Oleh: Syafitri Tambunan.
Film sebagai proses kreatif, sebenarnya telah menjadi industri
berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat secara ekonomi, serta
meningkatkan martabat budaya Indonesia. Alasannya, memproduksi sebuah
film akan melahirkan banyak lapangan kerja yang selalu bersinergi
melahirkan karya audio visual ini.
Belum lagi, budaya ini akan
mencuat bila mampu menembus angka pemutaran film terbanyak dengan
menyertakan tanah Indonesia sebagai latar atau lokasi shottingnya.
Selain itu tentunya, menyejahterakan insan film, pendukung pelaksana ide
kreatif lain, maupun pihak lain. Tidak jarang efek yang timbul adalah
pengenalan budaya ke berbagai dunia.
Bahkan, seringkali pemerintah, yang tidak terlibat langsung dalam
produksi film itu, mampu mengangkat kepala bila seorang insan film atau
sebuah film menjadi booming di luar negeri. Dian Sastrowardoyo, saat
berdiri di red carpet Festival Film Cannes tahun ini, mampu menyita
perhatian dunia dengan potensinya sebagai aktor. Saat itu, banyak negara
secara tidak langsung mengangkat Indonesia dari berbagai sisi.
Banyak orang saat itu mempertanyakan gaun yang dikenakan, asal kelahiran
sang aktris, film yang dibintanginya, ataupun lokasi shotting sang
aktris melakukan proses shooting. Bila bisa mendeskripsikan jawabannya,
pastinya akan banyak kata Indonesia yang bergaung. Misalnya gaun yang
didesain oleh anak berbangsa Indonesia, lokasi perfilman di sebuah
daerah di Indonesia ataupun sejumlah film Indonesia yang dibintanginya.
Salah satunya Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Film sang aktris sendiri
merupakan salah satu pendongkrak dunia perfilman Indonesia yang sering
‘naik-turun’.
Baik industri perfilman, maupun sekedar desainer Indonesia perancang
gaunnya, pasti semakin menimbulkan antusiasme dunia luar terhadap
Indonesia, khususnya dunia perfilman Indonesia.
Dalam dekade 10 tahun terakhir, perfilman Indonesia menunjukkan
geliatnya kembali. Tampaknya hal ini akan berubah dengan timbulnya
persaingan ketat antara karya anak bangsa, dengan film asing, seperti
Amerika Serikat (AS), India, Cina, Jepang dan Korea.
Dalam konteks ini, penggiat film Indonesia sebenarnya berpotensi
meningkatkan peran film yang awalnya hanya sebagai produk kreatif,
menjadi industri baru, seperti negara Boolywood India, ataupun Holywood
AS. Perlu dukungan yang baik antara semua pihak, baik insannya sendiri,
masyarakat peminatnya, serta birokrasi di setiap daerah.
Inilah kendala bagi penggiat film di Indonesia, khususnya daerah
Sumatera Utara yang dulunya sempat terkenal dengan dibangunnya studio
film pertama di Indonesia Jalan Sunggal, Medan. Penggiat-penggiat film
Sumut, seperti J. Hendry Norman (Mata Sapi Film), M. Taufik Pradana
(Opique Picture), Abdul Azis Lubis (Agung Film Maker), Willy Darmawan
(Intermedia Project), Darma Lubis (Sol File Documentary) dan sejumlah
nama lainnya memiliki peran mengedukasi masyarakat dalam produk
kreatifnya. Meskipun penggiat lokal, mereka mampu melahirkan karya
perfilman yang sebenarnya layak menjadi konsumsi publik.
Karena, akan banyak sisi yang diperlihatkan dalam aksi penggiat
perfilman Sumut, di antaranya pesan moral, ataupun kebudayaan, serta
pengubahan perspektif yang salah. Sisi moral, anak muda seperti J.
Hendry Norman punya pandangannya sendiri.
"Film pendek seperti Medan Hardcore, ataupun Kost 208 sebenarnya
diproduksi untuk tujuan mengedukasi masyarakat memandang suatu fenomena
dari semua perspektif. Medan Hardcore bercerita tentang sekelompok anak
muda yang bergelut dalam musik yang identik dengan kekerasan. Masih ada
genre hardcore yang tidak melulu tentang seks bebas, ataupun drugs.
Bahkan, ada sekte hardcore yang menjunjung tinggi hubungan intim dengan
satu pasangan saja. Setidaknya, pelajaran untuk setia dengan pasangannya
bisa dijadikan pesan moral," tuturnya. Dikatakannya, dalam film itu,
masyarakat diedukasi untuk mampu menilai dan mengambil pesan film atas
sebuah hal dari berbagai sudut pandang, negatif, maupun positif.
Tidak hanya itu, kebudayaan juga menjadi unsur penting yang bisa
memberdayakan audio visual sebuah film bagi Indonesia. Berdasarkan
keterangan seorang penggiat seni dan film dokumenter, Darma Lubis, film
termasuk media yang mampu memuat pesan yang sebenarnya bisa menjadi
pelajaran bagi masyarakat.
