Omasido Sekola (OS), film dokumenter garapan sutradara dari
Sumatera Utara, Onny Kresnawan, lolos menjadi salah satu dari 10
nominator dalam Erasmus Huis International Documentary Film Festival
(Erasmusindocs) 2013. Terpilihnya Omasido Sekola (Bahasa Nias: Aku Ingin Sekolah) lolos ke babak final, sekaligus menjadi catatan tambahan prestasi Onny menyusul sejumlah karyanya seperti Menjejak Smong
yang sebelumnya berhasil menjadi film terbaik di Festival Film Kearifan
Budaya Lokal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta.
Film Omasido Sekola (OS) berdurasi 23:40 menit dengan mengambil setting lokasi kerja berbahaya di Pulau Nias. Film ini mengisahkan seorang anak bernama Febriani Telaumbanua (16 tahun) bersama adik serta anak lainnya yang terpaksa melakoni hidup sebagai pekerja di lokasi tersebut.
Di usia anak yang tak semestinya, mereka terpaksa ikut memikul beban keluarga yang miskin dengan bekerja keras sebagai penderes karet. Masa sekolah dan bermain bersama teman sebaya nya pupus akibat kesehariannya dipacu mencari uang buat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Begitu juga dengan adik-adiknya dan anak kebanyakan di Nias yang harus ikut “bertarung nyawa” mengais rezeki di perbukitan batu terjal berbahaya.
Onny Kresnawan yang juga merangkap kameraman serta editor, dengan dibantu penulis naskah Fachriz Tanjung, mengatakan, tampilan Film OS berasa unik dan menyentuh ketika cerita film dikuatkan dengan theme song yang dinyanyikan oleh penyanyi lokal, Sari Hulu.
“Saya berharap, masyarakat Sumatera Utara turut mendoakan agar Film OS menjadi yang terbaik pada festival internasional ini, agar misi dari Film OS, yakni kampanye pemenuhan hak-hak anak kian meluas,” harap Onny yang sebelumnya juga sudah beberapa kali menjuarai kompetisi film dokumenter di tingkat nasional dan internasional.
Film OS merupakan hasil kerjasama yang dipersembahkan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) serta didukung oleh UE-ACTED dan diproduksi oleh SFD Indonesia.
Direktur PKPA yang juga produser film ini, Misran Lubis, mengungkapkan kegembiraan pihaknya mendengar berita itu. “Ini sekaligus menjadi momen bagi kita untuk memperluas kampanye terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak, terutama perlawanan terhadap buruh anak,” ujarnya.
Sementara itu, Erasmusindocs Festival Director, Patar Simatupang, menyebutkan kompetisi tahun ini lebih baik secara kualitas, dimana penilaian lebih menitikberatkan pada teknis dan content.
“Dari enam puluh lima peserta yang ikut berkompetisi, secara umum, kualitasnya lebih mendekati kepada yang kami mau,” kata Patar melalui telepon selularnya pada wartawan. “Ini festival kali ketiga yang kita gelar, dimana event pertama I dan II bertajuk Golden Lens,” tambahnya.
Erasmusindocs adalah program yang dilaksanakan oleh Pusat Kebudayaaan Belanda di Indonesia dan didukung oleh IFDA. Seleksi oleh organisasi ini akan berhulu pada penyandingan karya terpilih dengan karya-karya terbaik dari berbagai festival di dunia. Pengumanan film terbaik dan penganugerahannya akan dilaksanakan 16 November di Erasmus Huis Jakarta.
Para dewan juri Erasmusindocs terdiri insan perfilman dari luar dan dalam negeri seperti Jord den Hollander, Hafiz Rancajele, Hans Treffers, Loes Wormmeester, Pawel Ferdek, Nia Dinata, Aryo Danusiri, Ria Ernunsari dan Tomy Widiyatno Taslim.
Lahirnya film-film independen di Sumatera Utara belakangan menandai gejala kebangkitan perfilman daerah ini setelah sempat mati suri cukup lama karena para sineasnya yang lebih suka berproduksi di pusat kota permodalan, Jakarta. Dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan para sineas muda dapat memproduksi film berbiaya murah, para seniman Sumatera Utara mulai melihat film sebagai medium yang dapat menyalurkan kreativitas mereka. Film-film dari berbagai genre pun telah berhasil diproduksi, termasuk di antaranya film horor saintifik semacam The Deepest yang diluncurkan 6 April 2013 lalu.
Gejala mekarnya perfilman di Sumatera Utara ini juga ditandai dengan eksisnya sejumlah komunitas film seperti Komunitas Matasapi Film, Komunitas Film Opique Pictures, dan komunitas-komunitas produksi lain, baik yang bersifat industrial maupun lembaga sosial.
Khusus untuk Omasido Sekola, kehadiran film ini sekaligus menjadi medium refleksi bagi Kepulauan Nias yang baru-baru ini telah diloloskan oleh DPR RI sebagai salah satu propinsi terbaru yang dimekarkan dari Sumatera Utara. Film ini memotret kenyataan sosial dan tidak berdasarkan angka-angka pemekaran yang sering bias karena bersifat reduktif terhadap situasi sosial yang sesungguhnya di masyarakat.
(Fachriz Tanjung/Tikwan Raya Siregar)
sumber: http://sumatrabeyond.com/