Yahudi memang memiliki banyak cara menjauhkan umat Islam dari
agamanya. Kita dahulu masih melihat film-film Indonesia mengobral cinta
utopis belaka. Namun seiring trend dan laju liberalisme yang pesat,
tengoklah kita bisa menyaksikan deretan film-film yang menyudutkan Islam
tanpa melihat akar persoalan. Dan tak jarang cover film-film ini
dipenuhi deretan award dari kontes Film Internasional.
Melecehkan Islam
Film "3 Doa 3 Cinta" (2008), misalnya, film besutan Nurman Hakim ini
meraih penghargaan Grand Prize of the International Jury pada
International Festival of Asian Cinema Vesoul, Perancis. Menurut Nurman
Hakim dan Nan Achnas, salah satu juri dari India yang trauma terhadap
kejadian penyanderaan di Mumbai mengucapkan terima kasih atas film
tersebut karena mengingatkan pentingnya menjaga kerukunan dan saling
menghormati keyakinan yang berbeda.
Padahal film ini begitu menyudutkan pesantren. Dikisahkan salah
seorang pengajar di pesantren melakukan homoseksual dengan santrinya.
Tidak hanya itu, ada pula adegan ciuman serta prilaku tak senonoh
seorang santri saat mengintip tubuh anak perempuan sang kyai.
Terakhir,
Nurman Hakim malah membesut Film terbarunya Khalifa (2010). Film ini
menurut pengamatan penulis tidak imbang menjelaskan konteks poligami dan
seakan menggring bahwa wanita bercadar bersuamikan teroris. Padahal
banyak pula wanita bercadar di Indonesia tidak menyetujui tindak
terorisme.
Pluralisme Agama
Walhasil media menyudutkan Islam melalui media layar lebar bisa
beragam cara. Invasi media liberalisme sangat terasa setelah Film
Perempuan Berkalung Sorban (PBS) melayangkan kontroversi. Akan tetapi,
Hanung Bramantyo, sang sutradara, tak lama lagi akan melahirkan film
yang lebih heboh dari PBS. Sebuah film dengan gambar besar kalimat tanda
tanya dilanjutkan dengan ungkapan “Masih Pentingkah Kita Berbeda” akan
rilis di Bioskop-bioskop Indonesia mulai 7 April 2011 ini.
Dari tampilan gambar yang disajikan dalam trailernya, tampak sebuah
gereja, masjid, dan kelenteng bergantian hadir. Namun dibalik tampilan
tempat ibadah berbagai agama itu ada ucapan yang nantinya kita akan
faham bahwa mau dibawa kemana arah film ini. Simaklah, bait yang
dilontarkan oleh seorang aktor tersebut berikut ini:
“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini.
Dia memilih jalan setapak masing-masing.
Semua jalan setapak itu berbeda-beda,
namun menuju satu jalan yang sama
dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan.”
Menariknya, narasi itu dihembuskan berbarengan dengan adegan seorang
wanita Kristiani beribadah di gereja, pemuda ketika tengah mengaji, lalu
disambut seorang ibu yang tengah melaksanakan ritual di Klenteng.
Ketika kita sambung adegan ini bersamaan dengan kalimat: Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju satu jalan yang sama, dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan,
jelas apa pesan yang diinginkan oleh Hanung Bramantyo: Kesatuan
agama-agama. Sebuah mitos dari Kabbalah Yahudi untuk menciptakan
kedamaian dunia yang kini berubah nama beken seperti Pluralisme Agama,
Multikulturalisme, hingga Inklusivisme. Padahal gagasan PAGANIS
(Pluralisme, Multikulturalisme, dan Inklusivisme) tak lain adalah upaya melenyapkan agama-agama menuju
satu agama saja, yakni Yahudi. Ini termaktub dalam protocol of zion ke
14.
Diupayakan di dunia ini hanya satu agama, yaitu agama Yahudi.
Oleh karena itu segala keyakinan lainnya harus dikikis habis. Kalau
dilihat di masa kini, banyak orang yang menyimpang dari agama. Pada
hakekatnya kondisi seperti itulah yang menguntungkan yahudi.
Gagasan pluralisme jua menjadi trademark Film My Name Is Khan. Film
ini rilis tahun 2010 lalu dibawah perusahaan Yahudi Fox Search Light.
Menariknya kendati film ini dirilis oleh perusahaan Yahudi, banyak umat
muslim terpukau atas aksi Shahrukh Khan.
Film yang banyak
dibintangi aktris papan atas India ini dikatakan sebagai sebuah film
yang patut diapresiasi oleh umat muslim karena menceritakan seorang
mukmin sejati yang memperjuangkan nasibnya di Amerika. Perlakuan
diskriminasi, marjinalisasi dan intimidasi penduduk Amerika terhadap
muslim pendatang pasca tragedi 11 September disebut-sebut menginspirasi
sang sutradara, Karan Johar, untuk membuka mata dunia.
