Potensi film indie di Kota Medan cukup besar. Sayang, dukungan dari
pemerintah maupun pihak swasta masih sangat minim. Para sineas
(sutradara) jenis film inipun harus rela berkarya di tengah
keterbatasan.
Bagi penggemar film, tentu sudah mengetahui beberapa jenis film dilihat dari proses pembuatan hingga pemasaran. Ada yang menyebutkan dengan film komersil, film dokumenter
maupun film indie.
Untuk film komersil, tentu karya
sutradara-sutradara Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Bahkan
sudah banyak film Indonesia yang sukses menembus pasar dunia.
Sebut saja film laga The Raid yang sukses menembus box office
Amerika Serikat dan Kanada serta 50 negara lainnya. Setelah The Raid,
film Indonesia lainnya mulai mengikuti dan dilirik pasar
internasional. Lantas bagaimana dengan perkembangan film indie?
Film independen atau biasa di sebut indie sebenarnya banyak juga yang
berjaya di luar negeri.
Misalnya, film Revolusi Harapan karya
Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur
dalam The 39th Brno Sexten In ternational Competition of Non-Comercial
Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Selain itu, film
Novi garapan Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry
Lang lois, Perancis (1998). Dalam Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi
karya Asep Kusdinar, Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu
garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi,
dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid. Film indie adalah film
fitur yang dibuat sebagian besar di luar studio film besar.
Munculnya film indie bermula dari kejenuhan seorang film maker yang
terpengaruh gerakan film di Prancis era 1950 hingga 1960-an, yakni John
Cassavette. Kebosanan Cassavettes atas tematema film Hollywood
yang kerap mengedepankan populisme, patriotisme, drama romantik
dan kekerasan di wujudkan dalam film pertamanya yang kontroversial,
yakni Shadows pada 1962. Sejak itu, istilah film indie mulai dilirik di Amerika.
Seiring perkembangannya, film indie
kemudian mendapat tempat di hati penonton di negara-negara maju,
seperti Meksiko, Australia, Jerman, Perancis, Inggris, Iran, dan
Jepang. Di Indonesia sendiri, film indie sudah mulai dikenal pada tahun
1970-an seiring berdirinya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pada saat
itu, mulai popular media film 8 mm yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. DKJ kemudian sering membuat Lomba Film Mini yang
mengakomodasi munculnya film-film pendek buatan para amatir, para
seniman di luar film, dan mahasiswa.
Pada awal tahun 1980-an
lalu muncul Forum Film Pendek (FFP) yang digagas oleh banyak orang,
khususnya para seniman di luar film dan kalangan industri film. Forum
ini cukup bisa menciptakan isu nasional dan banyak melakukan
pemutaran film dan apresiasi film hingga ke Kota Medan. Meski demikian,
film indie baru pupuler di Indonesia pada 1999 setelah berdirinya Komunitas Film Independen (Konfiden). Komunitas ini dideklarasikan dengan mengadakan kegiatan Festival Film dan Video Independen di
Indonesia yang sudah dilakukan dua kali, yakni pada 1999 dan 2000.
Sejak
itu, mulai ber munculan lembaga nirlaba film indie di kota-kota
besar di Indoesia. Seperti Bandung Independent Film dan Komunitas Film
Yogyakarta. Para anak-anak muda Kota Medan pun tak mau kalah. Terutama di kalangan mahasiswa yang tertarik mencoba-coba membuat film
indie dengan peralatan seadanya. Saat ini sedikitnya terdapat 60
komunitas film indie di Kota Medan dengan ratusan karya. Tema-tema yang
diangkatpun beragam, mulai dari kehidupan sosial, persahabatan dan tentunya kultur budaya daerah ini.
Memang, tidak diketahui pasti
tahun berapa film indie mulai berkembang di kota ini. Namun berdasarkan
penuturan beberapa komunitas film indie, setidaknya selama 10 tahun terakhir sudah mulai tampak geliat film indie di ibu kota
Provinsi Sumatera Utara ini. Onny Kresnawan, salah satu sineas film
indie Kota Medan mengatakan, film indie sudah mulai berkembang di Kota
Medan sejak tahun 2000an. “Sejak itu sudah mulai ada anak muda
yang produksi film, termasuk saya yang mulai fokus pada 2004. Saat
itu, sudah banyak sineas-sineas atau film maker indie ini,” katanya
kepada SINDO baru-baru ini.
