Sekelompok anak muda berpacu mengayuh sepeda. Hasta demi hasta
jalanan Medan-Binjai dilahap dengan ringan hati. Keringat bercucuran,
namun segera lalu disapu sepoi angin. Seorang di antaranya, dengan
handycam di tangan, cermat mengabadikan tiap detiknya menjadi serangkai
gambar bergerak.
Foto: Andika Bakti |
Adegan demi adegan tersebut lalu diramu menjadi cerita. Global Never
Warming judulnya. Kisah sederhana tentang kampanye pemanasan global itu
kemudian diikutkan pada Festival Film Anak 2008 lalu. Tak sia-sia.
Perjuangan mereka menempuh puluhan kilometer di atas kereta angin itu
diganjar penghargaan Sutradara Terbaik versi Film Dokumenter dalam
Festival Film Anak 2008.
Adalah M Taufik Pradana, sang
sutradara di balik kisah itu. Opik, begitu ia disapa, hanyalah mahasiswa
biasa yang mencoba menantang otak kanannya untuk menghasilkan karya
luar biasa. Film adalah media yang dipilih sebagai penyalur ide
briliannya. Di usia yang belum lagi menginjak kepala dua, Opik telah
menelurkan puluhan judul film. Belasan di antaranya telah diikutkan
dalam berbagai ajang festival film dan telah pula meraih deretan
penghargaan.
Saat ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU, tempatnya menimba ilmu, lelaki gempal ini tak sungkan membagi cerita. Meski hari telah beranjak sore dan ia baru saja usai mengikuti perkuliahan, Opik tetap bertutur dengan raut wajah ceria. Di bawah pohon rindang FISIP, Opik mengenang kembali awal mula ia terjun dalam kancah perfilman.
Semua bermula saat ia duduk di bangku SD kelas lima. Opik kecil telah senang bermain-main dengan kamera analog milik orang tuanya. Seiring waktu, Opik semakin mengembangkan minatnya tersebut. Saat kelas satu SMA, Opik membeli sebuah MP5 player bekas dengan kamera video berketajaman dua megapiksel. Berbekal peralatan seadanya ini, Opik mulai mengabadikan setiap momen yang dijumpainya.
Meski bisa merekam video, Opik masih terkendala dalam membuat film. “Waktu itu Opik belum bisa mengedit gambar,” kenangnya. Bak gayung bersambut, Opik dipertemukan dengan seorang kawan yang jago dalam mengedit video. Berkat kolaborasi apik ini, jalan untuk memproduksi film semakin terbentang lebar.
Saat ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU, tempatnya menimba ilmu, lelaki gempal ini tak sungkan membagi cerita. Meski hari telah beranjak sore dan ia baru saja usai mengikuti perkuliahan, Opik tetap bertutur dengan raut wajah ceria. Di bawah pohon rindang FISIP, Opik mengenang kembali awal mula ia terjun dalam kancah perfilman.
Semua bermula saat ia duduk di bangku SD kelas lima. Opik kecil telah senang bermain-main dengan kamera analog milik orang tuanya. Seiring waktu, Opik semakin mengembangkan minatnya tersebut. Saat kelas satu SMA, Opik membeli sebuah MP5 player bekas dengan kamera video berketajaman dua megapiksel. Berbekal peralatan seadanya ini, Opik mulai mengabadikan setiap momen yang dijumpainya.
Meski bisa merekam video, Opik masih terkendala dalam membuat film. “Waktu itu Opik belum bisa mengedit gambar,” kenangnya. Bak gayung bersambut, Opik dipertemukan dengan seorang kawan yang jago dalam mengedit video. Berkat kolaborasi apik ini, jalan untuk memproduksi film semakin terbentang lebar.
Bikin Film Itu Murah
Bila mendengar sebuah produksi film, tentu kita membayangkan modal besar yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan film bermutu.
Namun siapa nyana, hal ini justru dibantah tegas oleh Opik. “Bikin film itu mudah dan murah kok,” ujarnya. Opik telah membuktikannya sendiri. “Bahkan pakai kamera VGA juga bisa, tidak mesti yang canggih-canggih amat,” tegas Opik.
