I. Latar Belakang
Film pendek sebagai sebuah “gerakan” telah lama dimulai semenjak
tahun 70an. Mahasiswa sinematografi LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta? Jurusan sinematografi sendiri dibuka tahun 1971) yang kini
dikenal sebagai IKJ (Institut Kesenian Jakarta) membuat apa yang mereka
sebut sebagai Sinema 8, sebuah grup yang menggunakan kamera 8mm untuk
membuat karya “film mini” tepat setelah Festival Film Mini tahun 1973 di
Jakarta.
Sebagai sebuah gerakan “baru” yang me”nasional” pada saat itu, Sinema
8 hadir sebagai sebuah manifesto anak muda pada jamannya untuk bekarya
secara bebas dan mandiri (dengan peralatan seadanya). Pada jaman itu,
kamera 8mm adalah medium yang paling dekat dekat masyarakat (home use), tentu pada kelas masyarakat menengah keatas.
Wacana perlawanan terhadap kemapanan industri pun telah lahir
bersamaan dengan lahirnya “gerakan baru” ini. Sesuatu hal yang sampai
saat ini masih kita perdebatkan; apakah benar ada apa yang disebut
sebagai “industri film” di Indonesia? Pada saat itu, semangat perlawanan
yang diberikan oleh kelompok muda ini mengacu pada persoalan kuasa
ruang karya (dan berkarya) yang juga tampaknya masih menjadi persoalan
utama di Indonesia pada saat ini.
Keresahan para pelakunya atas komersialisasi karya film dan film
sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salahsatu
isu utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film
pendek sendiri telah dikenal sebagian masyarakat Indonesia jauh
sebelumnya melalui film-film “Gelora Pembangunan” pada era pemerintahan
Sukarno. Film-film tersebut diputarkan di kampung-kampung atau bioskop
sebelum film utama diputar. Pun ini berlanjut pada era pemerintahan
Suharto yang memiliki program pemutaran film melalui Departemen
Penerangan dengan misi memutarkan film-film (yang kebanyakan film
pendek) propaganda pemerintah dengan ideologi pembangunannya.
Pada masa-masa inilah lahir dengan subur karya-karya film
eksperimental. Nama-nama seperti Gotot Prakorasa, Henri Darmawan, Hadi
Purnomo, muncul sebagai penggerak dikalangannya. Juga keterlibatan
seniman seperti Sardono W. Kusumo dari seni tari menambah khasanah film
eksperimental pada saat itu dengan kolaborasi personalnya menggunakan
medium 8mm. Sebelumnya nama D.A. Peransi juga telah dikenal lebih dulu
sebagai seseorang yang aktif mengenalkan pendekatan baru dalam pembuatan
film dokumenter di Indonesia.
Pada tahun 1982 muncullah Forum Film Pendek yang digagas setelah kepulangan delegasi Indonesia, Gotot Prakorsa, dari
festival di Oberhausen. Forum ini mencoba untuk meneruskan gagasan
Sinema 8 sebagai sebuah gerakan film di Indonesia. Pada tahun itu
tercatat bahwa teknologi video mulai dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia. Pada tahun 1985 melalui acara Pekan Sinema Alternatif yang
diselenggarakan di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki 12-16 November
1985, disebutkan sebagai salahsatu program acara adalah Pameran Sinema
Elektronik. Pameran sinema elektronik adalah sebuah respon atas fenomena
baru teknologi video yang masuk ke Indonesia.
Video adalah fenomena baru saat itu. Namun seperti halnya 8mm,
penggunaan medium video masih pada seputar kalangan masyarakat menengah
keatas. Perguliran wacana video art sebagai sesuatu yang baru di
Indonesia mendapatkan respon yang baik namun masih pada sebatas sebuah
respon atas teknologi yang sophisticated. Dalam program pameran sinema
elektronik pada pekan sinema alternatif tersebut diputarkan beberapa
karya video art dari Jerman dan Amerika Serikat.
Pada acara tersebut juga diselenggarakan acara diskusi mengenai
sinema alternatif, dimana kisaran pedebatan yang dipersoalkan adalah
mengenai definisi dari alternatif itu sendiri mengacu pada konteks jaman
itu, hegemoni pembuat film senior yang telah lebih dulu berada di
industri film(?) Indonesia.
