Sebuah gap yg sangat signifikan.
Padahal waktu di tahun 2008 ketika perfilman Indonesia sedang mengalami kebangkitan, penonton film Indonesia mencapai 32 juta, dan di estimasi akan naik setiap tahun tetapi tahun-tahun berikutnya malah terjadi perosotan yg cukup tajam. (2009=30 juta, 2010=16 juta)
Apa yg terjadi?
Kelemahan kualitas cerita di film kita pasti menjadi salah satu faktor penting untuk kontribusi penurunan di mana penonton sudah bosan melihat film-film yg tidak berbobot, tetapi ada lagi faktor-faktor signifikan lain yg membantu membawa perfilman Indonesia ke kehancuran kedua. Sayangnya faktor-faktor ini sebenarnya bisa di cegah oleh pemerintah tetapi seperti biasanya pemerintah kita selalu lambat/tidak peduli dengan situasi perfilman nasional.
Misalnya keterbatasan bioskop untuk menyerapi penonton di seluruh penjuru negara. Dominasi sinepleks 21 di dekade 90′an yg juga mempunyai jaringan importir film sendiri otomatis dalam semalam menghancurkan bioskop-bioskop independen di seluruh pelosok negara. Sehingga mulai saat itu, bioskop-bioskop hanya berkonkenstrasi di mal-mal kota besar. Lucunya, baru-baru ini ada investor dari Korea selatan bernama Lotte cinema yg mau membangun 100 bioskop tetapi di larang pemerintah dengan alasan pemerintah mau memberikan investor lokal kesempatan bertanam modal dulu. Sepertinya pemerintah mementingkan kepentingan nasional tetapi malah merugikan perfilman Indonesia yg sedang kekurangan tempat pemutaran.
Minimnya outlet pemutaran film Indonesia juga berarti mereka musti bersaing dengan film-film Hollywood yg berjumlah lebih banyak, sehingga penayangan film lokal banyak di korbankan jika tidak memenuhi kuota penonton. Berkurangnya masa tayang/tempat pemutaran otomatis mengurangi kesempatan penonton kita untuk menonton film lokal. Belum lagi harga tiket secara pelan-pelan merambat naik karena harga sewa tempat di mal-mal semakin naik sehingga film-film yg di targetkan untuk ‘kelas bawah’ dan remaja (setengah dari jumlah produksi film lokal) akan kehilangan penonton karena daya beli mereka yg terbatas. 21 juga bisa semena-mena menaikan harga karena tidak adanya kompetisi yg berarti dan juga pengawasan pemerintah soal kenaikan harga tiket masih belum ada. Kalau di negara-negara yg mempunyai kultur film kuat seperti Inggris/Australia mereka menaikan harga tiket film untuk membantu subsidi film lokal tetapi di Indonesia sendiri peran pemerintah untuk membantu film lokal masih tidak jelas.
Belum lagi masalah baru, konversi film proyektor dari analog ke digital. Sekilas sepertinya dengan kemurahan proyektor digital, biaya produksi film lokal akan lebih murah karena shooting dengan kamera digital bisa langsung di proses tanpa perlu di transfer ke celluloid copy dulu tetapi justru tanpa menggunakan proyektor analog harga film impor pasti jauh lebih murah karena tidak perlu lagi copy celluloid juga sehingga film impor bisa di tayangkan sebanyak-banyaknya (satu film bisa langsung di tayangkan ke beberapa layar) dan yg pasti film lokal akan di korbankan duluan. Yg mencurigakan lagi kemungkinan besar konversi digital proyektor itu juga di pegang oleh salah satu anggota keluarga 21 sehingga monopoli mereka akan penayangan film di Indonesia bertambah komplit.
Yg memaksakan konversi digital proyektor adalah dari MPA (Motion Pictures Association) yg beranggotakan enam studio besar di Hollywood. Ironisnya di Amerika sendiri, konversi digital proyektor di akhir 2010 baru mencapai 25% dari sekitar 6000 bioskop. Sementara untuk Indonesia, MPA memberi batas waktu sampai 2015 untuk konversi total ke digital karena sehabis itu film impor dari Hollywood akan berupa digital sehingga otomatis mematikan bioskop-bioskop kecil yg masih memakai analog proyektor.
Apa tindakan pemerintah?
Syamsul Lussa, Direktur Pengambangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam wawancara dengan tabloid Kabar Film, Juli lalu, “Perubahan drastis sedang melanda dunia perfilman saat ini… Ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di semua negara… Yang pasti kami tidak dapat berbuat lebih jauh, kecuali tetap melihat keberadaan lab yang ada saat ini maupun yang sudah tutup sebagai bagian dari proses sejarah perfilman di Indonesia.”
Artinya, pemerintah hanya pasrah dengan situasi dan tidak akan berbuat apa-apa.
Mereka rela perfilman nasional kita di bully habis-habisan oleh 21 dan MPA. Visi mereka tentang perfilman kita juga tidak transparan dan sulit di tebak. Bagi saya kecondongan pemerintah untuk merelakan dominasi 21 di aspek pemutaran film dan impor sudah keterlaluan dan perlu di selidiki lebih lanjut karena bukan untuk kepentingan film nasional tetapi hanya beberapa pihak. Ironisnya, pemerintah kelihatan sok pamer serius dengan menyatakan perfilman nasional di bawah tanggung jawab dua kementrian; Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui Ditjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya serta Direktorat Pengembangan Industri Perfilman. Kedua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Ditjen Kebudayaan dan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman.
Panjang benar ya? tetapi mereka masih belum punya strategi-strategi konkrit atau aksi nyata di lapangan untuk membela/membangun/memelihara perfilman nasional kecuali menyumbang uang untuk event-event promosi yg tidak penting. Sepertinya budaya pamer tanpa substansi sudah mendarah daging di budaya Indonesia modern dan kehancuran perfilman Indonesia yg kedua akan menjadi bukti kuat atas hasil dari ketidak pedulian pemerintah untuk film nasional, tetapi tidak apa-apa kita masih bisa berteduh nyaman di bioskop 21; membayar tiket mahal untuk menonton Transformers ke 9 lewat digital proyektor sembari mencicipi popcorn yg sudah masuk angin.
Sumber: filmindonesia.or.id