|
Deddy Mizwar Film Naga Bonar |
Denyut perfilman
Medan telah lama binasa. Praktis semua ikut binasa termasuk studio,
pekerja, produser dan para pelakon film pun ikut rahib di telan zaman.
Studio film seluar 5 hektare di Sunggal sejak didirikan praktis tak
pernah dimanfaatkan untuk produksi film, kini nasibnya telah ditelan
bumi. Para pekerja film tak ada yang bertahan di Medan semuanya hengkang
ke Jakarta sebagai kru film. Produser film tak ada lagi di Medan.
Karena tidak ada kegiatan industri perfilman yang menopang hidupnya
profesi produser film. Walhasil, perfilman Medan pun senyap lebih dari
dua dasawarsa.Yang tinggal hanya jejak sejarah sineas Medan pernah
berbuat banyak dalam perfilman nasional.
Diera digital begitu mudahnya membikin film. Sakin mudahnya, banyak
sineas kagetan menjadi sutradara film. Mereka itulah yang mengisi
perfilman nasional saat ini, yang kesemuanya kebetulan berdomisili di
Ibukota Jakarta. Tak ada sutrdara film nasional saat ini yang
berdomisili di luar kota Jakarta. Banyak diantara sineas muda itu sineas
asal Medan atau Sumatera Utara. Satu hal yang membingungkan, kondisi
rill saat ini, 80% film nasional diproduksi beraroma seks dan klenik.
Hanya satu dua yang berkwalitas. Selebihnya hanya mengejar kwantitas.
Bahkan memperburuk moral anak bangsa. Jangan harap kondisi sekarang ini
tema kedaerahanan akan tampil, paling cuma "Laskar Pelangi"
(Belitung/2008), "Sang Pemimpi" (Belitung/2009), "Naga Bonar Jadi Dua"
(Sumatera Utara/2007) namun tidak diproduksi di Medan dan melipatlkan
seniman Medan dan terakhir "Seleb Kota Jogja" (Yogyakarta/2010).
Mengapa
sineas Medan tak pernah bangkit? Jawabnya satu; tak ada orang yang
berprofesi sebagai produser film di Medan. Dalam produksi film produser
memegang peranan penting. Bahwa profesi seorang produser bukanlah
pemilik uang, tapi pengelola uang dari investor atas gagasan yang
dicetuskannya. Pun juga tak ada sinema grilya yang dilakukan sineas
Medan. Artinya memproduksi film secara grilya seperti yang dilakukan
sutradara Rudy Soedjarwo saat memproduksi film "Bintang Jatuh" (2000).
Baik mengedarkan dan produksinya dilakukan secara grilya. Untuk
mengedarkan film perdana artis Dian Sastrowardoyo itu, Rudy
mengedarkannya dengan memutarnya berkeliling kampus dan ke berbagai
daerah dengan alat digital sederhana yang dibawanya sendiri. Saat
mengerjakan film "Bintang Jatuh", Rudy Soedjarwo bertindak sebagai
sutradara sekaligus produser dan pengedar filmnya sendiri. Kalau itu
pengusaha bioskop (Cineplex 21) tidak berpihak kepada perfilman
nasional.
Dalam perjalanan
perfilman nasional, Medan pernah memiliki produser REFIC (Rencong Film
Corporation) Abubakar Abdi (1958) memproduksi "Turang", "Piso Surit"
dan Ordipa (Orang Orang di Kebun Para). Produser Surya Indonesia Medan
Film A.Gani Rahman memproduksi Setulus Hatimu dan Orando Film Omar
Bach, memproduksi "Butet" serta produser Sinar Film Corporation Ibrahim
Sinik memproduksi "Batas Impian". Sejak itu film nasional hanya
mengambil setting Sumatera Utara untuk lokasi syuting seperti film
"Secangkir Kopi Pahit", "Sorta", "Buaya Deli" dan Musang Berjanggut".