Cakupan wilayah wacana ini berputar pada kota-kota besar di Indonesia
tetap dengan sentrum di Jakarta. IKJ bisa dibilang sebagai penggerak
utama dari perjalanan wacana ini. Masyarakat Indonesia sedikit-banyak
telah akrab dengan medium seluloid (8, 16, dan 32 mm) dan video
(analog), namun penggunaannya sebagai media seni berputar pada kelas
eksklusif; menengah atas.
INSERT
Sampai dengan tahun 1988, saluran TV Indonesia hanya berisikan 1
channel yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI), merupakan saluran TV
pemerintah yang hampir kesemuanya berisikan berita atau program
propaganda pemerintah yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Pada
tahun 1989, untuk pertamakalinya saluran TV swasta dibuka untuk publik,
yaitu Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Sejak saat itu muncul
staisun-stasiun TV lainnya, hingga saat ini berjumlah 9 buah saluran TV
swasta dengan skala pancar nasional serta beberapa stasiun TV lokal.
Program-program tayangan televisi swasta membawa banyak perubahan
pada kultur visual masyarakat Indonesia. Program Sinema Elektronik
(Sinetron), merupakan program unggulan dari semua stasiun TV swasta yang
ada. Sinetron ada drama televisi yang banyak diadaptasi dari drama
televisi Amerika Latin dan India, dengan gaya penceritaan yang verbal
dan stereotip cerita mengenai si kaya dengan si miskin – si jahat dengan
si baik.
Pada pemerintahan Suharto, kekuatan ekonomi serta politik dipusatkan
di Jakarta (hingga saat ini). Distribusi informasi serta teknologi
(serta komponen lainnya) tidak hadir secara merata di Indonesia. Bioskop
boleh dibilang hanya dihadiri oleh kalangan masyarakat yang mampu. Pun
wacana film pendek, sinema alternatif, atau video art kemudian hanya
berputar pada lingkaran kecil dan terbatas. Dia tidak pernah benar-benar
meng-Indonesia. Film secara keseluruhan atau film eksperimental dan
video art secara spesifik direspon dan digagas oleh kalangan terbatas
ini. Nama Krisna Murti sebagai salahsatu pionir video art di Indonesia
yang sampai saat ini masih aktif berkarya dengan video adalah satu
peninggalan dari sejarah tersebut.
Pemerintahan yang militeristik dan sentralistik ini secara langsung
berakibat pada pola pendidikan satu arah. Semua dalam kendali pemerintah
yang salahsatunya dilakukan oleh Departemen Penerangan mengontrol arus
informasi yang terjadi dimasyarakat. Pada saat yang bersamaan, bentuk
kolonialisasi baru terjadi diseluruh dunia. Indonesia sebagai apa yang
kita sebut sebagai “dunia ketiga”, mengalami krisis identitas baru.
Sebagai Negara yang memiliki potensi menjadi blok komunis (terutama
setelah krisis politik 1965), pemerintahan Suharto mendapat dukungan
penuh dari USA. Salahsatu bentuk program yang diaplikasikan ke
masyarakat adalah program brainwashed melalui pemutaran film
dari desa ke desa. Film-film yang diputar adalah film-film dengan tema
pembangunan. Penggambaran epos kepahlawanan tokoh pembangunan (ekonomi),
masuk ke desa, mengajarkan masyarakat lokal (dan tertinggal),
modernisasi, dan doktrinasi pemahaman mengenai “barat” sebagai kawan
yang baik. film pembangunan, adalah sebutan bagi jenis film tersebut.
Pada tahun 1995, krisis politik dan ekonomi mulai terlihat gejalanya
di Indonesia dan memuncak pada tahun 1997 ketika krisis ekonomi terjadi
hampir diseluruh asia tenggara. Krisis ekonomi yang kemudian berlanjut
pada krisis politik ini menyebabkan sebuah jurang sejarah. Represi yang
dilakukan oleh pemerintahan Suharto membawa dampak yang dahsyat pada
perubahan struktur sosial di masyarakat Indonesia. Pada saat yang
bersamaan, gerakan politik kaum muda mulai meletup diberbagai daerah di
Indonesia. Wilayah seni secara keseluruhan terfokus pada persoalan
krisis politik dan ekonomi yang terjadi.
