APA saja 20 film nasional paling fenomenal menurut kami?
Aslinya, ini artikel saat ultah tabloid Bintang Indonesia ke-17. Agar lebih update dan tak sekadar mengulang, kami menambahi 3 film agar genap jadi 20.
Perjalanan panjang sejarah perfilman Indonesia, sempat mengalami masa-masa kelam di awal ’90-an. Yang mengejutkan, sepanjang periode 1995-1997 ada 88 film yang lolos dari Lembaga Sensor Film. Tahun 1998 dan 1999 hanya diproduksi 4 film. Mulai 2002, produksi film nasional meningkat. Setiap pekan, ada 2 film Indonesia didirilis.
Cinta dalam Sepotong Roti (Sutr. Garin Nugroho, 1990)
Film-filmnya Garin Nugroho selalu berjudul puitis, termasuk film ini. Jauh berbeda dengan film-film lain yang tengah beredar saat itu. Cerita mengenai 3 sahabat, Mayang (Rizky Theo), Harris (Adjie Massaid), dan Topan (Tio Pakusadewo). Setelah besar Mayang dan Harris menikah, sementara Topan masih melajang dan jadi fotografer. Dalam perjalanan yang melibatkan mereka bertiga, tersingkap masalah yang selama ini terpendam di hati masing-masing. Harris yang punya trauma masa lalu. Sebagai istri, Mayang hampir tak bisa membantu, dan Topan yang ternyata memendam cinta pada Mayang sejak kecil. Judul-judul yang unik jadi ciri khas sosok Garin Nugroho. Film yang satu ini berhasil menancapkan kesan mendalam mengenai siapa Garin dan kiprahnya di perfilman nasional. Terbukti dengan Piala Citra untuk Film, Artistik, Editing, Musik, dan Fotografi Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 1991. Festival Film Asia Pasifik 1992 di Seoul menganugerahi Garin sebagai Sutradara Pendatang Baru. Selama belasan tahun kemudian, Garin membuktikan diri dengan membuat film-film berkelas festival (internasional), namun sulit laku di pasar negeri sendiri.
Lupa Aturan Main (Sutr. Tjut Djalil, 1990)
Menurut data Perfin, ini film terlaris di Jakarta tahun 1991 dengan jumlah penonton sebanyak 477.102 orang. Di awal ’90-an, Warkop DKI yang terdiri atas Indro, Kasino, dan Dono tak lepas dari predikat sebagai penyedot penonton. Film-film yang mereka bintangi selalu berjudul nyeleneh, cerita yang sederhana dengan bumbu gadis cantik nan seksi, tapi laris manis di pasaran.
Lupa Aturan Main berkisah tentang trio Warkop DKI yang berniat meringkus perampok bertopeng. Setelah menyiapkan diri, termasuk menantang perampok tadi lewat surat kabar, tapi mereka malah salah tangkap. Polisi yang mestinya, justru mereka ringkus. Sementara polisi berikutnya yang sebenarnya perampoknya malah dibiarkan. Si perampok menyuruh trio Warkop ini gantung diri. Harapan satu-satunya terletak pada Sridonna (Fortunella) yang kebetulan sedang menginap di rumah itu dan ditaksir perampoknya! Sederhana saja ‘kan ceritanya?
Ramadhan dan Ramona (Sutr. Chaerul Umam, 1992)
Inilah Film Terbaik di ajang FFI 1992. Piala Citra didapat untuk Sutradara, Skenario, Pemeran Utama Pria dan Pemeran Utama Wanita Terbaik. Dengan durasi 87 menit, cukup untuk menyampaikan sebuah pesan. Ramadhan dan Ramona hingga kini identik dengan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou. Di bawah arahan Chaerul Umam, Lydia memerankan Ramona, yang membenci sikap pria terhadap wanita dan mencoba menyelami hidup rakyat kecil. Sedangkan Ramadhan (Jamal Mirdad), anak bangsawan asal Malaysia yang ingin mencari pengalaman dengan bekerja sebagai karyawan biasa di Jakarta. Sejak berkenalan hingga saling tertarik, semuanya terjadi di Jakarta.