|
Film Musang Berjangut |
Cukup lama sineas
kota Medan tak ikut andil dalam perjalanan panjang perfilman
nasional. Padahal sebelumnya Kota Medan lebih dua dasawarasa yang
lalu, sineas kota Medan disegani dalam kancah perfilman perfilman
nasional. Tak lain karya Anak Medan sempat “bicara” dalam perfilman
nasional lewat karyanya. Yang namanya Anak Medan (seniman) akan selalu
mengatakan bahwa Medan gudang seniman, termasuk pekerja film. Itulah
semangat Anak Medan untuk berkiprah dalam dunia kesenian termasuk
perfilman. Tapi, semua itu hanya semangat. Ide segudang tak ada artinya
bila tidak diwujdukan.
Bisakah perfilman Medan kembali bangkit? Jawabnya; bisa! Film Medan
akan bisa "bernafas" jika ada produser film Medan yang tak semata
beroerientasi Jakarta. Sineas Medan harus tampil dengan kemedanannya,
namun bisa menembus peredaran seluruh Indonesia. Tak usah pakai bahasa
"deh" dan "dong", pakailah dialek Medan atau bahasa Indonesia yang baik.
Sebab 80% bahasa yang dipergunakan dalam film nasional tak punya sopan
santun. Kalimat; "Anjing", "Ngewek" (bersetubuh) dan bahasa pasaran
lainnya menjadi bahasa resmi film nasional. Lembaga Sensor Film (LSF)
hanya memperhatikan adegan seks vulgar, tanpa memperhatikan bahasa yang
tak beradab. Jika sineas Medan hendak bangkit, jangan harapkan
pemerintah daerah untuk membangkitkannya. Sebab bangkitnya perfilman
nasional kembali setelah mati suri selama satu dasawarsa bukan karena
campur tangan pemerintah, tapi karena kemauan keras para sineasnya.
Lucunya, Menbudpar "bernyanyi" dalam FFI 2009 kemarin, seakan
bangkitnya film nasional karena campur tangan pemerintah. Film nasional
bangkit lagi setelah film garapan Riri Reza "Petualangan Sherinna"
(1999) dan film bergenre horornya sutrdara Rizal Mantovani dan Jose
Purnomo "Jekangkung" (2002) meledak saat diedarkan di bioskop.
Sesungguhnya Konsep, ide dan pemikiran seniman Medan tak kalah dengan
sineas yang ada di Jakarta. Tapi sayang, dominasi Jakarta sejak
munculnya film pertama yang diproduksi sienas negeri ini tak pernah
“dipatahkan” kota lain. Jakarta sebagai ibukota dibangun dan dikembangan
oleh anak daerah yang tersebar penjuru negeri ini, termasuk dunia
perfilman. Nyaris semua sineas negeri ini adalah putra daerah yang
menggembangkan kreatifitas keseniannya di Jakarta. Putra Sumatera Utara
memberikan kontribusi yang cukup meyakinkan dalam perjalanan perfilman
nasional. Baik sebagai sutradara, penulis skenario, kamerawan, peñata
artistik, produser dan tentu saja sebagai aktor dan aktris. Tapi, semasa
di daearah asalnya para sineas itu tidak memberikan apa-apa dalam
perfilman nasional. Sebab daerah tempat asal para sineas tak
memberikan harapan untuk bisa memproduksi film atau mewujudkan
kreatiftasnya.
Sumatera Utara
yang terdiri dari berbagai etnis dan sub etnis serta ras memiliki
segudang gagasan ide cerita yang bisa dilayarlebarkan. Potensi kekayaan
ide cerita bertema horor, komedi, laga, epos maupun drama percintaan
seperti tambang emas yang tak pernah dieksplorasi.