Pada rentang tahun 1995-97, represi yang dilakukan pemerintahan
Suharto terjadi diberbagai lini masyarakat Indonesia, tidak terkecuali
seni. Pembredelan media massa yang dianggap melawan pemerintah, kelompok
masyarakat yang dianggap radikal, ataupun kesenian yang dianggap
subversif. Tekanan ini menyebabkan sebuah keterputusan sejarah, membuat
generasi baru yang disebut sebagai generasi yang hilang (dari sejarah). Tahun
1998, Suharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden R.I.
atas tekanan kelompok mahasiswa dan elit politik yang melakukan manuver
melawan rezim Suharto. Era yang kita kenal sebagai era reformasi
Indonesia.
Hal ini memunculkan euforia kebebasan berekspresi masyarakat,
media-media yang tadinya dibungkam karena dianggap subversif kembali
dilahirkan dan bentuk-bentuk kesenian yang tadinya dilarang, kini mulai
ditampilkan kembali. Dan disaat bersamaan, diseluruh dunia mengalami
sebuah euforia baru; revolusi teknologi informasi dan digital.
Indonesia mulai mengenal internet dalam skala yang kecil pada awal
tahun 1990 dan terus berkembang secara signifikan penggunaannya.
Revolusi komunikasi ini membawa satu perubahan besar dimasyarakat.
Informasi-informasi yang tadinya tersembunyi, kini muncul kepermukaan
dan relatif mudah diakses. Arus pertukaran informasi semakin cepat dan
membentuk satu jaringan komunikasi yang kuat.
Pada tahun 1998, sekelompok sutradara muda membuat sebuah manifestasi
Sinema Independen dengan memproduksi sebuah film berjudul Kuldesak,
yang diproduksi dan diedarkan secara mandiri. Tahun 1999 sekelompok anak
muda di Jakarta membuat sebuah festival yang bernama Festival Film
Video Independen Indonesia (FFVII) dalam skala nasional. Setelahnya
mereka membentuk Yayasan Konfiden (www.konfiden.or.id)
yang melanjutkan festival mereka pada tahun 2000, 2001, dan 2002.
Terhenti untuk 3 tahun (2003-2005), pada tahun 2006 mereka melanjutkan
kembali festival tersebut dengan nama Festival Film Pendek Konfiden.
Wacana ini merebak keberbagai kota di Indonesia, setidaknya di pulau
Jawa. Arus komunikasi yang semakin lancar melalui jaringan internet
semakin mempermudah penyebarluasannya.Mailing list menjadi
portal pertukaran informasi utama. Apa yang dilakukan Konfiden dengan
festivalnya juga terjadi di kota – kota seperti Bandung, Yogyakarta,
Surabaya, Semarang, Purwokerto, dan kota lainnya. Berbagai acara film
baik dalam skala lokal maupun nasional mulai bermunculan.
Pada momen itu muncul idiom baru; “membuat film itu mudah”, sebagai
sebuah wacana tawaran bagi kaum muda untuk membuka kembali ruang
kreatifnya. Hal ini didukung oleh masuknya teknologi video digital yang
merubah banyak hal. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sampai
dengan pertengahan 90an, teknologi video analog adalah format umum yang
dipakai. Teknologi analog relatif lebih mahal dibanding digital video
yang tidak mensyaratkan peralatan yang rumit atau skill pengetahuan
khusus untuk mempelajarinya dan menggunakannya. Disaat yang bersamaan,
teknologi komputer rakitan dan piranti lunak bajakan merajai pasar
teknologi di Indonesia. Amat mudah untuk mendapatkan piranti lunak
semacam Adobe Premiere seharga 25 ribu Rupiah.
Sampai saat ini, PC adalah jenis komputer yang paling umum digunakan
oleh masyarakat Indonesia. Diduga, 80% komputer yang ada dipasaran
adalah hasil rakitan sendiri dengan 100% piranti lunak bajakan.
Perkembangan teknologi digital video yang bersandingan langsung dengan
perkembangan teknologi komputer rakitan dengan piranti lunak bajakan
merupakan satu momen penting dalam wacana film & video di Indonesia.
Pada faktanya, dukungan teknologi inilah yang memberikan kesempatan
luas pada para penggiat film, khususnya dari kalangan anak muda, untuk
mempelajari secara intens teknis serta artistik pembuatan karya film
dengan medium video.
Komputer rakitan semakin hari semakin relatif terjangkau harganya.
Begitupula dengan kamera handycam dalam bentuk yang paling sederhana.
