MEWUJUDKAN lahirnya satu barometer
industri perfilman seperti Hollywood yang mampu meraup miliaran dolar
dalam setahun barangkali masih sebatas angan. Butuh waktu lama untuk
memahami betapa seksinya industri ini apabila digarap maksimal. Terutama
dari pemerintah dan stake holder; bahwa industri film-apalagi untuk
skala lokal Medan-bukanlah peluang investasi bisnis yang basah.
Tapi, asal tahu saja, di tengah
sulitnya mencari investasi di industri film skala lokal, kreativitas
film lokal produksi anak Medan mulai merangkak bangkit. Puluhan film
diproduksi dengan biaya seminim mungkin untuk keuntungan besar.
Nyatanya, industri ini memang basah bila bijak melirik ceruk pasar
penonton.
Sebut saja satu di antaranya sutradara Rius Suhendra dengan karya filmnya berjudul Golden Egg. Film berbahasa Hokkien yang dirilis tahun 2011 ini berhasil merambah pasar penonton kalangan etnis Tionghoa, tidak hanya di Medan tapi hingga Singapura, Malaysia dan Hongkong.
Dalam diskusi film yang diselenggarakan Indonesia Kreatif di Ulos Cafe, Santika Hotel Medan, Januari lalu, Rius berbagi pengalaman "bermain" di industri ini. Kesulitan utama para sineas lokal sejauh ini memang masih didominasi pembiyaan produksi. Tapi, Rius punya cara sendiri untuk mengatasinya. Dia mencari sponsor dengan memberikan fleksibilitas pada skenario. "Film ini bahkan sempat memakan waktu proses editing untuk menyesuaikan permintaan sponsor," katanya.
Golden Egg tidak hanya berhasil menuai untung dari penjualan kepingan cakram padat berupa VCD/DVD, tapi juga mendapat keuntungan di luar ekspektasi dari pihak sponsor. Rius mengaku dengan penjualan DVD sebanyak 200.000 keping, film itu berhasil meraup keuntungan cukup fantastis: Rp 400 juta.
Lain lagi cerita Ponty Gea, produser sekaligus sutradara film yang jeli melihat pasar penonton melalui pendekatan kearifan budaya lokal. Setidaknya, sudah 11 film lokal berbahasa Nias dengan teks terjemahan ke bahasa Indonesia. Salah satu film yang paling laris ialah Ono Sitefuyu (Anak Sesat).
Film yang mulai dirilis tahun 2010 ini berhasil mencatatkan penjualan kepingan VCD sebanyak 220.000 kopi dengan harga VCD per keping Rp 15.000. "Banyak cerita menarik berlatar budaya lokal Sumatra Utara yang menjual untuk diangkat ke film. Itu pula yang memotivasi saya serius memproduksi film bertema lokal," ujar Ponty suatu kali dalam sebuah diskusi film di Taman Budaya Sumatra Utara, Medan.
Produser film, H Amsyal Tanjung, menilai, strategi yang dilakukan Ponty dan Rius termasuk bijak dalam hal mencapai target film secara komersil. "Kalau dari awal tujuan buat filmnya mau cari untung, langkah yang mereka lakukan itu sangat tepat. Saya pun salut karena mereka telah berhasil memenuhi permintaan pasar penonton lokal," kata pendiri Windy Production yang sejak tahun 1976 sudah aktif di seni peran dan film.
Namun, menurut Amsyal, harus tetap diakui bahwa film lokal Medan saat ini "belum ada apa-apanya" bila dibandingkan era 1960-an hingga 1980-an. Artinya, pencapaian yang dilakukan sineas-sineas lokal Medan saat ini belum mampu mengungguli para pendahulunya.
"Mungkin orang sudah lupa bahwa ada film karya anak Medan pernah dianggap sebagai barometer film Indonesia," katanya. Ia mengenang, Medan pernah begitu disegani karena kian produktif melahirkan film-film berkualitas yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air, antara lain Piso Surit (1960), Butet (1974), Buaya Deli (1978) dan Musang Berjanggut (1983)-film yang diangkat dari cerita komik karya komikus Medan, Taguan Hardjo.