Dengan gaya bertutur yang ringan, skenario Putu Wijaya ini berhasil menggiring penonton menyukai 2 tokoh utamanya. Cerita cinta sepasang anak muda yang sama-sama menyembunyikan latar belakang mereka. Meski filmnya ringan, pembuat film menyelipkan pandangannya mengenai masalah-masalah sosial.
Kuldesak (Sutr. Mira Lesmana, Nan Achnas, Riri Riza, Rizal Mantovani, 1997)
Di tengah kelesuan, 4 sutradara muda menggebrak panggung film nasional. Mira Lesmana, Nan T. Achnas, Riri Riza, dan Rizal Mantovani, masing-masing mengemas empat cerita ini dalam satu film, Kuldesak. Meski saling tak terkait, benang merahnya tetap ada. Keempatnya melukiskan dunia remaja masa kini dari kacamata remaja itu sendiri. Dunia yang terkadang sulit dipahami generasi yang lebih tua. Masing-masing tokoh punya impian, keinginan, obsesi, dan masalah yang umumnya tak kesampaian.
Dalam buku Katalog Film Indonesia, tertulis, keunikan film produksi 1997 ini. Bentuk yang dekat dengan gaya video klip yang bertebaran di MTV menjadikan Kuldesak seperti lepas dari keterkaitannya dengan sejarah film Indonesia sebelumnya. Para pembuat filmnya merasa tak harus punya sikap dalam dunia yang penuh realita ini. Cukup menyajikannya saja. Persis seperti kalimat yang diucapkan Mira ketika itu, “Suka atau tidak, inilah karya kami.” Ia merasa perlu menekankan ini lantaran harapan orang terlalu tinggi, bahwa karya ini dianggap sebagai kebangkitan film nasional. Padahal mereka membuat Kuldesak sebagai tontonan alternatif.
Kuldesak mencerminkan karya yang belum pernah dilakukan sineas Indonesia sebelumnya. Keempat sutradara muda ini mengajak sejumlah seleb sebagai cameo (muncul sekejap, dalam tempo singkat). Dengan begitu, film ini lebih gampang dijual. Gaya ini kemudian lebih sering dipakai film-film yang lahir belakangan. Penokohan yang tidak lazim, pun terjadi di film ini. Rasanya baru kali ini kamera menyorot pasangan homoseksual, meski tidak digali secara mendalam, cukup sebatas permukaan saja.
Petualangan Sherina (Sutr. Riri Riza, 1999)
Ini proyek Mira Lesmana dan Riri Riza. Dengan biaya 2 miliar rupiah, film ini dipasarkan dengan serius. Mira, sang produser melakukan promosi serius. Lagu-lagunya dipasarkan tersendiri dan pemutarannya benar-benar dibuat tepat saat libur sekolah. Alhasil, film ini mampu mengundang 1,6 juta penonton ke bioskop. Jumlah yang sangat besar.
Ceritanya sih mengingatkan penonton pada Home Alone, saat anak kecil mempecundangi orang dewasa. Digarap Riri dengan lancar, film produksi 1999 ini dibumbui lagu-lagu yang didendangkan Sherina. Jika Petualangan Sherina bukanlah film bagus, tak mungkin bisa bertahan selama berminggu-minggu di bioskop.
