Belakangan
ini, pergerakan komunitas film yang telah menyusup hingga ke pelosok
Indonesia makin terasa kuat dan tak terpatahkan. Apabila rajin mengamati
berita lewat milis perfilman, beberapa bulan sekali kita akan menerima
e-mail yang bertajuk ‘calling for submission’ karya-karya film
Indonesia. Beberapa ajang mengkhususkan pemutaran mereka pada film-film
pendek, beberapa pada karya dokumenter. Belum lagi ruang-ruang
alternatif yang dengan sukarela (dan tak jarang heroik) menyediakan
tempat mereka secara gratis bagi para filmmaker muda yang ingin memutar
karya mereka dan membuka forum diskusi dengan para penonton secara
langsung.
Festival
film bergulir, ruang-ruang alternatif semakin gencar menjaring
komunitas pembuat film (bahkan merekrut mereka dalam satu atap), dan
para pembuat film yang kadang hanya bermodal kenekatan, video kamera,
dan komputer sebagai alat editing pun semakin berani memproduksi film.
Dalam penilaian sebuah karya, mutu film-film tersebut memang kadang
tidak memenuhi standar kriteria sebuah film yang baik dan benar, namun
bukankah segalanya bermula dari impian dan semangat untuk mewujudkannya?
Apa
yang membuat semangat para pembuat film dan komunitas ini tiba-tiba
berkobar kembali? Apabila kita runut dari perkembangannya sejak awal,
komunitas film independen dapat dikatakan pertama kali muncul tidak lama
setelah Indonesia memiliki institusi pendidikan filmnya yang pertama di
tahun 1970. Ketika itu Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Lomba Film
Mini yang diikuti secara antusias oleh seniman di luar film maupun para
maha-siswa sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, kini
IKJ). Karya-karya yang masuk beragam, namun mayoritas bernuansa
‘amatiran’ (saat itu hampir semua karya meng-gunakan media film 8mm yang
harganya terjangkau). Semangat lomba tersebut menular pada sebagian
mahasiswa sinematografi LPKJ, yang kemudian melahirkan sebuah gerakan
bernama “Sinema Delapan”, di mana semua film yang dihasilkan harus
menggunakan media film 8mm. Semangat ini, terutama, lahir sebagai
gerakan penentangan terhadap kemapanan industri film Indonesia yang
ketika itu mengalami perkembangan luar biasa di mana 125 film dilahirkan
dalam satu tahunnya. Namun karena kurangnya dukungan, Sinema Delapan
hanya bisa bertahan satu tahun.
Setelah
satu dekade vakum tanpa adanya pergerakan yang berarti, muncullah Forum
Film Pendek (FFP) di tahun 1980an. Pendiri dan anggota yang berasal
dari macam-macam latar belakang membuat gerakan ini lebih terasa
signifikan. FFP menciptakan isu nasional dan memutar film hingga ke
Medan, Lombok, Bali. FFP juga tercatat sebagai komunitas yang pertama
kali memformulasikan film pendek sebagai film alternatif dan independen.
Semenjak kelahiran FFP yang salah satu misinya adalah memperkenalkan
film sebagai karya seni hingga ke luar negeri, film-film pendek
Indonesia mulai dikirim untuk mengikuti ajang festival film mancanegara.
Hal ini tentu saja memberi semangat lebih kepada para pembuat film muda
untuk berkarya, walau kebanyakan dari mereka masih berlatar belakang
pendidikan sinematografi. Salah satu prestasi awal yang dicapai film
pendek Indonesia adalah ketika film pendek Gotot Prakosa diundang untuk
diputar di Oberhausen Film Festival, Jerman, sebuah festival film pendek
tertua dan paling bergengsi di dunia.
Walau
komunitas film di dekade 80 dan awal 90-an tidak sebanyak sekarang,
namun dengan keterbukaan peluang untuk berkarya, gerakan-gerakan yang
sifatnya lebih individual dan tertutup mulai berkembang di Indonesia,
terutama di Jakarta. Pembicaraan dan wacana film mulai beredar tidak
hanya di kalangan akademisi dan penggiat film, tetapi juga praktisi seni
visual dan penikmat budaya pop. Hal ini muncul sejalan dengan masuknya
program MTV di layar kaca. Antusiasme para produser dan pemusik yang
berlomba untuk mempopulerkan lagu-lagu mereka lewat video musik (di
Indonesia lebih popular dengan sebutan video klip) membuat sebuah
industri baru dalam dunia gambar bergerak Indonesia.
