Rabu, 24 April 2013
Pemutaran DI BALIK FREKUENSI
Notulensi Pemutaran DI BALIK FREKUENSI
waktu : Jumat, 12 April 2013
tempat : TEN Coffee Jalan Imam Bonjol No 36 B Medan
Pemutaran dimulai pukul 19.30 WIB
Usai pemutaran, Moderator memandu diskusi. Penonton dan peserta diskusi berjumlah 50 orang yang berasal dari komunitas film, pekerja film, seniman, aktivis sosial, dosen, mantan pengurus KPI Sumut, mantan jurnalis, dan seorang jurnalis. Utusan dari AJI Medan dan KPI Sumut tidak menghadiri acara meski undangan sudah disampaikan.
Moderator diskusi ini adalah Juhendri Chaniago.
Moderator
Konglomerasi media. Ini kata kunci menarik yang bisa kita diskusikan. Namun, sebelum kita mendiskusikan tentang konglomerasi media, mari kita lihat, benarkah film ini?
dr Daniel
Mungkin testimoni dari teman-teman yang pernah bekerja di media. Korban di media.
Onny Kresnawan
Sebagai pemanasan, dari KPI bisa memulai.
Moderator
Ya, dari KPI. Di sini ada pengurus KPI Sumut.
Tohap Simamora
Saya mantan. Ketua KPI Sumut periode lalu. Film ini,dalam pandangan saya, hanya sebuah proyek. Dananya sekitar Rp 400 juta dari Cipta Media. Waktu itu ditawarkan. Hanya 20 lembaga yang dapat.
Kasus ini benar, tapi persoalannnya, isi dengan judul tidak sama. Frekuensi tidak hanya televisi. Ada radio dan ht. Tapi ini tidak muncul.
Soal konglomerasi media, Indonesia memang tidak cukup mengatur. UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengharuskan penyebaran. Tidak ada sentralisasi. Hanya TVRI yang tersentralisasi. Jadi, semua stasiun televisi swasta adalah pelanggar UU. Saya pernah menghadiri satu pertemuan di Bali. Sangat jelas Kominfo memang dibeli. M Nuh membuat penundaan televisi berjaringan. Sampai 2007. Ganti menteri, diperpanjang, dan sampai hari ini. Kita masih menyaksikan Jakartasentris.
Kebetulan kami tetap bermain di radio komunitas. Ini yang mau kita bangun. Bagaimana frekuesni berada di tengah-tengah masyarakat.
Informasi yang disampaikan film ini salah. MNC punya 26 stasiun televisi, 78 tower. Metro hanya 4 stasiun yaitu Metro Papua, Sulawesi, Jakarta, Aceh. Di Sumut juga terjadi seperti itu tapi khusus radio. Karena jika hanya satu pemilik radio, dia akan mati. Dia harus banyak. Misalnya KISS Grup, Kardopa. Dari Jakarta ada Sindo, Delta.
Nah, persoalan dari 2 cerita, Luviana. Di Sumut banyak Luviana lain. Ini tantangan bagi teman-teman film dokumenter. Misal di grup Bonsita, bisa bercerita dan beri kesaksian. Mereka hanya dibayar Rp 6.000 satu jam. Artinya, ini masih soal penggajian dan kesejahteraan. Di media cetak sama, tapi lebih ke radio. Dan juga kawan-kawan televisi. Independensi dan idealisme tidak akan terbangun dengan kondisi.
Luviana punya kemampuan, tapi ketika berhadapan dengan pengusaha dia kalah. Itu yang sering kita alami. Ketika kita mendorong, orang yang kita dorong tidak kuat. Ini persoalan idealisme. Satu kasus lain di Sumut seperti Onny Kresnawan. Dalam kasus Onny, posisi saya harus netral tidak boleh berada di antara kedua pihak.
Film ini juga terlalu panjang. Dengan waktu cukup lama, tidak efektif menyampaikan pesan yang cukup penting. Durasi 15 menit sebenarnya sudah cukup.
