-film digital ini?

Arif Setiarso, praktisi film independen menyebutkan YouTube telah mengambil alih. Portal video ini bak toko digital yang menyediakan berbagai jenis film maupun video. Tak sedikit film independen mejeng di situ, untuk kemudian diunduh secara cuma-cuma.Jika begini, memang bukan komersial besar-besaran yang dicari. Namun seperti pencarian identitas atas sebuah film dan bagaimana pengunduh merespon bagus tidaknya sebuah film secara kualitatif. Dengan kata lain, semakin tinggi unduhan, kian sukses lah film itu diterima pasar, lalu muncul menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat. Salah satunya yang menuai sukses adalah film dokumenter berjudul No End In Sight, karya Charles Ferguson dari rumah produksi Magnolia Pictures yang bahkan menjadi nominasi di Piala Oscar untuk film dokumenter.

Hal ini pula yang menggiring film Merantau untuk tampil di YouTube. Selain versi trailer, juga ada 11 potongan film bisa diunduh. Penonton pun gratis menyaksikan film dengen genre action itu pada akhirnya.

Merantau masih untung, karena sempat diputar di biskop tanah air, meskipun tak mencetak box office versi Indonesia. Bayangkan dengan film Hope yang tertatih-tatih agar peluang masuk bioskop tetap terbuka.

Via On-Line

Dalam naungan kesulitan itu lah, kemudian film yang diperani oleh Pandji Pragiwaksono itu menggeliat mencari alternatif untuk melanggengkan jalan. Sebuah situs lokal bernama www.beoscope.com membuka kolaborasi dengan Bogalakon. Di sinilah Hope lalu berlabuh. Jurus marketing mulai dilakukan demi “menjual” film berdurasi 71 menit itu. Caranya?

“Kita lakukan on-line premiere, sekaligus nonton film lewat on-line pertama di Indonesia,” tukas Aan. Penonton yang pengguna komputer membeli tiket on-line yang dijual secara on-line dengan pembayaran bisa lewat ATM. Setiap tiket dibanderol Rp 10.000,-. Sebuah tiket dapat dipakai untuk menonton selama 12 jam. Jadi untuk sebuah film bermasa putar 71 menit, bisa ditonton sampai 10 kali secara berulang-ulang.

“Dengan tiket ceban (10.000 rupiah, RED), mereka bisa nonton ramai-ramai,” lanjut pria berpostur kurus ini. Risiko film itu kemudian ditonton warga se-RT hanya dengan membayar Rp 10.000,- sudah dibayangkan sebelumnya. Bahkan sekalipun kemudian di-streaming-kan ke layar lebar macam layar tancap pun, layaknya di desa-desa di India, sudah diperkirakan.

Bagi Aan, lewat cara begini malah membuka kemungkinan lebih banyak masyarakat yang tahu film karyanya. “Kalau ada yang tak sempat nonton, lalu penasaran, maka mereka pasti akan beli tiket lagi,” ujarnya yakin. Masalahnya, untuk balik modal, minimal tiket on-line yang terbeli harus mencapai 20.000 lembar. Butuh waktu lama. Belum lagi, film Hope yang ketika dibuat dalam format digital berukuran file 1,3 GB memerlukan tempo pengunduhan yang lumayan menyita waktu.

Perkembangan industri mobile di mana operator dan vendor menjadi tulang punggung belakangan ini diam-diam ikut membangkitkan gairah industri hiburan. Menurut pengamatan Ucup, sebuah vendor saja sampai menawarkan lagu-lagu dari artis atau band tertentu dalam satu paket penjualan. Slank misalnya, mengaku sangat terbantu ketika lima lagu hits mereka yang disisipkan ke ponsel kemudian diberi nama Nexian 27th Slank Anniversary.

Cara seperti inilah yang lantas terbias di benak Ucup. Jika lagu bisa, maka film pun sama. Ia malah melihat peluang besar dengan masuknya berbagai gadget seperti tablet PC sebagai sebuah fenomena yang akan menjadi media menonton film digital. Walaupun toh ponsel tetap menjadi priorotas lantaran penjualannya terus menanjak.

Salah satu contoh adalah film Tron Legacy yang disematkan di ponsel Nokia N8 dalam beberapa adegan. Meski dikemas hanya trailer-nya saja namun sudah cukup untuk mencuri hati penikmat film untuk pergi ke bioskop. Bagi Nokia yang menjadi sponsor, mutu audio dan video film yang dibintangi Jeff Bridges ini sekaligus menjadi “alat” untuk menunjukkan kemampuan komponen dan fitur HDMI-nya.

Ya, anak-anak indie memang selalu cerdas mencari peluang. Tak sukses masuk bioskop tradisional, masih ada jalan digital. Katanya, cara ini sudah dilakukan. Kata Ucup, mereka sanggup bikin film yang dikustom untuk sebuah produk ponsel atau tablet PC tertentu. Beragam application store yang ditawarkan oleh platform Android, BlackBerry, iPhone atau iPad, Bada, juga OVI Store makin membuka jalan distribusi film mereka. “Bahkan film Merantau sudah masuk iTunes,” ujar pira berkacamata ini.

Layanan operator

Sebagai refleksi saja. Di Amerika, industri layanan konten digital berupa video cukup diminati. Menurut eMarketer, pendapatan total dari sektor ini mencapai 719 juta dollar tahun 2010. Lembaga riset ini meramalkan tahun 2014, khusus mobile video bisa meraup untung sampai 1,3 milyar dollar.