Walaupun
hakikat video musik di Indonesia terkadang tidak lebih sebagai alat
promosi dan seringkali dinilai dari segi estetisnya belaka, industri ini
membuat anak-anak muda mulai terjun ke dunia tersebut, selain aktif di
film iklan dan produksi acara TV. Semangat anak-anak muda ini adalah
angin segar, terutama di kala perfilman Indonesia sedang berada dalam
titik terendahnya di mana 95% film Indonesia yang diproduksi antara
1994-1998 adalah film khusus dewasa alias esek-esek.
Tahun
1997 menjadi tahun penting bagi perubahan film Indonesia yang mati suri
(bukan mati produksi, tapi mati kualitas!). Di tahun ini Seno Gumira
Ajidarma mengungkapkan jargon tenarnya, yaitu Sinema Gerilya. Dalam
tulisannya SGA mengatakan bahwa “jika ingin ada orang menonton film
Indonesia, masyarakat penonton itu harus diciptakan dulu” dan
“kebangkitan perfilman Indonesia akan sangat bergantung pada karya
pribadi yang kuat.” Buah pikiran Seno Gumira ini lahir hampir bersamaan
dengan produksi film panjang independen pertama Indonesia, Kuldesak,
sebuah film gabungan dari empat cerita/film pendek yang dilahirkan oleh
semangat muda-mudi penggiat film Indonesia atas nama gerakan Sinema
Independen. Mereka adalah Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Achnas, Shanty
Harmayn, Rizal Mantovani (keempat na-ma yang disebutkan di awal kini
menggawangi produksi film berkualitas Indonesia). Film yang didanai
sendiri oleh keempat sutradaranya ini menggunakan teknologi digital
(video) dan mengusung cerita yang tidak biasa pada saat itu: potret
kegelisahan anak muda melalui kacamata anak muda itu sendiri.
Film
Kuldesak, dengan gebrakan tema, budget produksi dan medium yang
digunakannya, bersama dengan “Sinema Gerilya” SGA, tidak bisa dipungkiri
memulai babak baru dalam sinema independen Indonesia. Bermula dari itu,
perlahan-lahan tumbuh komunitas film di Indonesia, sebagian memfokuskan
diri hanya pada apresiasi, sebagian lainnya langsung terjun ke dunia
praktek dengan memproduksi film-film pendek, dokumenter, maupun feature
film. Di tahun 2000 saja tercatat 6 film feature independen yang
semuanya diproduksi dalam medium digital: Beth/Aria Kusumadewa, Bintang
Jatuh/Rudi Soedjarwo, Jakarta Project/Indra Yudhistira, Pachinko &
Everyone’s Happy/Harry Suharyadi, Tragedi/Rudi Soedjarwo, Sebuah
Pertanyaan Untuk Cinta/Enison Sinaro.
Runtuhnya
orde baru yang mencapai puncaknya di tahun 1998 membawa kemerdekaan
bagi banyak anak muda untuk lepas dari doktrin ’silence is golden’.
Darah-darah muda (dengan gelora barunya) meneriakkan kata-kata
‘independen!’ pada saat yang bersamaan, hampir pada semua jenis bidang
kreatifitas. Keadaan ekstatik yang awalnya bersifat individualistis ini
perlahan memijakkan diri dengan membentuk institusi-institusi informal
(atau komunitas) yang bermula di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta.
Berbagai
elemen secara tidak langsung namun simultan mendukung perkembangan
sinema independen Indonesia saat itu (dan terus berlangsung hingga
kini):
1. Kemudahan dan semakin terjangkaunya pembuatan film dengan teknologi digital (kamera video digital dan non-linear editing di komputer).
2. Hadirnya Festival Film dan Video Independen Indonesia (kini menjadi Festival Film Pendek Indonesia, yang kemudian menginspirasi festival-festival film independen lokal lain-nya) dan Jakarta International Film Festival sebagai festival film internasional di tahun 1999, menghadirkan referensi dan semangat baru bagi para pembuat maupun penikmat film.