Hal itu juga dibenarkan oleh pengamat film Medan, dr Daniel Irawan. "Bahkan, sineas Medan pernah cukup diperhitungkan di industri film Indonesia," katanya. Pengakuan itu dibuktikan dengan film "Turang", karya sutradara Bachtiar Siagian, yang diproduksi tahun 1957 dan mendapat penghargaan film, sutradara, pemeran pembantu, dan tata artistik terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960.(bersambung).(tonggo simangunsong)
sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/
Sebut saja satu di antaranya sutradara Rius Suhendra dengan karya filmnya berjudul Golden Egg. Film berbahasa Hokkien yang dirilis tahun 2011 ini berhasil merambah pasar penonton kalangan etnis Tionghoa, tidak hanya di Medan tapi hingga Singapura, Malaysia dan Hongkong.
Dalam diskusi film yang diselenggarakan Indonesia Kreatif di Ulos Cafe, Santika Hotel Medan, Januari lalu, Rius berbagi pengalaman "bermain" di industri ini. Kesulitan utama para sineas lokal sejauh ini memang masih didominasi pembiyaan produksi. Tapi, Rius punya cara sendiri untuk mengatasinya. Dia mencari sponsor dengan memberikan fleksibilitas pada skenario. "Film ini bahkan sempat memakan waktu proses editing untuk menyesuaikan permintaan sponsor," katanya.
Golden Egg tidak hanya berhasil menuai untung dari penjualan kepingan cakram padat berupa VCD/DVD, tapi juga mendapat keuntungan di luar ekspektasi dari pihak sponsor. Rius mengaku dengan penjualan DVD sebanyak 200.000 keping, film itu berhasil meraup keuntungan cukup fantastis: Rp 400 juta.
Lain lagi cerita Ponty Gea, produser sekaligus sutradara film yang jeli melihat pasar penonton melalui pendekatan kearifan budaya lokal. Setidaknya, sudah 11 film lokal berbahasa Nias dengan teks terjemahan ke bahasa Indonesia. Salah satu film yang paling laris ialah Ono Sitefuyu (Anak Sesat).
Film yang mulai dirilis tahun 2010 ini berhasil mencatatkan penjualan kepingan VCD sebanyak 220.000 kopi dengan harga VCD per keping Rp 15.000. "Banyak cerita menarik berlatar budaya lokal Sumatra Utara yang menjual untuk diangkat ke film. Itu pula yang memotivasi saya serius memproduksi film bertema lokal," ujar Ponty suatu kali dalam sebuah diskusi film di Taman Budaya Sumatra Utara, Medan.
Produser film, H Amsyal Tanjung, menilai, strategi yang dilakukan Ponty dan Rius termasuk bijak dalam hal mencapai target film secara komersil. "Kalau dari awal tujuan buat filmnya mau cari untung, langkah yang mereka lakukan itu sangat tepat. Saya pun salut karena mereka telah berhasil memenuhi permintaan pasar penonton lokal," kata pendiri Windy Production yang sejak tahun 1976 sudah aktif di seni peran dan film.
Namun, menurut Amsyal, harus tetap diakui bahwa film lokal Medan saat ini "belum ada apa-apanya" bila dibandingkan era 1960-an hingga 1980-an. Artinya, pencapaian yang dilakukan sineas-sineas lokal Medan saat ini belum mampu mengungguli para pendahulunya.
"Mungkin orang sudah lupa bahwa ada film karya anak Medan pernah dianggap sebagai barometer film Indonesia," katanya. Ia mengenang, Medan pernah begitu disegani karena kian produktif melahirkan film-film berkualitas yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air, antara lain Piso Surit (1960), Butet (1974), Buaya Deli (1978) dan Musang Berjanggut (1983)-film yang diangkat dari cerita komik karya komikus Medan, Taguan Hardjo.
Hal itu juga dibenarkan oleh pengamat film Medan, dr Daniel Irawan. "Bahkan, sineas Medan pernah cukup diperhitungkan di industri film Indonesia," katanya. Pengakuan itu dibuktikan dengan film "Turang", karya sutradara Bachtiar Siagian, yang diproduksi tahun 1957 dan mendapat penghargaan film, sutradara, pemeran pembantu, dan tata artistik terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960.(bersambung).(tonggo simangunsong)
sumber : http://www.medanbisnisdaily.com/