Empat sutradara film pendek Medan berkolaborasi menggarap satu film kompilasi berjudul “Omnibus Bohong”. Film garapan Andi Hutagalung (Media Identitas), Muhammad Taufik Pradana (Opique Pictures), Hendry Norman (Mata Sapi Production), dan Immanuel Ginting (Manu Projectpro) itu diperkenalkan dalam konferensi pers yang digelar di Rimba Kopi, Jl. H.M Joni, Medan, Senin (20/5) kemarin. “Omnibus Bohong” merupakan satu kesatuan dari empat film pendek yang digarap dalam waktu yang berbeda. Andi Hutagalung mengetengahkan film pendek berjudul “Kongkalikong”, Taufik untuk film “Ego”, Hendry lewat film “Segiempat”, dan Manu di film “Kontradiksi”. Total durasi film sekitar 1,5 jam dengan rata-rata durasi 15 menit per film.
Menurut mereka, ide Omnibus Bohong
berawal dari keinginan untuk mengangkat film independen Medan yang
selama ini sudah bergerak, namun dirasa masih membutuhkan motivasi
semangat untuk berkarya. “Tidak ada niatan untuk mencari untung melalui
film ini, tapi hanya ingin berbagi dan belajar,” ujar Andi Hutagalung
kepada wartawan. “Dan, yang tidak kalah penting ialah, supaya masyarakat
Medan tahu bahwa ada lho film buatan anak Medan yang selama ini mungkin
belum semua orang tahu,”
Disinggung mengenai biaya produksi film,
keempat sutradara yang sebelumnya sudah menelurkan sejumlah film pendek
dan dokumenter itu mengatakan, biaya produksi masing-masing film pendek
terbilang relatif kecil bila dibandingkan dengan film layar lebar.
“Sangat kecil, masih jutaan. Karena di film ini kita memang tidak
merekrut aktor dan aktris dengan bayaran tertentu. Bahkan, melalui film
kita ingin melahirkan aktor dan aktris baru dari Medan,” sambung Andi.
Hendry menambahkan, semangat pembuatan
film ini memang berangkat dari indie. “Jadi sangat berbeda dengan
produksi film layar lebar. Untuk aktor memang tidak ada bayaran, tapi
dari film ini, anak Medan kita ajak untuk berkreasi. Setidaknya bisa
jadi media untuk portfolio jika memang ingin serius di film,” jelasnya.
Menurut mereka, penggarapan film seperti
Omnibus Bohong diharapkan akan mampu memotivasi sineas film di Medan
untuk terus berkarya walaupun tidak selalu memikirkan sisi komersil
dulu. Namun, lebih kepada kreativitas. Memang, saat ini industri film
Medan sendiri mulai menunjukkan perkembangan, ditandai dengan munculnya
sineas-sineas muda yang sudah berani menunjukkan karyanya ke publik.
Meski demikian, harus diakui perkembangan itu masih terkendala
infrastruktur, fasilitas, dan teknik sinematografi.
“Wajar kalau buat film bagus itu biayanya
besar, karena fasilitasnya juga mahal. Tapi, kita punya semangat,
dengan fasilitas kamera yang harganya tidak lebih dari Rp 30 juta, kita
mencoba memberanikan diri untuk buat film, yang pasti masih banyak
kekurangan di sana-sini terutama dalam hal teknis. Tapi, inilah
kreativitas yang kita buat,” kata Ridho dari Mataniari Production, yang
juga hadir sebagai juru bicara kelima sutradara.
Ketika disinggung apakah ada rencana
kelima sineas untuk menggarap film yang lebih besar agar gaung perfilman
lokal lebih terangkat, diakui mereka bahwa hal itu sudah terpikirkan.
“Sudah pernah hal itu kita diskusikan.
Kami melihat kendalanya masih di persoalan biaya produksi,” kata Ridho.
Andi menimpali, pernah juga berencana menggalang dana seperti yang
dilakukan sineas Sammaria Simanjuntak dengan film “Demi Ucok” yang
melakukan penggalangan dana sistem “Co-Pro”—semua orang dapat menjadi
co-produser hanya dengan berpartisipasi dana mulai dari Rp 10.000.
Menurut Andi, cara penggalangan dana
seperti itu, juga tidak terlepas dari nama besar Sammaria yang sudah
tidak asing lagi di industri perfilman Indonesia. Apalagi dia bergerak
dari Jakarta yang kemungkinannya lebih besar. Berbeda dengan Medan yang
belum semuanya mampu mengapresiasi karya sineas lokal. Saat ini, kata
Andi, ia bersama teman-teman sutradara ingin lebih mengaktifkan
kreativitas sineas lokal, sehingga nantinya muncul film-film yang bisa
mengangkat nama sineas Medan. Setelah itu tercapai, bukan tidak mungkin
cara yang sudah pernah dilakukan Sammaria, akan mudah dilakukan. “Nama
besar Sammaria, menurut saya, sangat berpengaruh dengan Co-Pro itu,”
katanya.
Dijadwalkan film “Omnibus Bohong” mulai
diputar perdana (premier), Selasa (21/5) di Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Medan, mulai pukul 10.30 WIB. Penonton hanya membayar tiket
Rp10.000 sebagai bentuk apresiasi. “Penjualan tiket yang terkumpul nanti
akan digunakan untuk roadshow ke beberapa kota,” jelas Ridho. Roadshow
juga akan dilakukan di kampus dan sekolah-sekolah.
—
Foto: Tonggo Simangunsong | Editor: Intan Larasati
sumber : http://indonesiakreatif.net/