Moderator
Tadi pendapat dari orang yang mantan. Lalu, bagaimana dari teman yang masih aktif. Dari media misalnya. Yang dari DAAI TV bagaimana?
Andi Tokong
Kalau kita lihat kurang lebih yang bisa kita lihat sendiri. Tapi di tempat saya bekerja, punya konsep yang berbeda. Kami stasiun non-profit yang berjalan dari donasi baik daur ulang maupun donatur. Kami bergerak di isu pendidikan, lingkungan, kesehatan, sumber daya manusia. Mungkin di situ beda DAAI TV, ingin memberi warna baru.
Moderator
Artinya, DAAI TV bisa dikatakan menawarkan perubahan?
Andi Tokong
Kalau dari aku pribadi, ya.
Moderator
Kita ke teman-teman pembuat film, filmmaker. Kabarnya, film susah masuk ke televisi.
Hidayat Muhammad
Supaya pendapat Andi Tokong bisa nyambung,mungkin yang sudah keluar dari DAAI TV bisa memberi pendapat.
Ian
Aku cerita dari yang pernah kujalani. Sebenarnya sama seperti yang dibilang Andi, DAAI TV berbeda jauh dari stasiun televisi lain. Namun, dari pengalaman kita, sebenarnya ada masalah konten. Konten lokal belum sesuai dengan yang disarankan.
Moderator
Dari pembuat film, ada yang bisa memberi sumbang saran? Bang Saut Hutabarat, benar tidak yang dikatakan orang media?
Saut Hutabarat
Ke arah mana ini?
Moderator
Film yang susah masuk ke stasiun televisi.
Saut Hutabarat
Itu pasti karena di sana banyak mafia. Tapi sebelumnya saya ingin mengkoreksi orang broadcast di stasiun televisi.Jurnalis di televisi ini orang bodoh. Mereka tidak jurnalis tulen. Seperti Indiarto. Dia SCTV, lalu mendapat iming-iming dan pindah. Inilah yang dilihat dan dimanfaatkan media. Kita lihat idealisme seperti Luviana, ini susah. AJI harus tunjukkan power. Jangan hanya teriak-teriak. Kita tidak bisa melawan. Karena sudah konglomerasi, ikut politik.
Balik ke film. Kenapa kita susah?Karena ada mafia. Kenapa Multivision, Sinemart, dan sebagainya masuk begitu mudah?Karena ada wallauhalam...
Moderator
Bagaimana dengan pengalaman Onny Kresnawan?
Onny Kresnawan
Film ini film yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Terus terang, ini seperti membongkar luka lama. Jadi ada semacam goresan luka baru di atas luka lama yang belum mengering.
Saya sejak 1997 saya sudah di TPI sebagai koresponden. Kemudian2003 terjadi perubahan dari koresponden menjadi kontributor. Ada pengkaburan hak dari koresponden sehingga banyak yang bergelimpangan. Tahun 2005 saya memperkarakan TPI. Tapi di Jakarta kita nilai tersendat, ada persoalan. Jakarta bermain, ada kepentingan. Ternyata, petingggi AJI masuk ke dalam kelompok MNC. Setelah di dalam mereka bungkam.
Muncul sistem kontributor, kemudian muncul stringer yang istilah sekarang tuyul-tuyul. Ini yang menjadi masalah sebenarnya. Orang daerah tidak punya status. Dia dianggap freelance. Kita tak tahu di daerah kita sebenarnya binatang seperti apa. Kalau saya bilang, perekrutan sapi perah. Pada soal hubungan kerja, pemilik media lepas tangan. Pengertian jurnalis freelance murni, kita bekerja membuat berita, lalu ditayangkan, dan dibayar. Tapi di sini tidak. Kita diikat, tidak boleh melaporkan peristiwa kepada media lain. Saya sendiri sekarang dipakai stasiun Al-Jazeerah. Tidak ada sanksi-sanksi.
Kemudian, yang disebut tuyul-tuyul ini, stringer, ini menjadi musuh-musuh Luviana. Sama seperti saya ketika mengadu ke Disnaker. Satu pun mereka tak terlihat. Saya cuma mau bilang, ketika menonton film ini, bersiap-siaplah menambah musuh baru. Karena banyak yang tidak siap dibuka identitasnya.
