Salah satu pertanyaan terbesar era pemerintahan dewasa ini adalah
bagaimana karakter bangsa yang menjadi jargon Joko Widodo mampu
bertumbuh di tengah ciri terbesar peradaban pasar bebas dewasa ini,
yakni kebebasan konsumen memilih produk. Bebas memilih buah impor atau
lokal. Bebas menonton film di bioskop. Warga hanya jadi warga konsumen
bukan warga negara?
Bagi saya, yang termulia dalam membaca
peradaban dewasa ini, justru perlombaan bangsa-bangsa beradab untuk
melahirkan strategi produktivitas lokal dalam penghormatan pasar bebas.
Pada kerja ini, maka warga tidak lagi sekadar diperlakukan sebagai warga
konsumen, namun warga negara. Pada kemuliaan kata warga negara, maka
pemerintah hingga sektor swasta yang mengelola ruang tumbuh warga
negara, senantiasa ikut bertanggung jawab atas kualitas tumbuhnya
masyarakat sipil yang semakin kritis dan punya rasa krisis, yakni
semakin produktif, berpengetahuan, berketerampilan, berselera, serta
semakin beretika berbasis profesionalisme.
Dasar pemikiran ini
menjadi penting, mengingat produktivitas suatu bangsa dalam berbagai
aspek kehidupan menjadi muara terbesar mengelola seluruh unsur keutamaan
karakter bangsa, yakni keunggulan kualitas hidup, cara kerja, hingga
cara menanggapi dan bereaksi terhadap perubahan global.
Simak film
Hollywood. Ia tidak sekadar film, namun sejarah, karakter bangsa
Amerika dan diplomasi politik maupun perdagangan terbesar Amerika.
Simak, sejarah tokoh antagonis film Amerika, senantiasa menjadi bagian
bangunan politik luar negeri Amerika. Jangan heran, ketika awal Perang
Dunia II, film Amerika antagonisnya pastilah orang Jerman sesuai situasi
perang dunia saat itu, demikian juga ketika Perang Dingin pastilah
antagonis film Amerika adalah Rusia. Bisa ditebak, kini musuh Amerika
pastilah teroris maupun beragam antagonis yang tidak jelas asal-usulnya,
seiring kebingungan Amerika menemukan musuh terbesarnya. Jangan heran
pula, Amerika akan melakukan perlindungan distribusi filmnya dengan cara
apa pun.
Catatan di atas menyimpulkan satu nilai
keutamaan bahwa kebebasan demokrasi dalam jargon karakter bangsa
memerlukan satu kata: keberpihakan pada daya hidup produktivitas lokal.
Yang pada gilirannya menyangkut ketahanan pangan lokal, ketahanan
politik, hingga sains dan budaya, seni, hingga hiburan.
Haruslah
dicatat, syarat-syarat untuk masuk demokrasi dalam pasar bebas perlu
waktu dan mahal, maka tanpa keberpihakan pemerintah maupun sektor swasta
akan muncul ketimpangan dan berlanjut pada kemunduran produktivitas
lokal. Pada gilirannya, pilihan pada impor terasa menjadi jalan
penyelamatan, namun sesungguhnya jalan pintas dari kekalahan
produktivitas sebuah bangsa.
Simak, kasus daging sapi, pastilah
daging sapi Australia yang dibawa dengan kapal layaknya kapal pesiar
akan lebih cepat dan terjamin dibanding sapi dari NTT yang diangkut
kapal kayu. Atau simak, buah impor pastilah lebih murah, cepat, dan enak
dibanding upaya memproduksi buah lokal dengan percepatan produksi,
kenyamanan, dan keenakan dalam waktu pendek. Atau simak pertunjukan
industri teater musikal, pastilah lebih cepat, bergengsi, dan terjamin
ekonomi mengimpor pertunjukan dari Amerika yang sudah terbaca pasar dan
standarnya.
Demikian juga dalam film, pastilah lebih mudah memperhitungkan keuntungan film-film populer Hollywood dibanding film Indonesia.
Catatan
di atas juga menunjukkan bahwa persaingan pasar bebas tidak selalu
dalam kesetaraan waktu serta ruang tubuh antara produksi lokal dan
impor. Simaklah, kelengkapan berdirinya institusi demokrasi sebagai
jaminan terjaganya ekonomi demokrasi. Pada kasus film, sesungguhnya
industri film belum memenuhi syarat demokratis ekonomi. Sebutlah, tidak
adanya institusi pengawas publik independen terhadap jumlah tiket hingga
jumlah penonton serta sistem distribusi. Atau juga lembaga film (Badan
Perfilman Indonesia) yang mempunyai dasar hukum serta dukungan
administrasi pelaksana atau juga serikat kerja. Oleh karena itu, seluruh
debat tentang data ketidakadilan distribusi menjadi tidak memiliki
akuntabilitasnya karena bersumber dari bioskop itu sendiri. Dengan
demikian, dunia film kehilangan dasar demokratisasi ekonominya.
Catatan
di atas saya perlukan untuk memberi jawaban debat di harian ini antara
pihak Bioskop 21 dan pelaku industri, kritikus dan pencipta film yang
belum merasa terciptanya demokrasi distribusi film yang berpihak pada
karakter bangsa, yakni produktivitas film lokal.
Saya pribadi
harus memuji upaya pertumbuhan sistem Bioskop 21 yang awalnya monopoli
dan kroni, kini berupaya bertumbuh dalam pasar demokratisasi. Demikian
juga, kerja lewat dukungan aktif film indonesia dengan menyelenggarakan
festival film pendek, dan lain-lain. Namun, selayaknya jalan menuju
demokratisasi ekonomi tidak sebatas kampanye lewat festival, namun aktif
secara konstruktif, bersama-sama memperlengkapi syarat-syarat institusi
demokrasi. Untuk tidak lagi disebut monopoli maupun menganakemaskan
Hollywood dan menganaktirikan film nasional. Sebutlah, Hollywood lebih
mudah memesan tanggal tayang yang rekatif ekonomis.
Saya masih
ingat, ketika saya menjadi juri di Busan International Film Festival
kedua kalinya. Saya melihat demonstrasi pelaku film Korea menutup
bioskop yang dianggap menjadikan Hollywood sebagai anak emas, bahkan
kemudian para demonstran melempar ular ke dalam bioskop. Catatan ini
menunjukkan bahwa wajah industri film Korea dewasa ini bertumbuh dari
gesekan besar tentang demokratisasi dan karakter bangsa, yang kemudian
berevolusi menjadi kerja konstruktif pemerintah, pelaku film dan swasta
untuk membawa Korea dalam wajah industri film dewasa ini, lewat lebih
dari 10 tahun.
Pada kenyataan ini, saatnya kerja konstruktif
bersama dilakukan, namun juga orang film harus berani terus menuntut dan
berkata ” tidak” pada diskriminasi produktivitas produk lokal. Jika ini
tidak dilakukan sebagai suatu kewajaran, Nawacita Jokowi hanya jadi
cita-cita yang tak bernyawa...
Pertama kali dimuat di Kompas, Minggu 30 Agustus 2015, hlm 12