Pertanyaannya adalah betulkah Film My Name Is Khan ditujukan untuk
membangkitakan rasa persaudaraan dan simpati terhadap umat muslim atau
ini hanya sebuah alih-alih dari misi sesungguhnya, yakni doktrinasi
pemahaman Pluralisme Agama? Apakah kita yakin, Fox Search Light yang
notabene adalah jaringan bisnis Zionis dalam dunia hiburan memiliki niat
tulus untuk mensyiarkan agama Islam di muka bumi? Dan masuk logikakah
Zionis yang selama ini justru tertawa melihat umat Islam tersudut dalam
tragedi 9/11, bangkit lalu menyatakan penyesalannya dan menggantikan
penyesalan itu dengan menelurkan film ini? Mari kita cermati baik-baik.
Dalam Film berdurasi 160 menit itu, Khan kecil, digambarkan hidup
dalam situasi penuh konflik antara agama Islam dan Hindu. Saat itu ia
mendengar sekelompok umat muslim tengah marah, dengan mengatakan,
“musnahkan dan hancurkan….”. Mendengar suara-suara penuh amarah itu,
Khan kecil selalu mengulangnya sampai tiba di rumah.
Ibu Khan
sangat kaget dan melarang Khan berbicara seperti itu. Maka sang Bunda
memberikan pelajaran yang akan mengubah seluruh jalan hidup Khan
selanjutnya, dengan mengatakan kepada Khan kecil, “Di dunia ini hanya
ada dua perbedaan, yaitu kebaikan dan kejahatan. Baik, manakala
seseorang berbuat kebaikan, dan Jahat manakala seseorang berbuat
kejahatan, jadi tidak ada Muslim dan Hindu”.
Jika kita tidak cermat membacanya, Film ini bisa merusak aqidah dan
mengantarkan penonton pada kesimpulan bahwa standar kebaikan dan
keburukan terletak pada nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya dengung ini
sekarang menggema di seantero dunia lewat ungkapan: lebih baik menjadi
humanis daripada relijius tapi jahat. Lebih baik tak bertuhan, daripada
beragama tapi tak manusiawi.
Hamid Fahmi Zarkasy, dalam tulisannya Religius-Humanis, mengatakan
bahwa di Barat memang telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari
teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi anthroposentris (manusia
sebagai pusat). Dengan doktrin empirisisme, Tuhan dianggap tidak riel,
sedangkan manusia begitu riel dan kasat mata. Membela Tuhan,
mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau mensucikan Tuhan dianggap
sia-sia dan tidak ada gunanya. Sebab dalil orang-orang Humanis persis
dengan para pengusung PAGANIS: “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah
Maha Kuasa”.
Selain film Tanda Tanya, sebelumnya nuansa pluralisme agama juga
hadir dalam film “3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta.” Lewat Film yang
disutradari Benni Setiawan ini, dikisahkan jalinan cinta antara Rosid
dan Delia terjadi kala mereka masih menjadi mahasiswa di sebuah kampus.
Ketertarikan antara Rosid dan Delia bermula dari karakter yang dimiliki
masing-masing. Rosid adalah pemuda nyentrik dengan rambut kribo yang
ingin menjadi penyair. Sedangkan Delia adalah pemudi manis dan cenderung
pendiam yang kepincut dengan syair-syair Rosid.
Namun cerita
cinta keduanya terhalang jurang yang tidak bisa mereka lalui. Mereka
berbeda agama. Rosid berasal dari keluarga Arab-Betawi Muslim yang kuat
memegang kuat tradisi. Dan dalam diri Delia mengalir darah Manado yang
Katolik. Cerita makin dramatis ketika orang tua mereka tidak menyetujui
jalinan cinta terlarang itu. Namun perbedaan itu tidak menghalangi
mereka untuk melanggengkan cinta diantara keduanya.
Jadi di film ini, bahwa agama memang sudah tidak lagi menjadi
persoalan penting dan prioritas dalam mengarungi bahtera rumah tangga
seperti kata Madame Balavatsky, pengusung theosofi, bisa jadi betul.
Sebab Agama sudah tidak dianggap relevan sebagai sebuah prinsip, apalagi
prinsip cinta. Padahal Allah jelas memberi tuntunan bagi kita dalam
memilih pasangan yang baik.
Firman Allah SWT (yang artinya): “Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 221)
“Kafir di Bioskop”
Makar zionis yang
melalaikan umat Islam lewat film-film Holywood, ternyata kini berada di
atas angin. Sebab saat ini, mereka tidak usah pusing-pusing
mengobrak-abrik Islam lewat tangan mereka sendiri. Saya jadi teringat
ucapan Nirwan Syafrin, Ustadz muda lulusan Malaysia yang kini aktif
membendung faham liberalisme Islam di Indonesia. Ia pernah berujar,
“Dulu kita masih kafir dengan dibiayai (beasiswa) mereka, sekarang kita
kafir dengan biaya sendiri”. Saya lantas termenung dan bergumam dalam
hati, “Bahkan kita dikafirkan masal dalam sebuah gedung bioskop.”
Ironis.
"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra’ [17] : 36). Insya Allah bersambung
sumber : http://www.eramuslim.com/