Komponen-komponen inilah yang mendukung satu perubahan baru dalam
konteks film dan video di Indonesia. Banyak workshop film dilakukan
diberbagai kota di Indonesia dengan partisipan mayoritas berasal dari
anak muda (setingkat SMP sampai dengan kuliah). Kine klub diberbagai
universitas kembali diaktifkan, juga menjamurnya komunitas-komunitas
film yang kebanyakan digerakkan oleh mahasiswa.
Tahun 1999 sampai dengan 2004 boleh dibilang sebagai tahun keemasan
bagi film pendek Indonesia. Tumbuh kembangnya berbagai komunitas film
serta kine klub turut menyumbangkan gairah wacana film pendek atau film
Indonesia secara keseluruhan. Terlebih ketika sebuah stasiun TV swasta,
Surya Cipta Televisi (SCTV) pada tahun 2003 mengadakan Festival Film
Independen Indonesia (FFII). Dengan kekuatannya sebagai sebuah media
massa yang massif, SCTV berhasil menjaring karya sebanyak 1047 karya
untuk megikuti FFII 2003. Hal ini pula yang turut memancing semakin
banyak munculnya komunitas-komunitas film di Indonesia secara
signifikan.
INSERT
Festival yang diadakan oleh SCTV kemudian juga diikuti oleh
beberapa stasiun tv Indonesia lainnya; Global TV (tahun 2005) dan
MetroTV (kompetisi film dokumenter bernama Eagle Award. Dimulai pada
tahun 2005 hingga saat ini).
SCTV hanya dua kali mengadakan FFII, sampai dengan tahun 2004 dengan
alasan sedikitnya sponsor yang mendukung festival tersebut. Namun dampak
dari festival tersebut masih cukup terasa hingga kini. Televisi swasta
dengan kepentingan dagangnya memanfaatkan momen yang mereka anggap
potensial untuk dijadikan pasar baru dengan segmen utama anak muda.
Seperti halnya yang terjadi pada konteks “industri film baru” di
Indonesia. Sejak tahun 1999, mulai bermunculan film-film Indonesia di
bioskop. Film Indonesia menemukan kembali pasarnya komunitas film serta
kine klub yang mayoritas digerakkan oleh kaum muda adalah pasar yang
potensial. Secara signifikan, film-film Indonesia yang diproduksi dari
tahun 2000 hingga kini berkisar pada tema-tema cerita anak muda baik
dalam bentuk drama, komedi, ataupun horror.
INSERT
Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya ruangrupa (www.ruangrupa.org)
mengadakan festival video yang diberi nama OK. Video: Jakarta
International Video Art Festival (kini menjadi OK. Video: Jakarta
International Video Festival) dengan menawarkan wacana “baru”; karya
visual melalui medium video. Sebuah respon atas fenomena penggunaan
medium video yang semakin massif di masyarakat Indonesia. Ini adalah
festival video 2 tahunan. Tahun 2005, ruangrupa menyelenggarakan OK.
Video untuk kedua kalinya dengan tema SUB/VERSION, sebuah tanggapan atas
fenomena pembajakan yang terjadi di Indonesia serta persoalan copyright
secara luas. Festival ini mendapatkan respon yang cukup luar biasa,
baik dari masyarakat Indonesia maupun internasional dan menjadi
salahsatu festival penting di Indonesia.
Tahun 2005 adalah tahun klimaks dari pergerakan ini. Semuanya tampak
kembali ketitik awal kembali. Ada persoalan mendasar yang dihadapi oleh
para penggiat film pendek/alternatif di Indonesia; ketiadaan atau
minimnya ruang distribusi serta apresiasi bagi karya-karya mereka.
Semenjak awal munculnya wacana ini hinga sekarang, pemutaran film dan
distribusi karya dilakukan secara sporadis. Ruang-ruang pemutaran yang
biasa digunakan adalah ruang yang bukan khusus digunakan bagi kegiatan
tersebut seperti toko buku, ruang pertemuan, dan semacamnya. Distribusi
juga dilakukan secara sporadis dengan metode hand by hand.
Situasi ini membuat segalanya seperti berjalan ditempat. Minimnya
ruang apresiasi serta kritik juga mengakibatkan pengembangan wacana ini
tersendat atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Para penggiat
dihadapkan pada pilihan realistis yang harus mereka pilih; terus intens
berkarya, atau menjadikannya sekedar hobi semasa sekolah atau kuliah.