Ada Apa dengan Cinta? (Sutr. Rudi Sudjarwo, 2001)
Ini salah satu film penting di negeri ini. Setelah sukses dengan Petualangan Sherina, Mira Lesmana menunjuk Rudi Soedjarwo untuk menggarap skenario Jujur Prananto lainnya, Ada Apa dengan Cinta? (AADC?). Film bertema remaja kala itu sudah hilang dari perfilman Indonesia. Setelah Gita Cinta dari SMA (1979), praktis tak ada lagi film remaja yang fenomenal. AADC? ditonton 2,7 juta orang di bioskop. Kalau generasi dulu mengenal Galih dan Ratna, kini, lebih mengenal sosok Cinta dan Rangga. Setelah AADC?, lahir film-film sejenis, bahkan sampai ke TV. Cerita Cinta (Dian Sastrowardoyo) dan Rangga (Nicholas Saputra) lebih kompleks ketimbang cinta biasa. Dipuntir dengan konflik persahabatan sampai soal kedalaman sastra. Berkat AADC? buku Aku kembali mengalami cetak ulang dan laris si kalangan remaja. Kehebatan bertutur Rudi diganjar dengan Piala Citra di FFI 2004. Dari film ini lahir generasi baru “bintang film” yang masih belia, Dian dan Nico.
Jelangkung (Sutr. Jose Purnomo, Rizal Mantovani, 2001)
Film ini jadi pelecut maraknya film horor. Setelah era esek-esek di awal ’90-an, film horor mendominasi era saat ini. Bisa dibilang, film horor nggak ada matinya. Jelangkung seakan membuka jalan bagi film-film berikutnya. Ketika hanya diputar di 2 bioskop saja, Jelangkung bertahan berminggu-minggu.
Bahkan penontonnya harus antre mendapatkan tiket. Di catatan Bintang, Jelangkung ditonton sebanyak 1,6 juta orang, padahal bujetnya cuma 400 juta rupiah. Film yang digarap 2 sutradara (Jose Poernomo, Rizal Mantovani) ini mirip The Blair Witch Project (TBWP, 1999). Dengan bujet mepet, bintangnya belum dikenal, dan tak ada ongkos promosi, nyatanya laris manis.
Arisan! (Sutr. Nia Dinata, 2003)
Ini gambaran kehidupan manusia Jakarta usia 30 tahunan. Sebagai istilah, arisan sudah banyak dipahami sebagai ajang kumpul-kumpul. Meski arisan berarti mengumpulkan uang, tapi sejatinya lebih bermakna pada kumpul-kumpul tadi. Saat di mana para pecinta arisan berbagi cerita, apa saja, termasuk masalah pribadi yang tak seharusnya diumbar. Arisan! seperti menelanjangi kehidupan di zamannya secara gamblang. Problematika hidup kaum borjuis di Jakarta menunjukkan beragam konflik, apakah itu perselingkuhan, dilema cinta sesama jenis, hingga begitu sulitnya mempertahankan nilai-nilai keluarga. Tapi semua dipadu dalam nuansa komedi yang tak menggurui.
Itulah hebatnya Nia Dinata. Setelah Ca Bau Kan yang kuat di artistik, ia menghadirkan Arisan! yang kental dengan realita sekelumit gaya hidup kaum metropolitan sekaligus mengajak penonton untuk tidak lagi menyangkal kenyataan. Itulah kehidupan kota besar yang penuh dengan kemunafikan. Sulit mencari kejujuran di tengah gaya hidup yang serba instan dan ingin selalu kelihatan hebat ini. Pantas jika Arisan! membawa pulang Citra di FFI 2004 bukan hanya untuk Film, tapi juga Editing, Pemeran Pembantu Pria (Surya Saputra) dan Wanita (Rachel Maryam), juga Pemeran Utama Pria (Tora Sudiro) yang memerankan gay.
Eiffel I’m in Love (Sutr. Nasri Cheppy, 2003)
Rasanya sulit menembus rekor Eiffel I’m in Love sebagai film yang ditonton 3 juta penonton. Sebenarnya, tema percintaan di kalangan remaja bukan sesuatu yang baru. Terlebih setelah era AADC? Namun Eiffel berhasil menyedot minat remaja, bahkan melampaui yang dicapai AADC? Salah satu faktor penentu yang tak boleh diabaikan barangkali sosok Rachmania Arunita. Si penulis novel sekaligus yang mewujudkannya ke dalam skenario film yang aslinya berdurasi 195 menit! Film yang sangat panjang untuk sebuah film. Tak heran jika kemudian filmnya dipenggal agar memenuhi kuota sebanyak beberapa kali penayangan dalam sehari di bioskop. Baru setelah ketahuan laris manis, versi panjangnya dipasarkan juga setahun kemudian.