Dari segi film, film ini terlalu panjang. Dari sisi sinematografi, saya belum benar-benar merasakan sebuah film. Dalam dokumenter, ada nilai-nilai seni. Dokumenter ini dikerjakan apa adanya. Kalau kami bilang dokumenter ceplak-ceplok. Saya tidak terlalu jenuh karena kontennya oke, tapi penggarapan kurang.
Moderator
Ada yang bilang, kerja di media menjanjikan. Berbondong-bondong dari daerah ikut acara Tukul. Karena apa? Masuk tv. Nah, teman-teman pembuat film, dimana film-film mereka ini mau ditonton? Karena kalau mau diputar di media, bayar.
Onet
Kita tak perlu menggantungkan hidup kepada televisi. Kalau kita indie, berharap pada konglomerasi, kita bukan indie. Kami berusaha roadshow jual tiket. Kita tak usah mengharapkan stasiun televisi.
Moderator
Jadi, seperti tadi? Stop nonton tv?
Onet
Itu sangat politis.
Moderator
Itu dari orang film. Ini Bang Dayat sudah menyimpan banyak hal sepertinya. Katanya tadi saat menonton, TVRI banyak karyawan, tidak dipecat-pecat.
Hidayat Muhammad
Melihat film tadi, ada 2 poinku. Kalau dilihat judul, jauh panggang dari api. Soal frekuensi tidak hanya Luviana dan Hari Suwandi, Soal-soal karyawan atau korban Lapindo. Kalau kita bicara frekuensi, tidak lepas dari keadilan frekuensi. UU sudah mengamanatkan, televisi atau radio yang menggunakan frekuensi harus memiliki diversity of ownership dan konten. Harus ada keragaman konten. Tapi persoalannya, ketika dikuasai konglomerasi, konten jadi bias. Mau mengangkat persoalanMetro TV, pasti TV One. Ketika soal Lapindo, pasti Metro.
Inilah yang menjadi penting, kalau melihat keadilan frekuensi, ada media publik dan media komunitas. Publik, komunitas, berlangganan. Seharusnya berkaitan dengan kill your tv, kita kembali ke media publik atau media komunitas.Kita bisa mendesak. Karena Anda bagian dari korban. Jadi artinya, kalau kita mau bicara bagaimana kita mau bicara, rakyat mau punya posisi. Harus ada Forum Pemirsa.
Ini yang pertama, soal frekuensi. Berikutnya serikat pekerja. AJI. Serikat kerja, logika saya, anggota ada di mana-mana. Dan di Jakarta juga kan ada anggota AJI dari Metro TV. Saya bertanya, kenapa mesti buruh metal yang diajak berdemo? Kenapa tak ada orang-orangMetro TV. Dideklarasikan, kami boikot metro TV. Ada tidak anggota AJI yang di Metro TV?
Aku mau bicara. Film ini lebay. Dipertontonkan begitu massif. Roadshow akan diputar. Inikan memposisikan kita menjadi lemah. Tak ada satu case yang jadi penyemangat kita melawat konglomerasi.
Kemudian, saya berpikir bagaimana posisi masyarakat. Seperti jaringan 21, itu juga konglomerasi. Bisa tidak kita bersatu, beli ruang, ada gerakan-gerakan. Komunitas-komunitas ini dibentuk dalam satu ruang tertentu. Mungkin forum ini bisa memberikan kesadaran, gerakan. Saya berharap ada pertemuan lanjutan. Kita bisa menyatukan visi misi. Menyimpan dulu bahasa perbedaan
Moderator
Tawaran Bang Dayat, bicara publik dan komunitas. Sementara kita tahu kemampuan media daerah masih disangsikan. Misal media cetak. Terbit begitu banyak, tapi pelan-pelan mati. Masyarakat juga kurang sreg karena mutunya. Apa yang harus kita lakukan untuk menghambat konglomerasi? Karena dulu ada, seperti kata Bang Dayat, keinginan bikin televisi daerah. Ada sekarang ini, tapi itu pun tidak mewakili. Seperti yang tadi dikatakan Ian. Persoalannya apa? Apakah masyarakat tidak mencintai daerahnya atau orang-orang kita sendiri mandul kreatifitas?? Ini yang perlu dipertanyakan.