Melihat kondisi perfilman indie di Indonesia yang masih pasang surut, Opik berpandangan hal ini salah satunya dikarenakan anggapan membuat film itu mahal. Padahal membuat film tidaklah serumit dan semahal itu.
Opik memberi contoh, bila ingin mengkonversi gambar dalam film menjadi kaset, cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 1.500. Menurut perhitungannya, dengan Rp 60.000 saja, sebuah film pendek berdurasi 15 hingga 20 menit sudah dapat dihasilkan.
Opik sendiri bukannya berasal dari keluarga kaya yang mampu membiayai hobinya. Keluarganya mengajarkan Opik untuk selalu hidup sederhana dan mandiri. Untuk alat, teknologi, dan segala pengeluaran dalam memproduksi film, Opik selalu mengupayakan sendiri.
Bila mendengar sebuah produksi film, tentu kita membayangkan modal besar yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan film bermutu.
Namun siapa nyana, hal ini justru dibantah tegas oleh Opik. “Bikin film itu mudah dan murah kok,” ujarnya. Opik telah membuktikannya sendiri. “Bahkan pakai kamera VGA juga bisa, tidak mesti yang canggih-canggih amat,” tegas Opik.
Melihat kondisi perfilman indie di Indonesia yang masih pasang surut, Opik berpandangan hal ini salah satunya dikarenakan anggapan membuat film itu mahal. Padahal membuat film tidaklah serumit dan semahal itu.
Opik memberi contoh, bila ingin mengkonversi gambar dalam film menjadi kaset, cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 1.500. Menurut perhitungannya, dengan Rp 60.000 saja, sebuah film pendek berdurasi 15 hingga 20 menit sudah dapat dihasilkan.
Opik sendiri bukannya berasal dari keluarga kaya yang mampu membiayai hobinya. Keluarganya mengajarkan Opik untuk selalu hidup sederhana dan mandiri. Untuk alat, teknologi, dan segala pengeluaran dalam memproduksi film, Opik selalu mengupayakan sendiri.
Oleh Moyang Kasih Dewimerdeka* | @satudewimerdeka
Sekelompok anak muda berpacu mengayuh sepeda. Hasta demi hasta
jalanan Medan-Binjai dilahap dengan ringan hati. Keringat bercucuran,
namun segera lalu disapu sepoi angin. Seorang di antaranya, dengan
handycam di tangan, cermat mengabadikan tiap detiknya menjadi serangkai
gambar bergerak.
Foto: Andika Bakti |
Adegan demi adegan tersebut lalu diramu menjadi cerita. Global Never
Warming judulnya. Kisah sederhana tentang kampanye pemanasan global itu
kemudian diikutkan pada Festival Film Anak 2008 lalu. Tak sia-sia.
Perjuangan mereka menempuh puluhan kilometer di atas kereta angin itu
diganjar penghargaan Sutradara Terbaik versi Film Dokumenter dalam
Festival Film Anak 2008.
Adalah M Taufik Pradana, sang sutradara di balik kisah itu. Opik, begitu ia disapa, hanyalah mahasiswa biasa yang mencoba menantang otak kanannya untuk menghasilkan karya luar biasa. Film adalah media yang dipilih sebagai penyalur ide briliannya. Di usia yang belum lagi menginjak kepala dua, Opik telah menelurkan puluhan judul film. Belasan di antaranya telah diikutkan dalam berbagai ajang festival film dan telah pula meraih deretan penghargaan.
Saat ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU, tempatnya menimba ilmu, lelaki gempal ini tak sungkan membagi cerita. Meski hari telah beranjak sore dan ia baru saja usai mengikuti perkuliahan, Opik tetap bertutur dengan raut wajah ceria. Di bawah pohon rindang FISIP, Opik mengenang kembali awal mula ia terjun dalam kancah perfilman.
