Kisah 1
TD Pardede, pengusaha terkenal asal Medan yang dekat dengan Bung Karno
suatu hari dipanggil mendadak ke Jakarta. Setelah berbincang-bincang
bersama menteri lainnya, Presiden Republik Indonesia itu mengajak TD
Pardede ke pojok ruangan.
“Pardede, bisa kau pinjamkan aku uang ?“ Gelagapan karena langsung
ditodong oleh penguasa negeri. TD Pardede merogoh saku saku jasnya dan
memberikan seribu dollar dari kantongnya. Namun Bung Karno hanya
mengambil secukupnya dan mengembalikan sisanya kepada Pardede.
Kisah 2
Satu ajudan terakhir Bung Karno adalah Putu Sugianitri, ex polisi
wanita yang setelah Bung Karno tidak menjabat lagi, harus pensiun tanpa
kejelasan. Suatu saat setelah tidak menjadi presiden, Bung Karno
berjalan-jalan keliling kota dan tiba tiba ingin buah rambutan.
”Tri, beli rambutan.“ ”Uangnya mana ?” tanya si polwan asal Bali itu.
”Sing ngelah pis” kata Bung Karno dalam bahasa Bali yang artinya "Saya
tak punya uang." Jadilah sang ajudan memakai uang pribadinya untuk
mantan presiden yang tidak memiliki uang.
Kisah 3
Saat Ali
Sadikin menjabat Menko Maritim, ia ditanya oleh Bung Karno apakah ia
bisa membantu bisnis mertuanya yang berkaitan dengan perijinan
pelabuhan. Setelah dipelajari, Ali Sadikin mengatakan tidak bisa.
Peraturan mengatakan demikian. "Ya sudah, kalau tidak bisa" kata Bung
Karno.
Bang Ali berpikir, luar biasa ini manusia. Padahal
sebagai presiden ia bisa memaksakan memberi perintah. Yang mengagumkan
Bung Karno selanjutnya tidak pernah dendam, bahkan kelak mengangkat Ali
Sadikin sebagai Gubernur Jakarta.
Saat
mendapat surat dari Jenderal Soeharto, bahwa Bung Karno harus
meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 16 Agustus 1967. Maka teman
teman Bung Karno yang mengetahui rencana itu segera menawarkan dan
menyediakan enam rumah untuk tempat tinggal dan putera puteri Bung
Karno.
Mendengar hal itu Bung Karno seketika marah, bahwa ia
tidak menghendaki rumah rumah itu. Ia menginginkan semua anak anaknya
pindah ke rumah Ibu Fatmawati. “Semua anak anak kalau meninggalkan
Istana tidak boleh membawa apa-apa, kecuali buku-buku pelajaran,
perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang barang lain seperti radio,
televisi dan lain-lain tidak boleh dibawa !“ Demikian Bung Karno
memerintahkan.
Guntur – putera tertua – setelah mendengar
penjelasan itu merasa kecewa, karena ia sudah terlanjur menggulung kabel
antenna TV yang akhirnya tidak boleh dibawa pergi. Sementara Ibu
Fatmawati mengeluh karena kamar di rumahnya tidak cukup.
Tak
berapa lama datang truk dari polisi yang membawa empat tempat tidur dari
kayu yang bersusun, dengan kasur dan bantalnya tapi tanpa sprei dan
sarung bantal. Juga beras enam karung. “Anak-anakku semua disuruh tidur
di tempat tidur susun dari kayu, tanpa sprei dan sarung bantal.“ Konon
Ibu Fat, marah marah kepada utusan yang membawa perlengkapan itu.
Bung Karno keluar dari istana dengan mengenakan kaos oblong cap cabe
dan celana piyama warna krem. Baju piyamanya disampirkan ke pundak, dan
ia memakai sandal bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas
koran yang digulung, berisi bendera pusaka merah putih. Bendera yang
dijahit oleh istrinya sendiri, Fatmawati ketika masa proklamasi
kemerdekaan.
Tak ada voor ridjer, pengawalan atau penghormatan
ketika meninggalkan Istana Merdeka. Ia meninggalkan istana dengan mobil
VW kodok yang dikendarai seorang supir asal kepolisian.
Salah
seorang anggota kawal pribadinya membawakan ovaltine, minuman air jeruk,
air teh, air putih, kue kue serta obat obatan Bung Karno.
Itulah seluruh harta yang dimiliki Bung Karno ketika meninggalkan
Istana. Selebihnya ditinggalkan. Selama menjabat Presiden, ia tidak
pernah memiliki rumah sendiri. Ia adalah presiden termiskin yang pernah
ada.
Tidak
ada deal khusus antara Bung Karno dengan penguasa setelahnya. Hanya
sebuah persetujuan dalam segenggam bait puisi Chairil Anwar.
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh
sumber : Hoesein Rushdy