Ivan
Saya tidak setuju film ini dibilang lebay. Karena film ini memberitahu saya banyak hal. Memang tidak menawarkan solusi karena solusi memang tidak ada. Paling setuju dengan yang dikatakan Bang Onny. Wartawan tidak punya power. Tak ada back-up dari wartawan untuk mendukung langsung. Aku pernah jadi wartawan. Kalau mau menghancurkan konglomerasi, rusaklah dari dalam.
Film tadi jelas dan banyak yang bisa dibicarakan. Konglomerasi, hak-hak wartawan. Film ini menunjukkan wartawan lemah. Kondisinya, wartawan biasa mengeluh, tapi sesekali dapat amplop. Di dekat sini ada Warkop Jurnalis. Selalu ada keluhan, tapi tak ada yang berubah karena wartawan lemah. Sayang, moderator tak bisa mengorek Bang Onny. Karena banyak yang bisa dikorek. Tadi dia cerita TPI, bagaimana hasilnya?
Tohap Simamora
Ada 2 hal yang ingin kutambahkan. Pertama, soal mafia di televisi. TVRI bisa kita rampok dalam arti positif. Kita punya komunitas, kita punya produk. Sebenarnya di TVRI juga punya anggaran dari APBD provinsi. Tahun 2008 mereka dapat Rp 2,2 milyar. Itu uang kita. Misalnya dengan durasi 3 jam tayangan TVRI Sumut, itu bisa kita ambil 30 menit. Kita siapkan bahan. Itu bisa kita lakukan. Datangi DPRD Sumut. Kalau TVRI tidak bersedia, DPRD bisa menyetop anggaran.
Kedua, 3 minggu lalu ada yang mengajakku diskusi tentang pemutaran film di kampung-kampung. Tugas kita hanya mencari tempat-tempat pemutaran. Waktu itu tidak kujawab langsung. Seandainya ada 5 produksi, kita bisa mengambil ini. Mengabaikan konglomerasi, menggunakan kekuatan kita.
Megawandi
Ada 2 hal yang aku cermati. Komunikasi, how to communicated. Kurang bisa terjelaskan dengan baik. Artinya, don’t talk abaut communicate. Itu yang pertama soal materi. Yang kedua, melawan konglomerasi. Kedua ini bisa dimainkan teman-teman.
Saya belum temukan artikel seberapa efektifkah You Tube. You Tube itukan konglomerasi juga, produk kapitalisme.
Bagaimana perlawanan bisa disemestakan. Paling tidak, tidak disini, tapi dimana begitu. Misalnya di balai kecamatan. Kasus-kasusBang Onny bisa jadi materi. Bang Onny jangan dipandang sebagai korban.
Moderator
Arah Bang Mega, penciptaan media alternatif?
dr Daniel
Aku pernahbicara soal film. Ada kepentingan. Misalnya, film ini walaupun disertai kepentingan, kalau ada manfaatnya, kenapa tidak. DBF terlalu panjang, tapi membuka mata. Kenyataaan yang dipaparkan saya sudah tahu, tapi bagaimana dengan orang yang belum tahu? Kasus di film ini bukan hanya di televisi.Dimana-mana yang kecil dibantai yang lebih besar, tapi tergantung seperti apa. Dan balik lagi ke masalah perut. Itu juga yang ditunjukkan di film ini. Sebagain ada yang mendukung, sebagian menghindar.
Onny Kresnawan
Bagi saya sebenarnya konglomerasi media susah menghantamnya. Karena adaistilah solidaritas hitam di kalangan media.
dr Daniel
Persoalannya, ketika kita minta dukungan, mereka menjawab, “aku masih butuh kerja”. Sama seperti seorang editor yang saya kenal yang ditawarkan mengedit film-film horor. Dia mengaku mau muntah saat mengeditnya. Tapi terpaksa dia kerjakan. Kalau di Indonesia, production house India yang merusaknya. Dan 21.