Mengadaptasi novel ke dalam skenario bukanlah hal gampang. Rachmania Arunita dianggap berhasil lantaran memahami jiwa Eiffel dan tak mungkin mengabaikannya. Rachmania lebih mudah menyelami apa yang menjadi daya tarik anak-anak seusianya sehingga film produksi 2003 ini lebih “membumi” di kalangan remaja. Bahkan sutradara Nasry Cheppy tak punya kesulitan mengangkat cerita cinta remaja ini. Seperti halnya AADC? dengan Dian dan Nico, Arisan! dengan Tora Sudiro, maka Eiffel sekaligus melahirkan pasangan baru Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Keduanya tampil bersama lagi dalam Apa Artinya Cinta.
Virgin, Ketika Keperawanan Dipertanyakan (Sutr. Hanny R. Saputra, 2004)
Film nasional yang blak-blakan mengungkap soal yang dianggap tabu. Isinya memotret kehidupan remaja kota yang kebablasan dalam pergaulan. Byan (Laudya Cynthia Bella), Ketie (Argie), dan Stella (Ardina Rasti) menjadi sahabat dengan kesamaan latar belakang dari keluarga berantakan. Keseharian mereka diwarnai senang-senang ke diskotik dan mendapat uang dari om-om, bahkan jika perlu dengan menjual keperawanan. Hanya Byan yang berusaha tetap mempertahankan keperawanan sambil mengharap sosok Marix (Mike Muliardo) yang artis.
Selama 2004, dari 31 film yang diproduksi termasuk Gie, Virgin menembus angka 1,4 juta penonton. Film yang digarap Hanny R. Saputra ini meraih Piala Antemas, piala buat film unggulan FFI yang paling banyak ditonton. Dari film ini, lahir Laudya Cynthia Bella yang kini makin laris di jagat hiburan tanah air.
Gie (Sutr. Riri Riza, 2005)
Diangkat dari kehidupan Soe Hok Gie (Jonathan Mulia, Nicholas Saputra), aktivis mahasiswa 60-an. Pandangan dan kisah hidupnya tertuang dalam buku Catatan Seorang Demonstran yang lantas menjadi sumber Riri Riza, sutradara sekaligus penulis skenarionya dalam melakukan penelitian mendalam. Jarang sekali film Indonesia yang mau mengangkat film bertema ini. Nico yang tampan tak mirip dengan Gie, tapi bisa berakting dan lalu meraih Citra di FFI 2005.
Keistimewaan Gie terletak pada ceritanya yang bermakna lebih dalam dari sekadar biografi biasa. Hal-hal lain yang terungkap dalam perjuangan Gie menjadi sisi menarik. Bagaimana seseorang yang ikut berjuang menumbangkan rezim korup malah menemukan rezim korup baru. Bahkan teman-temannya yang sesama aktivis, pun ikutan korup. Idealisme Gie membuatnya terasing dan kesepian. Teman-temannya meninggalkannya, juga wanita yang dicintainya, juga menolak dirinya.
Denias, Senandung di Atas Awan (Sutr. John De Rantau, 2006)
Di antara padatnya film nasional berbau cinta dan horor, kehadiran Denias, Senandung di Atas Awan menjadi penyejuk. Ceritanya mengenai keinginan dan tekad seorang anak yang ingin bersekolah. Denias (Albert Fakdawer) rela melakukan apa saja demi mengenyam pendidikan, sesuai petuah sang ibu yang selalu terngiang. Indonesia beruntung masih punya sineas yang punya idealisme mengangkat tema berbeda.