Membuat film pendek (atau menjadi seniman video) tampaknya memang belum
bisa dijadikan sebuah pilihan karir yang mensyaratkan sebuah intensitas.
INSERT
Pada tahun 2002, proyek database komunitas film Indonesia
dimulai. Metode pengumpulan data dilakukan secara sederhana, melalui
penyebaran informasi mengenai proyek disertai formulir pendaftaran
komunitas. Terkumpul 72 komunitas/lembaga yang memiliki program film
baik produksi, distribusi, atau apresiasi dari beberapa kota di
Indonesia. Data ini kemudian disusun dan diterbitkan dalam bentuk buku
saku pada tahun 2003. Proyek ini terus berlanjut hingga saat ini dalam format yang berbeda.
Dari 72 komunitas/lembaga yang dikonfirmasi ulang mengenai
validitas datanya, hanya 10 yang memberikan verifikasi. Kesepuluh data
tersebut kemudian ditampilkan dalam sebuah weblog http://datakomunitas.wordpress.com.
Sejak pemunculan weblog pada tahun 2005, profil/data komunitas dan
lembaga tersebut berjumlah 41 komunitas/lembaga. Metode pengempulan data
tidak jauh berbeda dengan pertama kali dilakukan, melalui jaringan
mailing list film di Indonesia, maupun secara aktif melalui acara-acara
film.
Tujuan dari proyek ini adalah membuat data jaringan
komunitas/lembaga yang memiliki program film dan video di Indonesia
sebagai sebuah akses terbuka bagi publik yang memiliki kebutuhan
langsung maupun tidak dengan jaringan ini dan sebagai portal pertukaran
informasi. Untuk keterangan lebih lanjut silahkan lihat di:http://datakomunitas.wordpress.com.
II. Permasalahan
Dari jabaran diatas, satu benang merah yang harus menjadi catatan
utama adalah persoalan tidak adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah
dalam mengembangkan perfilman Indonesia, baik ditingkat industri maupun
komunitas film. Salah satu persoalan besar yang masih dihadapi hingga
saat ini adalah ketika keran impor film Hollywood yang berlanjut pada
monopoli sistem distribusi mempersempit ruang pengembangan film
Indonesia. Namun persoalan persoalan tidak hanya sampai disitu.
Kebijakan budaya yang berkelanjutan pun tak tampak sama sekali hingga
hari ini. Bagaimana penyediaan fasilitas infra serta suprastruktur
tidak pernah menjadi perhatian utama dalam konteks ini. Tidak ada
fasilitas yang memberikan kemudahan bagi penggiat film di Indonesia,
bahkan sampai ditingkat birokrasi sekalipun. Apalagi soal pendidikan
yang berkelanjutan.
Pendidikan film masih terpusat dan penyebaran informasi tidak pernah
benar-benar merata. Persoalan ini langsung menyentuh pada konteks
komunitas film di Indonesia, sebagai salahsatu penggiat aktif di
perfilman Indonesia. kemudian apa sesungguhnya peran komunitas film
dalam konteks ini?
Semangat perubahan jaman yang dibawa oleh angin reformasi di
Indonesia membuka sebuah ruang baru untuk membentuk kelompok-kelompok
inisiasi dalam berbagai bentuk, dan salah satunya adalah komunitas film.
Disaat yang bersamaan, angin perubahan dalam perfilman Indonesia
berhembus dan secara signifikan membesar menjadi sebuah gairah baru yang
secara kasar kita dapat lihat melalui pertumbuhan jumlah produksi film
Indonesia. Kemudian apa peran komunitas film dalam konstelasi besar
perfilman Indonesia? Sesungguhnya pertanyaan ini tidaklah sulit untuk
dijawab. Semenjak kehadirannya yang tumbuh-kembang dengan pesat,
komunitas film yang tersebar diberbagai kota di Indonesia mengambil
peran yang sungguh penting; menggulirkan wacana film langsung kepada
masyarakat melalui berbagai kegiatannya baik dalam tingkatan filosofis
maupun praksisnya.