"Sebuah film bisa mengubah pandangan seseorang terhadap suatu masalah,
salah satunya unsur budaya. Program Film Televisi (FTV) yang ada di
media televisi nasional, masa ini, sering menampilkan lokasi atau
setting tempat di Bali, Yogya, ataupun Semarang. Meskipun temanya
tentang cinta-cintaan, penontonnya juga akan tergerak untuk menelusuri,
mencari tau, ataupun sekedar mengagumi lokasi shooting yang dipakai,
serta menelusuri budaya daerah tersebut," tuturnya.
Dengan ini, lanjutnya, kota-kota tadi akan mampu menciptakan peminatnya
sendiri yang termotivasi berkunjung langsung ke lokasi shotting
tersebut. Secara tidak langsung, budaya daerah tersebut akan terus
menjadi bahan perbincangan yang baik oleh peminat-peminat film itu.
Sama seperti di Sumut, dia mengatakan, potensi budaya Sumut akan
sebanding dengan kota-kota tadi, bahkan menjadi prioritas utama jika
mampu menerapkan ide FTV itu dalam industri film Sumut.
Dia membenarkan, peran seluruh sektor menjadi unsur terpenting
merealisasikan niat tadi. Bahkan, kendala ini justru mengikat ide
kreatif tersebut. "Jika mau, banyak tempat atau bangunan bersejarah di
Medan, yang sering tidak diperhatikan, atau terkadang dipakai untuk
hal-hal yang tidak penting. Padahal, bila bangunan ataupun lokasi itu
dimanfaatkan untuk perfilman, produksi insan-insan seperti kami tidak
akan sia-sia ataupun tergeletak di Taman Budaya Sumatera Utara, ataupun
kafe-kafe yang sering menerapkan konsep "nonton bareng" dalam
manajemennya," tuturnya.
Jika ingin menegaskan kembali, penggiat lokal film dokumenter dan semi
dokumenter tadi sepakat, industri perfilman kita mampu menopang hidup
negara bahkan budaya sebuah bangsa.
Penjelasannya, sebuah produksi film akan membutuhkan banyak tenaga
kerja, di antaranya aktor, sutradara, penulis naskah, editor, penata
cahaya, penata musik, dan peran-peran kecil seperti pemegang lampu,
pembawa alat shooting, bahkan penyedia konsumsi.
Selain itu, budaya bangsa dan potensi lokal akan semakin berkembang bila
pelakunya tidak melulu seorang insan film, namun juga menyertakan peran
birokrasi secara benar. "Birokrasi memang sudah mulai memperhatikan
dunia ini. Hanya saja, birokrasi belum mampu memilih dan menempatkan
petugas-petugas yang laiak di bidangnya. Laiak artinya mengerti dengan
bidangnya sendiri.
Bila berhubungan dunia film, birokrasi mesti menempatkan petugas yang
memang bersinggungan dengan itu, baik berlatar belakang peminat semata,
ataupun berpendidikan dibidang yang berkaitan. Mereka mengutarakan
perhatian pemerintah akan efektif bila petugas birokrasi itu memahami
kebutuhan insan film Sumut. Sehingga, film lokal kita tidak kalah pamor
dengan daerah lain, bahkan secara mendunia, serta berpotensi
meningkatkan semua aspek kehidupan.
Begitrulah ketika dalam Pameran Pergelaran Seni Se Sumatera XV, banyak
yang kecewa, karena hanya sedikit sekali film yang diputar. Selain itu,
nampaknya panitia secara keseluruhan, kelihatan kurang serius.
Diskusinya hanya dihadiri segelintir orang saja, tidak ada
perwakilan-perwakilan dari 10 propinsi yang ada di Sumatera.
Tidak tiap provinsi mengirkjmkan film mereka. Apakah karena tidak
diminta, atau karena memang mereka tidak membuatnya, atau mungkin karena
faktor lain? Seperti, pemutaran film itu saja, serasa tidak
terpublikasi ke seluruh masyarakat kota Medan.
Panitia PPSS ke XV, terasa seperti kurang memperhatikan pemutaran film
pada acara yang ditetapkan, padahal seharusnya, panitia sudah sudah
mempublikasikannya secara besar-besaran. Kalau kita mau menggiatkan film
di Sumut, kita harus siap untuk itu. Para cineas-cineas muda harus
diberikan kesempatan yang luas dan mendapat dukungan yang besar.
Kalau di Jakarta saat lesu film ada istilah, tiada film nasional
rampunjabi. Bagaimana dengan Medan? Sedang ada PPSS saja, film kita
seperti tidak terapresiasi, bagaimana dengan event-even lain yang tak
sebesar PPSS? Kita tunggu saja kerja orang muda sebagai insan film ke
depannya.