Jangan Takut Buat Film!
Sebuah Catatan Menyambut Hari Film Nasional 30 Maret 2010
OLEH: ONNY KRESNAWAN
Ketika
Panitia Bulan Film Nasional Medan yang juga Ketua Forum Komunikasi
Insan Film (FKIF) Sumut Haji Amsyal meminta salah satu produksi film
saya untuk diputar menyambut Hari Film Nasional di Medan, jujur saya
sontak tercengang dan menjawab diujung telpon
“Apakah ini tak
berlebihan bang, soalnya masih banyak produksi sineas Medan yang
berkualitas, kenapa harus punya saya” Tapi bang Haji cepat menyela
jawab “Betul memang banyak tapi sulit mencari film yang sudah
diapresiasi secara nasional seperti punya anda” Lantas saya masih
ber-argumentasi menimpali “Sebenarnya cukup banyak produksi film
teman-teman sineas di medan yang patut dibanggakan, hanya saja mungkin
mereka enggan “uji karya” ke perbagai kompetisi film yang dilakukan
ditingkatan nasional” Dan secepat kilat Bang Haji menyambar percakapan
saya” Nah itu dia masalahnya! Dengan menghadirkan karya anda, kita
berharap akan terjadi diskusi sekaligus memotivasi teman-teman untuk
lebih bangkit dan berkarya ketingkat nasional bahkan internasional”
Memang,
akhirnya tak sulit memenuhi permintaan Bang Haji Amsyal dan kawan-kawan
jika argumentasinya untuk berdiskusi saling sulang dan menumbuhkan
motivasi. Namun akan sulit bagi saya jika diajak berdiskusi dengan
parameter sebuah karya yang harus di”belejetin” dari segi
sinematografy-nya. Sebab, saya bukanlah seorang akademisi per-film-an
yang nantinya bisa diajak mengurai kalimat secara teknis dan sistematis.
Saya hanya mantan jurnalis televise yang mencoba “banting stir”
menseriusi dan memproduksi film documentary secara otodidak. Belajar,
berlatih dan bereksperimen dengan mencari pengalaman secara alamiah.
Toh, makna penting yang saya tangkap dari niatan Bang Haji dan
teman-teman lainnya -mendaulat produksi film saya tayang dan
didiskusikan- adalah memberi ruang kepada filmmaker dan sineas muda di
Medan untuk tampil sekaligus upaya memompa semangat agar terus terjadi
regenerasi tak terputus.
Halnya dengan produksi film yang
disuguhkan dalam menyambut bulan film nasional kali ini yakni “Perempuan
Nias Meretas Jalan Kesetaraan” atau PNMJK, merupakan Film docudrama
atau documenter drama yang dikerjakan dengan peralatan produksi serta
pemeran serba minim, dan jauh dari sentuhan tangan-tangan professional
sinematografy. Mengandalkan semangat dan satu camera 3 CCD tua, serta
mendireck pemain local di Pulau Nias yang sama sekali tak mengenal dunia
akcting , produksi dengan waktu 3 hari audisi dan 10 hari shooting di
lapangan, tentu bukanlah kerja gampang untuk menghasilkan karya film
yang maksimal. Namun agaknya itu pula yang menjadi kekuatan bagi film
PNMJK- dari produksi serba minim namun mampu menghasilkan karya
fenomenal. Dus, saat PNMJK mendapat pernghargaan tayang di Conference
Sex Tourism (CST) Asia Tenggara di Bali 2009, seorang producer film asal
Singapura Michael Chick sempat tercengang mendengar pengakuan bahwa
film tersebut digarap hanya dengan satu camera dengan konsep shoot cut
to cut. Tambahan lagi, para pemainnya hanya berasal dari sumber daya
local yang bukan actor dan aktris. PNMJK juga sempat menjadi tontonan
favorit di Parade Film Pendek Indonesia (PFPI) 2009 di Jawa Tengah Dan
kemudian, di tahun 2010 ini PNMJK sempat menjadi nominator di Ganesha
Festival Film Bandung. Dari kutipan news features radio DW Jerman, film
PNMJK disebutkan bukan saja sekedar sebagai film indie yang apik
ditonton tapi lebih dari itu berdayaguna sebagai medium kampanye hak
anak dan gender.
Adalah Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak
(PKPA) sebuah lembaga yang concern terhadap anak, yang cukup berperan
besar dalam mensupport produksi film PNMJK ini. Mereka sadar bahwa film
sebagai media audio visual mempunyai kekuatan efektif untuk gerakan
moral perubahan prilaku yang lebih baik. Dan dalam konteks ini, saya mau
bilang bahwa ada banyak lembaga-lembaga atau perusahaan besar lain yang
kini tengah melirik film sebagai medium kampanye tanpa meninggalkan
makna film sebagai tontonan berbalut seni. Juga bagi perusahaan
BUMN/swasta nasional yang memiliki dana CSR untuk difungsikan membuat
film sebagai media penyadaran dan pendidikan. Lihat, dibalik sukses film
Laskar Pelangi dan King ada perusahaan BUMN dan swasta yang memberi
support dana CSR untuk produksinya. Artinya, peluang besar untuk
memproduksi film semakin terbentang luas. Tinggal, bagaimana kita
bersiasat creative sekaligus meningkatkan profesionalime agar klien
merasa nyaman menggunakan jasa keahlian yang kita miliki.