Cerita yang konon diangkat dari kisah nyata ini tentu bisa menginspirasi banyak orang. Rekaman indah pemandangan asli Papua, mudah-mudahan tidak membuat penonton melupakan pesan film ini. Kalau Denias saja mau belajar di sekolah yang letaknya sangat jauh, mestinya anak-anak lain lebih bersemangat lagi sekolah. Trenyuh jika melihat ada yang bolos sekolah.
Heart (Sutr. Hanny R. Saputra, 2006)
Film produksi 2006 ini ingin mengharu-biru penonton dengan mengingatkan, betapa dalamnya makna cinta yang terpendam. Gambar-gambar indah Heart sesuai tema cerita. Kostum juga dibuat khusus yang mengingatkan penonton pada komik serial cantik dari Jepang, seperti Candy Candy. Musik yang digarap Anto Hoed dan istrinya, Melly juga sangat mendukung. Meski ada kekurangan di sana-sini, penontonnya mencapai 1,3 juta orang? Ini bukti, film cinta yang menyasar segmen pasar yang tepat, remaja.
Berbagi Suami (sutr. Nia Dinata, 2006)
Poligami, jadi salah satu topik berani yang diangkat Nia Dinata ke dalam sebuah film. Keberanian Nia didorong riset yang lama dan kejelian memilih komedi satir untuk cerita ini. Hasilnya? Penonton puas dengan cerita dan skenario yang bagus serta suguhan akting para pemainnya. Kematangan Nia sebagai sutradara makin berkembang ke arah yang lebih baik dari film-film sebelumnya. Ketika Berbagi Suami diputar, topik yang sensitif ini memang tengah hangat berkembang di masyarakat. Maklum, era reformasi tampaknya justru makin menyingkap apa yang sebenarnya terjadi dan selama ini ditutupi.
Cinta & Rock n Roll (Sutr. Upi Avianto, 2007)
Film ini karya kedua yang digarap Upi setelah 30 Hari Mencari Cinta. Kalau film pertamanya membahas soal wanita yang mencari cinta, lewat Realita, Cinta & Rock n Roll, Upi menyoroti konflik yang terjadi dalam diri Nugi (Herjunot Ali). Soal hubungannya dengan sosok ayah, juga persahabatannya dengan Ipang (Vino G. Bastian).
Bahasa-bahasa keseharian yang keluar dari film Upi menjadi salah satu ciri khasnya yang justru tidak membuat jarak dengan penonton. Realita, Cinta & Rock n Roll membahas masalah mengenai rumitnya hubungan anak dengan ayahnya yang harus ia panggil mama. Untung Nugi remaja yang tangguh. Kendati awalnya kaget, tapi ia punya mental baja. Kalau saja konflik ini lebih diperdalam, hasilnya akan jauh lebih bagus.
Nagabonar Jadi 2 (Sutr. Deddy Mizwar, 2007)
Karakter Naga Bonar sepertinya tak gampang lenyap. Deddy Mizwar membuat sekuelnya setelah 20 tahun berlalu. Konflik yang muncul antar generasi disampaikan lewat cara yang kocak dan tak membosankan. Mengapa film ini penting? Sekuel tak harus dibikin dalam waktu yang berdekatan. Entah strategi apa yang ada di kepala Deddy Mizwar, yang jelas keputusannya membuat Nagabonar Jadi 2 sangat tepat. Selain menjadi Film Terbaik, ia sendiri membawa pulang Citra di FFI tahun lalu. Sudah begitu, Nagabonar Jadi 2 menyedot penonton lebih dari 1 juta penonton. Jika digarap dengan baik, bukan tidak mungkin hasilnya akan memuaskan. Keberanian Deddy mengusung tema nasionalisme di tengah-tengah kehidupan yang melulu bicara konsumerisme, tidak membuat gamang. Adegan Naga Bonar mendaki patung Jenderal Sudirman memang agak berlebihan. Tapi pendekatan Naga Bonar terhadap anak tukang bajaj (Lukman Sardi yang juga memboyong Citra) boleh jadi terasa sangat nyata. Bak sang kakek yang senang mendongeng, Naga Bonar tak keberatan membeberkan pengalamannya.