3. Meluasnya jaringan internet yang membuka cakrawala pendidikan non-formal secara general, khususnya perfilman.
1. Kemudahan dan semakin terjangkaunya pembuatan film dengan teknologi digital (kamera video digital dan non-linear editing di komputer).
2. Hadirnya Festival Film dan Video Independen Indonesia (kini menjadi Festival Film Pendek Indonesia, yang kemudian menginspirasi festival-festival film independen lokal lain-nya) dan Jakarta International Film Festival sebagai festival film internasional di tahun 1999, menghadirkan referensi dan semangat baru bagi para pembuat maupun penikmat film.
3. Meluasnya jaringan internet yang membuka cakrawala pendidikan non-formal secara general, khususnya perfilman.
4.
VCD dan DVD bajakan (bagaimanapun tidak dapat dilegitimasikan),
‘membunuh’ tradisi menonton bioskop masyarakat Indonesia, namun juga
membantu membuka wacana baru bagi para pembuat film muda dengan
referensi-referensi film internasionalnya.
Faktor
pendukung di atas melahirkan ruang-ruang alternatif yang tidak hanya
dikelola di bawah naungan individu/organisasi non-formal, tetapi juga
pusat-pusat kebudayaan, kampus-kampus. Lahirnya karya-karya film
independen Indonesia dengan sendirinya memaksa ‘keran-keran’ kebudayaan
ini untuk membuka diri dan mendukung perkembangan jaman, yaitu jaman
para generasi X dan Y (yang terkenal dengan kecuekkan, kecerdikan,
kemandirian, dan tentu-nya, kegilaan pada teknologi). Saat ini, tidak
kurang dari 80 komunitas film di kota besar dan pelosok Indonesia
menjalankan kegiatannya secara mandiri dengan mengadakan pemutaran film
dan diskusi secara reguler, produksi film, bahkan beberapa mulai berani
memposisikan institusi mereka sebagai distributor film. (Untuk lebih
jelas, lihat daftar ‘Data Komunitas Film Indonesia’, di website http://www.datakomunitas.wordpress.com dan baru-baru ini berganti nama menjadi http://www.filmalternatif.org).
Hampir
seluruh komunitas film di Indonesia tidak menggantungkan diri mereka
pada dana dari funding, terlebih pemerintah. Rasa-rasanya agak sulit
untuk mengharapkan dukungan dari pemerintah, mengingat film nasional
(baca: film Indonesia arus utama) pun masih dilirik setengah mata oleh
para petinggi tersebut. Namun hal ini justru mengakibatkan perasaan
senasib sepenanggungan yang kuat di antara para penggiat komunitas film
di Indonesia. Masing-masing sadar betul bahwa daya jangkau mereka akan
semakin lebar dengan adanya sinergi yang matang satu sama lain. Seperti
contoh, komunitas Minikino yang berbasis di Denpasar, mengadakan acara
monthly screening mereka di lima tempat di bawah naungan
komunitas-komunitas film lokal Bandung, Jakarta, dan Denpasar. Bahkan
beberapa komunitas film (Kineruku/Bandung, Kinoki/Yogyakarta, Arisan
Film Forum/Purwokerto) kini bergabung untuk menerbitkan jurnal kajian
film empat bulanan yang akan didistribusikan di sebanyak mungkin titik
di seluruh Indonesia. Keinginan ini tidak terlepas dari keinginan
masing-masing komunitas untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman (teknis
maupun apresiatif), serta menciptakan masyarakat penonton yang kritis
dan apresiatif.
Perlahan,
rupanya impian Seno Gumira Ajidarma atas terciptanya kembali ‘penonton
film Indonesia’ mulai terwujud, dan gerakan-gerakan masif yang sifatnya
apresiatif tersebut ironisnya justru bermekaran dari komunitas-komunitas
film yang senantiasa bergerak di bawah radar.
sumber :http://asiaaudiovisualrb09oktyas.wordpress.com/sejarah-lahirnya-komunitas-film-di-indonesia/