Seorang
kawan saya, Sakti Parantean, Producer dari Fictionary Films Jakarta ,
punya gagasan sekaligus pernyataan bagus, "ayo ciptakan pasar sendiri
yang mandiri, mari bikin film!". Ini adalah sebuah pernyataan tegas
untuk tak terjebak pada idiom kosong- seperti selama ini, masih banyak
teman-teman filmmaker yang kerap berkeluh kesah enggan memproduksi film
karena tak memiliki dana produksi. Ironis, hanya duduk manis berharap
ada aliran dana APBD atau biasa tembakkannya adalah Dinas Pariwisata.
DULU,
Orde Baru refresif memasung kreativitas anak muda. Bikin film adalah
perkerjaan mustahil. Disamping peralatan yang serba mahal Negara
menerapkan pelbagai syarat untuk memproduksi film. Mulai dari ijin
Departemen Penerangan, actor maupun aktris film harus jadi anggota
FARFI, crew film harus jadi anggota Karyawan Film dan Televisi (KTF),
pembuat film harus ikut Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI),
sutradara film harus empat kali pernah menjadi asisten sutradara dan
lain sebagainya tetekbengek jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk
sebuah produksi film. Naibnya lagi, bikin film saat itu harus
terlebihdahulu dapat ijin dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib).
Memang, tak jamannya lagi di era reformasi kini
takut bikin film, apalagi menabur khawatir seputar akan ditayangkan
dimana dan siapa yang akan menontonya. Toh, Pemerintah dengan konsep
Undang-Undang Penyiaran mulai bergerak membuka ruang bagi kita untuk
berekspresi. Untuk itu, mari terus kita dukung dan kawal Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) agar terus berupaya memberdayakan konten local
terhadap televise swasta nasional berjaringan dan televise local yang
makin menjamur bermunculan. Artinya, kita akan semakin banyak memiliki
ruang berekspresi dan berkarya untuk mengisi program acara di stasiun
televise dan tak melulu terus berharap mengincar bioskop 21 sebagai
penampungnya.
Memang, SUMBER daya manusia akan jadi bahasan
penting dalam mendedah gerakan film di Sumatera Utara, khususnya di Kota
Medan ini.
Perkembangan film di Medan belakangan memang pesat. Cepat tapi pincang.
Bagaimana tidak, problem sinema ialah dalam sejarah yang
begitu singkat harus mengajar banyak orang dalam euforia yang begitu
tinggi. Satu sisi harus berkarya, sisi lain harus harus mencari uang sekaligus ruangnya.
Salah satu yang bisa meningkatkan sumber daya manusia dibidang film
apalagi
kalau bukan sekolah film. Sayangnya, Medan nyaris tak pernah ada
sekolah khusus PerFilman, mungkin hanya Kengsington Institut ini (tempat
diadakanya acara Hari Film Nasional) satu-satunya, itupun mungkin masih
belum diberdayakan secara maksimal. Padahal, menjamurnya komunitas film
di Medan ini cukup signifikan- ditambah berbagai ivent festival film
yang diselenggarakan- terakhir yang cukup besar bahkan berskala nasional
adalah Festival Film Anak (FFA) 2009. Dari keluaran FFA yang
diprakarsai oleh PKPA dengan SFD dan di dukung komunitas film di
Sumatera Utara ini menunjukkan betapa sineas muda di Medan sangat
mendambakan kesinambungan pendidikan dan pelatihan atau workshop film.
Bahkan actor senior Didi Petet yang sempat menjadi Ketua Dewan Juri FFA
sempat menitip pesan agar berbagai pihak terus bertanggung jawab untuk
keberlangsungan bakat luar biasa yang dimiliki anak-anak di medan
tersebut.
Gerakan insan film di Medan memang masih punya banyak
pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi. Diantaranya persoalan
transfer informasi dan pengetahuan film dengan lebih merata ke seluruh
lapisan insan film-nya sendiri. Membangun jaringan komunikasi yang lebih
kokoh sekaligus berfungsi menyiapkan medium distribusi karya yang luas.
Memecah kebekuan, kesenjangan informasi dan akses antara generasi tua dan
muda
juga antara sineas dan pemerintahan. Eksplorasi tiada henti untuk
mewujudkan perfilman di Sumatera Utara jadi lebih baik, sebagaimana yang
tengah digagas oleh teman-teman FKIF di peringatan bulan film
nasional ini. Semoga, FKIF Sumut terus mendapat dukungan dari segenap
lapisan dan semoga di momentum Hari Film Nasional ini semangat sineas
film di Medan bangkit kembali dan lebih semangat berkarya!!!
Terimakasih.
Penulis Adalah Direktur Sineas Film Documentary (SFD) Medan
Dan
Producer/Director Film Documentary “Pantang di Jaring Halus” dan
“BADAI” (Berharap Air di Atas Air) yang telah mendapat apresiasi award
nasional.
Email. onnykres@yahoo.com