Ayat-ayat Cinta (Sutr. Hanung Bramantyo, 2008)
Film paling baru ini bisa jadi bahan pembicaraan hingga tahun-tahun mendatang. Hingga tulisan ini diturunkan, penontonnya sudah mencapai 300 ribuan. Keistimewaan Ayat-ayat Cinta terletak pada gambaran kehidupan Islami di tengah masyarakat yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Setelah era kebangkitan film nasional, tak banyak yang berani mengambil tema ini. Deddy Mizwar sudah mengawalinya dengan Kiamat Sudah Dekat yang sayangnya tak mendapat respons yang bagus. Pendekatan lain dilakukan pembuat Ayat-ayat Cinta yang dengan berani mengadaptasi novel laris. Apa pun hasilnya, sumbangan pembuat film Ayat-ayat Cinta layak menjadi catatan. Di negeri yang 90 persennya beragama Islam jelas menjadi beban. Salah-salah nanti bisa didemo, atau malah ditarik dari peredaran. Mungkin itu sebabnya jadwal edar film ini sempat seret.
Laskar Pelangi (Sutr. Riri Riza, 2008)
Laskar Pelangi tidak sekadar film paling sukses sepanjang masa dengan 5 juta penonton. Riri Riza tak bersetia dengan novel asli karya Andrea Hirata. Riri membuat film yang intinya seperti ini: di sebuah desa di Belitong yang dirasuki kemiskinan hingga ke akarnya, berdirilah sebuah SD reyot dengan 2 pengajar yang berdedikasi (Pak Harfan dan Bu Muslimah). Murid-murid SD reyot itu menikmati hari-hari bersekolah mereka di tengah keterbatasan yang ada. Dari SD reyot itu malah muncul mutiara-mutiara yang berhasil membangkitkan kebanggaan kaum miskin. Tentu dengan mengalahkan sekolah PN Timah, perlambang kaum kaya. Baik dalam bidang kesenian (Mahar berhasil mengalahkan tim marching band SD PN Timah dengan tarian suku Afrika-nya) maupun ilmu pengetahuan (Lintang tampil memukau saat cerdas cermat). Pertarungan kelas tampil memukau sekaligus mengundang simpati.
Garuda di Dadaku (Sutr. Ifa Ifansyah, 2009)
Saat ada ribuan anak yang hobi main bola merengek minta diajak ke bioskop nonton film ini adalah bukti film ini tak hanya berhasil memberi kisah yang enak ditonton, tapi juga kisah inspiratif yang dekat buat mereka. Sejak serial Kapten Tsubasa tayang dulu, inilah tontonan yang berhasil memikat anak-anak penggila bola untuk punya cita-cita suci: main bola dengan logo garuda tersemat di dada. Debut sutradara Ifa Isfansyah ini memberi suguhan tontonan keluarga yang berhasil: mempunyai pesan moral, sekaligus tontonan yang asyik bagi anak-anak dan dewasa.
Sang Pencerah (Sutr. Hanung Bramantyo, 2010)
Sang Pencerah adalah film biopic (kisah hidup tokoh nyata) sekaligus film religi. Lewat film ini, Hanung membawa film religi ke penceritaan bukan soal tokohnya ingin naik kelas sosial atau sekadar pelik-melik mencari jodoh secara islami. Kali ini, yang dilakukan tokohnya mengajarkan pembaruan pada umat. Kita kemudian tahu, Komite Seleksi FFI 2010 memilih tak meloloskan film ini ikut kompetisi karena alasan-alasan teknis (data sejarah kurang akurat dll). Namun, langkah ini malah mengundang kontroversi karena film bagus tak usah tunduk pada cacat teknis tak esensial. Segala protes dan kontroversi yang dipicu film ini tak lolos FFI semakin menguatkan signifikansi Sang Pencerah, tidak hanya di tengah pecinta film Indonesia, namun juga di tengah ummat.