Posisi serta peran komunitas film bukan sebagai perpanjangan tangan
dari industri belaka. Komunitas film bergerak aktif dan dinamis
ditengah-tengah masyarakat dengan mengantarkan wacana film yang dikemas
melalui program pemutaran, pendidikan, apresiasi, serta kritik, dimana
semua kegiatan tersebut amat vital sifatnya dalam pengembangan perfilman
di Indonesia itu sendiri. Berbagai kegiatan seputar film yang dilakukan
oleh komunitas film secara langsung maupun tidak membuka ruang
kesadaran baru di masyarakat akan perubahan itu sendiri. Harus disadari
bahwa komunitas film berperan secara signifikan dalam membentuk
masyarakat penonton (baru) film Indonesia.
Bila kita ingin melihatnya secara detail, pembentukkan masyarakat
penonton (baru) film Indonesia yang dilakukan oleh komunitas film antara
lain sebagai berikut;
Pertama, komunitas film sebagai jembatan informasi. Selaku
“agen informasi” perfilman Indonesia, komunitas film memberikan
kontribusi riil melalui kegiatan pemutaran serta apresiasi film. Ketika
akses informasi yang tersendat oleh sistem di Indonesia yang masih
sentralistik, komunitas secara aktif mengambil alih peran “agen
informasi” dan mengantarkannya langsung kepada masyarakat. Membuka
pintu-pintu informasi melalui kegiatannya.
Pemutaran serta apresiasi film yang dilakukan secara baik secara
rutin maupun sporadik, masif diadakan diberbagai kota dan umumnya
terbuka untuk publik (pun bila ditarik bayaran takkan semahal harga
tiket bioskop) disertai oleh diskusi-diskusi terbuka seputar wacana film
dan perfilman Indonesia. Belum lagi pemutaran-pemutaran yang dilakukan
dalam skala festival berkala dimana jelas melibatkan publik (baik
sebagai penonton maupun partisipan aktif) dalam kuantitas yang
signifikan. Banyak komunitas yang menerbitkan bulletin, jurnal, dan
semacamnya dalam bentuk fotokopian sebagai usaha penyebaran wacana
ketengah masyarakat sebagai bagian program kegiatan mereka. .Disini kita
dapat melihat secara jelas kontribusi komunitas dalam mewacanakan film
serta perfilman Indonesia.
Kedua, komunitas film sebagai agen transformasi pendidikan.
Sebagai kelanjutan dari konteks poin pertama, komunitas film melakukan
proses transformasi pendidikan yang secara mendasar dimulai dari
penyebaran informasi yang dilanjutkan dengan pelatihan-pelatihan baik
dalam konteks teknis-produksi maupun studi. Kegiatan-kegiatan workshop
yang dilakukan mulai untuk siswa SMU sampai dengan umum, secara mandiri
diadakan oleh banyak komunitas.
Ketiga, komunitas film sebagai jejaring distribusi. Dalam
berbagai kegiatannya, komunitas-komunitas tersebut juga melakukan
kegiatan distribusi. Pemutaran, apresiasi, kritik, serta workshop yang
mereka lakukan secara otomatis membawa satu tindakan distribusi yang
baik disadari secara langsung maupun tidak. Banyak pula komunitas yang
secara sadar menempatkan diri mereka sebagai kelompok distribusi dalam
pengertian paling sederhana adalah menyalurkan karya baik dari lokalnya
atau pun dari luar.
Dari ketiga poin tersebut sudah cukup kiranya bagi kita untuk melihat
pentingnya peran komunitas film. Wilayah kerja yang amat luas dan berat
itu tampaknya harus ditanggung oleh mereka sendiri tanpa mendapatkan
dukungan maupun perlindungan berarti terhadap mereka. Sampai saat ini
bukan cerita yang aneh ketika banyak komunitas harus bersusah payah
mengadakan serta mengembangkan kegiatan mereka karena segala sesuatunya
harus dilakukan secara mandiri. Komunitas film mayoritas dijalankan oleh
anak muda setingkat SMU sampai mahasiswa berhadapan langsung dengan
persoalan daya tahan untuk keberlangsungan komunitas mereka tanpa
sokongan dari pihak mana pun.
Hal ini menyebabkan sustainability komunitas film amat
lemah. Sangat jarang sebuah komunitas dapat terus bertahan, dan fakta
memperlihatkan bagaimana banyak komunitas tumbuh sesaat dan kemudian
menghilang. Beban berat yang harus mereka tanggung sendiri adalah
persoalan mendasar yang harus segera diatasi dan ini membutuhkan sebuah
kerja kolektif.
sumber : http://asiaaudiovisualrb09oktyas.wordpress.com/