Moderator
Kalau teringat konglomerasi media, saya teringat 9 Elemen Jurnlasitik. Itu untuk melawan konglomerasi media. Kira-kira ada tidak orang-orang film yang punya 9 elemen itu?
Megawandi
Kalau kunilai, kita sudah ada friksi. Artinya, komunitas film versus wartwawan. Maksudku, jangan diperuncing. Aku berpikir misalnya kita menggunakan filosofi. Apa?Mari kita pakai filosofi Sukarno. Manikebu. Kalau bisa film yang akan dibawaa roadshow ke daerah harus sudah melwati itu. Artinya bukan mencari kebenaran. Tema seperti apa, tepatkah untuk dimassifkan ke masyarakat? Ada proses.
Moderator
Ada tambahan? Soalnya ini makin hangat. Ada friksi antara wartawan dengan filmmaker.
Rius Suhendra
Setiap film membuka mata. Termasuk Di Balik Frekuensi. Walaupun tidak ada solusi, ada manfaat. Paling tidak, masyarakat tahu untuk tidak memilih orang-orang dalam film ini sebagai presiden. Jangan pilih orang-orang yang seperti in. Memang sekarang tidak ada manfaat, tapi ke depannya.
Moderator
Bagaimanapendapat Andi Hutagalung sebagai panita lokal?
Andi Hutagalung
Aku menanggapi sama seperti teman-teman. Kita punya harapan bersama. Film ini membuka ruang. Siapapun yang tadi bingung, selama ini bergejolak di hati, akhirnya terungkapkan. Di sini kita membuka kekuatan bersama.
Film ini bisa sampai di Medan, awalnya mereka mengontak AJI Medan, tapi tak ada kontak. Akhirnya mereka menawarkan kepada Media Identitas. Mereka minta kalau bisa AJI Medan diundang. Tapi hasilnya mengecewakan. Begitu kita dapat alamat AJI Medan dari Bendahara AJI Medan, kosong kantornya. Akhirnya undangan dititipkan ke jurnalis yang ada di Warkop Jurnalis yang ditunjuk Ivan tadi. Mereka pun tak hadir malam ini. Begitu juga KPI Sumut. Yang bersama kita malam ini, Bang Tohap adalah mantan pengurus KPI Sumut yang lama. Tapi yang penting, ini membangun kekuatan kita.
Moderator
Kawan-kawan, saya lihat kita ada semangat. Kalau membaca Surat Kepercayaan, di sana disebutkan bahwa seniman adalah ahli waris dari seni budayanya sendiri dan dia berkreatifitas dengan caranya sendiri. Kalau seperti yang disampaikan Bang Megawandi, Manikebu.
Masalah saat ini ada satu musuh kreatifitas, yakni kenyamaan. Bagaimana membuat kenyamanan kawan-kawan kreatif, salah satunya konglomerasi media. Mereka datang berbondong-bondong ke Medan, mereka datang dengan tawaran-tawaran kenyamanan.
Bagaimanamelawan, barangkali kita bisa menciptakan kondisi yang menderita. Karena menderita adalah bakat manusiawi pemimpin yng kreatif. Kalau kita sudah nyaman, ya kita terima. Bukan berarti kita antikenyamanan. Tapi dengan ketidaknyamanan itu akan lahir kreatifitas.
Perubahan hanya bisa dilakukan seniman. Perubahan tidak bisa dilakukan politisi. Seniman yang melakukan perubahan dengan puisi Sumpah Pemuda dan yang memporak-porandakan adalah politis.
Diskusi kita akhiri. Semoga dari sini kita bisa mengkonkretkan perubahan yang kita cita-citakan terutama merebut frekuensi yang menjadi hak kita. Selamat malam.
Diskusi ditutup pukul 00.10 WIB
media identitas
jalan jati 2 no 73
teladan timur – medan
supported by : KoFi Sumut & TEN Coffee