Gagasan cerita yang dimiliki Sumatera Utara hanya secuil saja yang
diangkat ke layar lebar. Karya novel Merari Siregar dengan "Azab
Sengsara," meski masih relevan dengan kondisi sekarang hanya dilakukan
sebatas membikin sinetron. Sinetron Azab dan Sengsara yang
disutradarai Edward Pesta Sirait itu pun tak pernah ditayangkan meski
Pemda Sumut ketika diera Gubernur Raja Inal Siregar cukup mensuport
dengan anggaran yang terbilang besar.
Selain cerita legenda, hikayat dan cerita rakyat, Sumut juga punya
segudang ide cerita untuk layar dilayarlebarkan yang bisa disajikan
tidak saja berskala nasional tapi juga internasional. Perjalanan Koeli
Kontrak dari tanah Jawa yang ditipu Belanda yang rencanakannya akan
dikirim ke Suriname, ternyata dikirim ke tanah Deli. Politik kolonial
Belanda membuat munculnya bangsa Tamil dan China di Sumatera Utara
untuk dipekerjakan sebagai kuli di perkebunuan di Tanah Deli. Puluhan
tema masih banyak yang belum tergali.
Kemunculan bangsa China daratan dan Tamil memiliki gagasan ide yang
tak kalah menariknya dari novel Remy Silado yang dilayarlebarkan oleh
Nia DiNata dengan judul yang sama "Cau Bau Kan" (2001). Di Medan, ada
tokoh multikulturalisme, Tjong A Fie cukup menarik untuk
dilayarlebarkan. Sosok koeli miskin dari China daratan menjadi tokoh
yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah Kota Medan. Tak lain karena
jasanya yang cukup besar terhadap kedamaian dan kemakmuran di kota
Medan.
Bikin film itu mudah! Namun saat ini tidak ada yang menjadi lokomotif
perfilman Medan. Kalau pun ada produser film asal Medan, lebih memilih
"bertarung" di Jakarta, seperti yang dilakukan produser Anthony
Pictures lewat film "Tapi Bukan Aku" (2008), namun hasilnya jeblok.
Membikin film seperti membikin pesta, bisa mahal bisa murah. Ratusan
tema yang menarik bisa diangkat ke layar lebar. Cerita sederhana jika
digarap serius bisa menghasilkan karya apik. Produksi film di Medan jauh
lebih murah dari daerah lainnya, dengan peralatan digital dan peralatan
yang standar bisa melahirkan sebuah karya film. Tapi siapakah yang
menjadi lokomotif perfilman di Medan? Untuk itu diperlukan seorang
produser yang loyal dengan perfilman Medan. Bila saja ada produser yang
memproduksi film untuk membikin master saja, itu sudah sebuah kemajuan.
Sebab, biaya termahal dari produksi film adalah biaya pasca produksinya.
Untuk satu juudl film bisa edar serentak di seluruh penjuru negeri
diperlukan minimal 40 copy. Jika tidak, para pembajak film di Glodok,
Jakarta, siap membajak film yang sedang beredar. Biaya produdksi film
bisa sampai 3 miliar tak lain karena semua film nasional masih
diblow-up di Thailand dan biaya satu copy 10 juta di Inter Studio,
Jakarta.
Sinema gotong
royong, adalah tepat untuk membangkitkan perfilman Medan. Biaya produksi
dilakukan secara gotong royong, begitu saat pasca produksi. Artis dan
kru tak perlu 100% dari Jakarta. Untuk nilai komersil, setidaknya
diperlukan artis Jakarta yang sudah populer. Selebihnya bisa dikerjakan
oleh para sineas Medan yang sudah puluhan tahun tak memproduksi film
bergaya Medan. Dengan konsep itu, setidaknya, para pengusaha, pejabat
Pemda, politisi dan sponsor bisa mematangkan biaya pasca produksi.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang mau menjadi lokomotif perfilman Medan
meski hanya untuk memproduksi master film tok? (***)
Pesing Koneng, April 2010
(Dimuat di buku: INI MEDAN, BUNG, penerbit Seniman Medan 2010)