Jumat, 6 Januari 2012 13:46 WIB
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN
- Perkembangan film Indie di kota medan sepertinya akan menyamai dengan
perkembangan di pulau seberang. Hal ini terlihat dari banyaknya
komunitas film indie yang berkembang dikalangan mahasiswa .Tetapi
ternyata sampai saat ini banyak para pembuat film indie hanya fokus
pada bidang produksi , bukan hanya pada screening atau aktivitas
pemutaran filmnya. Padahal dari screeninglah karya yang dihasilkan bisa
dinikmati publik secara luas.
Hal ini diakui juga oleh Opick salah satu anggota komunitas film indie Kota Medan , "opique Picture", saat ditemui di kampusnya FISIP USU. Penyebanya kebanyakan karena kurang percayanya masyarakat pada kualitas film indie sehingga susah menarik minat masyarakat. Padahal sudah banyak film indie yang menuai prestasi di ajang perfilman lokal maupun nasional.
Seperti salah satu film indie yang dihasilkan Opique Pictures yaitu "Museum Sejarah yang Terlewatkan yang tahun 2010 lalu menyabet prestasi nasional di ajang FFA 2010 .
"Opique Pictures sendiri sudah beberapa kali melakukan screening , diantaranya yaitu saat merayakan ulang tahun komunitas mereka yang ke 3 dan pada tanggal 26 November lalu di Aula FISIP USU dalam rangka memeriahkan ulang tahun Komunitas Film Indie New Magacine", ujar Opick yang saat ini juga menjabat sebagai sekretaris umum Opique Picture. Mereka mengakui bahwa dengan adanya screening penonton dapat memberikan saran dan kritikan untuk lebih baik kedepannya.
Dari beberapa wawancara singkat yang kami lakukan terhadap beberapa mahasiswa , kebanyakan belum pernah menonton film Indie, alasan mereka karna tidak tahu kapan adanya pemutaran film indie itu ada dan juga sebagian menyatakan kurang peduli terhadap film-film indie. Mereka lebih tertarik dengan film-film di layar lebar.
Situasi ini sebetulnya sangat disayangkan mengingat semakin maraknya komunitas film indie yang muncul namun rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya mereka. Seperti kita lihat saat ini film-film indie terus saja mendapat tempat nomor dua akibat dari kapitalisasi industri film komersial, padahal film indie lebih kental dengan warna lokal daerah dan lebih bisa mengangkat persoalan-persoalan yang ada di ruang lingkup sekitar.
sumber : http://m.tribunnews.com/
Hal ini diakui juga oleh Opick salah satu anggota komunitas film indie Kota Medan , "opique Picture", saat ditemui di kampusnya FISIP USU. Penyebanya kebanyakan karena kurang percayanya masyarakat pada kualitas film indie sehingga susah menarik minat masyarakat. Padahal sudah banyak film indie yang menuai prestasi di ajang perfilman lokal maupun nasional.
Seperti salah satu film indie yang dihasilkan Opique Pictures yaitu "Museum Sejarah yang Terlewatkan yang tahun 2010 lalu menyabet prestasi nasional di ajang FFA 2010 .
"Opique Pictures sendiri sudah beberapa kali melakukan screening , diantaranya yaitu saat merayakan ulang tahun komunitas mereka yang ke 3 dan pada tanggal 26 November lalu di Aula FISIP USU dalam rangka memeriahkan ulang tahun Komunitas Film Indie New Magacine", ujar Opick yang saat ini juga menjabat sebagai sekretaris umum Opique Picture. Mereka mengakui bahwa dengan adanya screening penonton dapat memberikan saran dan kritikan untuk lebih baik kedepannya.
Dari beberapa wawancara singkat yang kami lakukan terhadap beberapa mahasiswa , kebanyakan belum pernah menonton film Indie, alasan mereka karna tidak tahu kapan adanya pemutaran film indie itu ada dan juga sebagian menyatakan kurang peduli terhadap film-film indie. Mereka lebih tertarik dengan film-film di layar lebar.
Situasi ini sebetulnya sangat disayangkan mengingat semakin maraknya komunitas film indie yang muncul namun rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya mereka. Seperti kita lihat saat ini film-film indie terus saja mendapat tempat nomor dua akibat dari kapitalisasi industri film komersial, padahal film indie lebih kental dengan warna lokal daerah dan lebih bisa mengangkat persoalan-persoalan yang ada di ruang lingkup sekitar.
sumber : http://m.tribunnews.com/