“Proses digitalisasi media dan peluang untuk meningkatkan perolehan keuangan dari sektor game dan musik akan dialami juga oleh publisher film,” ujar Noah Elkin, analis senior eMarketer.

Tahun 2004, operator Sprint di Amerika yang menggunakan jaringan CDMA malah telah menggelar layanan “pay-per-view” untuk memperoleh streaming film durasi penuh. Layanan bernama Sprint Movies yang dioperasikan oleh mitra kerjanya, mSpot bahkan bekerjasama dengan distributor film dunia macam Buena Vista VOD, Lionsgate, Sony Pictures Home Entertainment, dan Universal Pictures.

Pada tahun itu saja sudah 45 judul siap ditonton via ponsel. Sejumlah film box office macam National Treasure, Spider-Man 2, dan Scarface adalah beberapa di antaranya.

Mengapa Sprint menggelar layanan film digital bergerak ini?

Direktur Penjualan Produk Hiburan Sprint kala itu, Alana Muller melihat ada ceruk di situ. Ia melihat pelanggan Sprint yang sering menunggu di bandara gara-gara delay, juga orang-orang sibuk yang perlu hiburan sambil makan siang, bahkan anak-anak yang diam duduk di kursi mobil saat melakukan perjalanan jauh dengan orang tuanya. “Anak-anak akan terhibur oleh film Herbie: Fully Loaded dan Babe,” kata Muller.

Upaya Sprint membuahkan hasil. Setahun kemudian nampak pertumbuhan pelanggan. Menurut Muller, sejak Sprint Movies diluncurkan pelanggan tumbuh rata-rata sebesar 30 persen. Tawaran ini sangat signifikan menarik pelanggan baru.

Sukses Sprint diikuti oleh Bell Kanada yang merilis layanan serupa tiga tahun kemudian. Bell menamakan layanannya Mobile Movies dan merangkul Buena Viesta maupun Sony Pictures. Tarif per film dimulai dari 5,15 dollar dan Bell menjaga kualitas jaringan untuk streaming film dengan paket unlimited. Program ini lantas dikemas dengan paket-paket tertentu. Pendek kata, pelanggan bisa menonton film kapan saja selama 24 jam, dan di mana saja.

Di negeri luar layanan seperti ini memang sudah jamak. Pengalaman Ucup di Inggris membuktikan betapa cepatnya proses pengunduhan film. Bahkan, sewaktu ia ke Korea sudah tak ada lagi DVD. “Semua download,” ujarnya.

Jalur untuk film indie

Di Indonesia meski kondisi mutu jaringan yang seringkali tidak konsisten bukan tak mungkin menggelar layanan serupa. Meskipun agak sulit jika menawarkan film-film dengan durasi lama. Yang memungkinkan, kata Arif yang bekerja di rumah produksi indie Good Sign Production adalah film-film pendek yang berdurasi antara tiga sampai enam menit. “Kalau agak panjang, kan bisa dipecah-pecah jadi beberapa episode,” ujarnya.

Maka, sejak tiga bulan silam rumah produksinya telah menawarkan konsep mirip mSpot-nya Sprint kepada salah satu operator GSM. “Ada respon, bahkan mereka siap menjalankan, karena infrastrukturnya sudah siap,” lanjutnya. Karena itu, proyek seperti ini sangat terbuka dan cocok bagi sineas indie.

Perkiraan Arif dengan budget sebesar 6 juta perak per episode sudah cukup untuk berkarya. “Malah kalau satu hari bisa ngejar untuk syuting tiga episode dengan biaya sama, bisa lebih ringan lagi,” akunya. Artinya sistem kejar tayang akan berlaku untuk mengefisiensi biaya dengan jaminan bahwa film-film pendek tersebut siap ditawarkan oleh operator untuk memperkaya layanan value added-nya. Ini tentu akan menjamin kontinyuitas berkarya itu sendiri.

Karya film yang disediakan lewat toko digital membuka peluang untuk terdistribusi secara internasional. Prinsip dunia tanpa batas yang ditawarkan internet (termasuk mobile internet) melandasi konsep penjualan global ini.

Sebuah content provider di India bernama Hungama Mobile melakukannya. Perusahaan ini tahu persis bahwa film Bollywood sudah mendunia. Film India bahkan cukup digandrungi di sejumlah negara Eropa. “Sebut saja Inggris, Prancis, dan Jerman. Di Belanda bahkan film India sudah di-dubbing dengan bahasa lokal,” kata Albert Almeida, COO Hungama Mobile. Hungama beralinasi dengan perusahaan Wireless Expertise untuk menjajakan film Bollywood di tanah Eropa.

Mobile digital movie versi Indonesia memang harus dimulai oleh sineas muda yang bersemangat independent yang tak melulu memikirkan unsure komersial melulu. Layanan Movie dari operator adalah salah satu pembuka jalan. Jalan lain bisa ditempuh dengan menggandeng vendor. Arif bahkan siap melakukan pekerjaan ini selagi dukungan operator maupun vendor tinggi.

Begitulah peluang itu terbuka lebar di jalur digital, agar rezeki sineas muda terus berisi dengan film-film “berbunyi”, biar industri film nasional juga dicicipi anak-anak indie. (ANDRA/FORSEL)

Sumber : FORSEL