Semua bermula saat ia duduk di bangku SD kelas lima. Opik kecil telah senang bermain-main dengan kamera analog milik orang tuanya. Seiring waktu, Opik semakin mengembangkan minatnya tersebut. Saat kelas satu SMA, Opik membeli sebuah MP5 player bekas dengan kamera video berketajaman dua megapiksel. Berbekal peralatan seadanya ini, Opik mulai mengabadikan setiap momen yang dijumpainya.
Meski bisa merekam video, Opik masih terkendala dalam membuat film. “Waktu itu Opik belum bisa mengedit gambar,” kenangnya. Bak gayung bersambut, Opik dipertemukan dengan seorang kawan yang jago dalam mengedit video. Berkat kolaborasi apik ini, jalan untuk memproduksi film semakin terbentang lebar.
Bikin Film Itu Murah
Bila mendengar sebuah produksi film, tentu kita membayangkan modal besar yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan film bermutu.
Namun siapa nyana, hal ini justru dibantah tegas oleh Opik. “Bikin film itu mudah dan murah kok,” ujarnya. Opik telah membuktikannya sendiri. “Bahkan pakai kamera VGA juga bisa, tidak mesti yang canggih-canggih amat,” tegas Opik.
Melihat kondisi perfilman indie di Indonesia yang masih pasang surut, Opik berpandangan hal ini salah satunya dikarenakan anggapan membuat film itu mahal. Padahal membuat film tidaklah serumit dan semahal itu.
Opik memberi contoh, bila ingin mengkonversi gambar dalam film menjadi kaset, cukup mengeluarkan uang sebesar Rp 1.500. Menurut perhitungannya, dengan Rp 60.000 saja, sebuah film pendek berdurasi 15 hingga 20 menit sudah dapat dihasilkan.
Opik sendiri bukannya berasal dari keluarga kaya yang mampu membiayai hobinya. Keluarganya mengajarkan Opik untuk selalu hidup sederhana dan mandiri. Untuk alat, teknologi, dan segala pengeluaran dalam memproduksi film, Opik selalu mengupayakan sendiri.
Bersuara dengan Film
Membuat film bagi Opik bukanlah sekadar hobi untuk bersenang-senang. Ada misi yang ingin disampaikannya lewat film. Kehidupan sosial lantas menjadi inspirasi utama Opik dalam merangkai ide cerita. 2008 lalu misalnya, Opik membuat film berjudul ‘Rumah Kita’ yang terilhami dari kehidupan anak-anak di panti asuhan. Tujuannya agar orang melihat bagaimana perjuangan anak-anak panti dalam meraih impian.
Lalu ada film yang disebut Opik sebagai film yang paling berkesan baginya. Film yang baru saja diproduksi ini mengambil setting di sebuah museum. Pilihan ini bukannya tanpa alasan. Opik memandang, saat ini museum mulai ditinggalkan masyarakat. Pemerintah memang telah berupaya membuat gerakan cinta museum, namun hanya sebatas mulut manis belaka.
“Pemerintah heboh bikin gerakan cinta museum, tapi para pejabat itu sendiri jarang yang pernah ke museum,” kritik Opik. Maka, Opik dan kawan-kawan pun tergerak untuk membuat film ini agar kecintaan pada museum kembali tumbuh.
Lalu, adakah impian bocah kelahiran Kuala Simpang ini? “Ingin membuat tempat makan yang sekaligus jadi tempat pemutaran film biar makin banyak yang mau menonton film indie,” pungkasnya tak bermuluk-muluk.
Tempat / Tanggal Lahir:
Kuala Simpang, 13 Maret 1991
Kuala Simpang, 13 Maret 1991
Pendidikan:
SDN 060841 Medan
SMPN 7 Medan
SMA Swasta YPI Amir Hamzah
Prestasi:
• Sutradara Terbaik versi Film Dokumenter Festival Film Anak 2008
• Editor Terbaik versi Film Fiksi Festival Film Anak 2009
• Juara III Skrip Hari Anak Nasional 2009
sumber : http://www.sosokindonesia.com/