Onny yang sudah berkecimpung
di dunia film indie ini selama delapan tahun terakhir menilai
perkembangan film indie di Kota Medan sebenarnya cukup pesat. Hal
itu dapat dilihat dari banyaknya film asal daerah ini yang ikut serta dalam festival-festival film. Bahkan sineas dari daerah ini sudah
bisa menyelenggarakan festival layaknya festival film di daerah lain,
khususnya Jakarta. Di sini sudah ada even festival film anak (FFA)
yang diadakan setiap tahun dan sudah memasuki tahun kelima pada tahun
ini.
Namun sayang, seluruhnya masih dilakukan secara swadaya
oleh komunitas film indie. Belum ada bantuan konkrit dari pemerintah.
Termasuk tempat sebagai lokasi syuting, apalagi untuk pemutaran
film. Padahal, cukup banyak ta lenta anak-anak muda di kota ini dari
berbagai kultur yang bisa diang kat sebagai cerita film indie.
Sejatinya, pemerintah pernah menjanjikan akan menggelar festival
film setiap tahun di Medan setelah penyelenggaraan Festival Film
Kearifan Budaya Lokal yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(Disbudpar) Sumut Agustus tahun lalu .
Namun, hingga kini belum ada lanjutannya sampai sekarang. Alhasil, pemerintah hanya membantu
sekali selebihnya merupakan hasil kerja dari sineas-sineas film
yang ada. “Film indie Medan hanya butuh fasilitas pendukung. Kalau
pun tidak dari pemerintah, swasta juga bisa membantu,” kata pria yang
pernah meraih penghargaan untuk film Suara di Balik Tembok dan Goresan
Anak Pemulung.
M Taufik Pradana,21, salah seorang pembuat film indie
yang tergabung dalam Opique Pictures mengaku awalnya hanya
mencoba-coba membuat sebuah film.Dengan alat kamera
seadanya yang beresolusi sangat rendah, dia bersama teman-temannya
mulai memproduksi sebuah film. “Benar-benar seadanya saja dan durasinya juga tidak lama. Kami pakai kamera ala kadarnya dan dipindahkan ke komputer untuk diedit. Walaupun mega pi xel - nya kecil,
tapi kualitasnya cukup baik. Jadi pengeditan masih bisa dilakukan
dengan baik,” ujarnya. Meski serba terbatas, tapi seluruh tim Opique
Pictures terus mengeksplor ke mampuan walaupun hanya sekadar berbekal ilmu dan informasi seadanya.
Maklum waktu itu masih sangat
sedikit orang yang tertarik dengan film indie dan belum ada lembaga
yang bisa membantu. “Bagi kami yang terpenting adalah bagaimana
menyampaikan ideologi yang disampaikan melalui film bisa sampai kepada
masyarakat. Kami terus berkarya walau pun informasi dan alat sangat minim,” ujarnya.
Tak hanya Opique Pictures,
komunitas-komunitas lain juga terus memproduksi film. Pada umumnya
dikirimkan ke festival-festival. Tak sedikit juga yang menyabet
penghargaan. Bahkan baru-baru ini Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif datang ke kota ini dalam rangka roadshow film dengan
mengundang komunitas film indie Medan. “Banyak sineas Medan yang
dapat penghargaan karena film-filmnya. Kami terus menggali kemampuan
kami,” ujar ya.
Ya, perlahan tapi pasti para pembuat film
indie ini terus menghasilkan karya-karya dengan harapan konten yang
disampaikan dalam film bisa sampai kepada masyarakat. Tak sedikit
juga hasil karya tersebut diikutsertakan dalam festival yang digelar
penyelenggara lokal maupun nasional dan memenangkan beberapa penghargaan.
“Pada umumnya komunitas memproduksi film untuk
kemudian diikutsertakan ke festival. Dari festival itu kami
ingin memperkenalkan mengenai komunitas film indie yang ada di kota ini.
Kalau kemudian ada sponsorship bersedia memasarkan film lebih
luas, tentu lebih bagus. Tapi, sejauh ini kami tetap dengan ideologi
kami dengan tidak komersil,” ucapnya.
simber : http://www.seputar-indonesia.com/